Luna duduk di duduk di samping papanya. Pria itu tampak gugup sembari membaca selembar kertas di tangannya berkali-kali.
"Papa tegang banget, kayak mau nikah lagi aja," tegur sang Mama yang ikut memperhatikan suaminya itu.
Pria beruban itu malah tersenyum. "Papa sudah nunggu lama banget, akhirnya sekarang bisa nikahin anak perawan kita."
"Nggak nyangka juga, suaminya cuman lima langkah dari rumah. Kayak lagu dangdut," imbuhnya
Luna tertegun mendengar perbincangan kedua orangtuanya itu. Dia meremas kebaya putihnya. Serasa ada paku yang ditancapkan ke dalam dadanya, melihat kedua orangtuanya yang begitu bahagia. Kenyataannya dia hanya menipu mereka.
"Kak Luna diem aja dari tadi? Tegang juga?" tegur adiknya itu sembari meneguk air putih.
"Kalau banyak omong nanti ada garis senyumnya," dalih Luna.
Rifki tertawa kecil lalu meminum air lagi. "Kirain aku bakal nikah duluan daripada kamu, Kak."
Luna merunduk. Sebenarnya dia juga sempat berpikir begitu. Rifki sudah punya pekerjaan tetap dan juga pacar. Sementara dirinya ini pengangguran dan jomblo.
"Emang sejak kapan sih kamu pacaran sama Kak Arya?" tanya Rifki kepo.
Luna menelan ludah. Ini dia pertanyaan yang dia takutkan. Pasalnya selama ini orang rumah tahunya mereka cuman sahabatan aja.
"Lumayan lama," dusta Luna. Dia berpikir dulu berapa lama kira-kira usia pacaran yang pas sebelum memutuskan masuk jenjang pernikahan itu. "Enam bukan kira-kira."
"Terus kok kamu nggak pernah cerita, Kak?" kejar Rifki.
"Takut Mama heboh, karena pacarannya awalnya nggak terlalu serius."
Luna melirik adiknya. Cowok itu masih memandangnya dengan penuh rasa ingin tahu. Sudahlah! Jangan tanya macam-macam lagi! Tambah dosaku aja! Luna menggeram dalam hati.
"Bagiku kalian itu sama sekali nggak kelihatan kayak orang pacaran," aku Rifki. "Emang sih, kalian sering jalan bareng, tapi kalian itu lebih kayak ... keluarga."
Luna mengembangkan senyum kecil. Yang dikatakan Rifki memang benar. Dia dan Arya memang lebih terlihat seperti adik-kakak.
"Kalau udah lama kenal ya kayak gitu," dalih Luna.
Rifki masih memandanginya tapi kemudian tersenyum kecil. "Ya udahlah, semoga kalian bahagia," lirihnya.
Pak penghulu memanggil Papa dan Arya ke meja akad. Papa yang masih terlalu gugup sempat bertanya bolehlah jika dia membawa teks. Sontak beberapa tamu undangan tergelak. Luna tersenyum melihat papanya yang masih tergagap meskipun sudah membaca teks. Sementara Arya yang duduk di hadapan ayahnya tampak tenang. Pria itu tampak cukup tampan dengan balutan jas hitam yang dia kenakan.
"Saya terima nikahnya Aluna Eliana binti Sujatmiko dengan maskawin tersebut dibayar tunai," ucap cowok itu fasih.
Para undangan pun berucap "Sah."
Luna termangu. Menikah. Akhirnya dia benar-benar menikah. Meskipun hanya pura-pura dia masih tak percaya hal ini bisa terjadi. "Lun, maju ke depan, Nak," panggil Ibu Arya, membuyarkan lamunan Luna. Pengantin itu mengangguk dan bangkit. Dia menandatangi buku nikah di depan penghulu bersama Arya. Mereka kemudian berlutut di depan kedua orang tua mereka untuk memohon maaf dan juga restu.
Ayah Arya berucap selamat dan sukses. Gaya pak dekan itu mirip dengan aksinya kala memberikan ijazah pada mahasiswanya saja. Luna kemudian berlutut di kaki ibunda Arya. Wanita itu tersenyum dengan manis kemudian berbisik. "Nak Luna, tolong ya, nanti pakaiannya Arya dicuci minimal tiga kali seminggu, terutama celana dalamnya."
Luna terbengong-bengong. Tak menyangka dirinya akan melakukan serah terima jabatan semacam itu. Arya yang berlutut di sebelahnya tampak menahan geram.
"Itu bisa diomongin nanti aja nggak sih, Bu?" tegurnya tampak kesal dan malu. Terbongkar sudah aibnya. Umur udah hampir kepala tiga kampesnya* masih dicuciin sama emaknya.
Luna terkekeh. Dia menggeser kakinya lalu berlutut di depan papanya. "Usai sudah kewajibanku, Nak, mulai hari ini walimu adalah suamimu, patuhi dan hormatilah dia," lirih sang papa sembari mengelus kepala putrinya.
Terakhir, Luna berlutut di depan wanita yang melahirkannya. Mamanya yang seharian tampak berseri-seri akhirnya menitikkan air mata haru. Wanita itu memeluk Luna dengan penuh kasih.
"Selamat ya, Nduk, menikah adalah awal dari hidupmu yang sebenarnya. Semoga kamu bahagia," tutur Mamanya.
Luna tak kuasa menahan tangis. Dia meletakkan kepalanya di pangkuan sang mama dan menangis. Ini semua palsu. Bagaimana seandainya kedua orangtuanya tahu? Akankah mereka merasa kecewa? Mengapa dia tega melakukan hal ini? Mama menepuk-nepuk pundak putrinya lalu mencium puncak kepala Luna penuh kasih.
Luna tak mengangkat kepalanya. Dia memeluk kaki sang mama dengan erat. Ini detik terakhir dia bisa bermanja-manja seperti ini pada mamanya. Esok dia sudah harus menjadi dewasa dengan statusnya yang baru sebagai seorang istri. Luna sadar bahwa dirinya selama ini tak pernah membuat orang tuanya bangga. Nilai selalu pas-pasan. Soleh juga nggak. Mengapa dia baru menyadarinya sekarang?
Arya tak berkomentar apa-apa, meskipun terselip rasa sesak di dalam dadanya. Dia hanya diam sembari memandangi ibu dan anak yang saling berpelukan dalam tangis itu.
***
Setelah acara walimahan kelar dan semua tamu undangan pulang, Luna berbaring di atas ranjang. Karena terlalu lelah dia memutuskan bermalam di rumah orangtuanya dulu. Besok mereka baru akan pindah dan menempati rumah mereka sendiri. Akhirnya hari yang melelahkan ini berakhir juga. Pintu kamar terbuka dan Arya muncul dari sana. Dia mengenakan kaos dan celana oblong dengan handuk yang melingkar di lehernya.
"Capek juga walau cuma duduk-duduk aja," keluhnya. Cowok itu mendekati ranjang Luna. Dia menendang pelan pinggang Luna dengan kaki kirinya. "Geser dong!" ucapnya tak tahu sopan santun.
"Hei! Masa begitu caramu memperlakukan istrimu!" Luna mendengus, tapi dia menggeser tubuhnya juga, sehingga ada space di mana Arya bisa meletakkan pantatnya. Arya tak ambil pusing. Dia berlagak santai saja seperti biasanya.
"Kamu nggak gugup?" tanya Luna tiba-tiba.
"Gugup kenapa?"
"Ini kan malam pertama kita gitu loh. Kamu nggak deg-degan tidur seranjang sama cewek?"
Arya malah tergelak. "Cewek apaan? Kamu tuh cuma Luna. Lagian bukannya kita udah sering tidur bareng begini? Malah dulu sering mandi bareng, kan? Dadamu itu masih rata sampai kelas empat."
"Maaf deh! Kalau aku nggak seksi!" geram Luna. Tetangganya itu memang menyebalkan. Mustahil memang bisa jatuh hati pada cowok ini. Mereka memang sudah sangat terbiasa dengan keberadaan satu sama lain. Sama seperti apa yang diucapkan Rifki tadi. Mereka itu kayak keluarga. Makanya aneh banget tahu-tahu mereka nikah.
Arya meletakkan handuk di sandaran kursi. Dia lalu berbaring di ranjang Luna tanpa rasa canggung sedikitpun. Memang itu hal yang sudah biasa mereka lakukan sih. Tidur bersebelahan seperti ini sembari menatap langit-langit kamar yang gelap. Hanya ada penerangan dari stiker-stiker berbentuk bintang bercahaya yang ditempelkan Luna di atap kamarnya.
"Ar," bisik Luna.
"Apaan?" tanya Arya dengan gayanya yang tak pernah antusias.
"Ayo kita bikin perjanjian nikah," usul Luna. "Kita nggak bikin itu kemarin, kan? Kalau kawin kontrak begini harusnya kan ada perjanjiannya, kayak di full house itu."
"Boleh, isinya apaan?"
"Hak dan kewajiban masing-masing," kata Luna.
"Oke." Arya menyalakan alat rekam di ponselnya karena malas mencatat.
"Pasal satu dari perjanjian nikah Arya dan Luna, tentang hak dan kewajiban, ayat satu, kebersihan rumah harus dijaga bersama. Rumah harus dibersihkan setiap hari. Jadwal terlampir," ucap Arya.
Luna tertegun. "Kita nggak sewa pembantu aja?" usulnya. Bersih-bersih bukanlah hobinya.
"Bahaya kalau ada orang lain di rumah. Ntar bisa ketahuan kita nggak tidur seranjang," kata Arya.
Luna menghela napas. Benar juga ucapan Arya itu. "Jadi jadwalnya gimana?"
"Selang-seling aja, Senin aku, Selasa kamu, begitu sampai hari Jumat. Kalau Sabtu dan Minggu kita kerja bakti."
Luna mengangguk-angguk saja. "Lanjut pasal dua," ucapnya.
"Tentang memasak," kata Arya.
"Go food aja bisa nggak?"
"Aku sukanya masakan rumahan," tolak Arya. "Lagian masakan beli pasti banyak MSG-nya. Aku nggak mau jadi generasi micin."
"Okelah samaan aja jadwalnya dengan jadwal bersih-bersih rumah," ucap Luna. Dia jadi memikirkan masakan apa yang bisa dia masak. Kayaknya cuman tempe goreng dan sambal.
"Ayat ketiga apa?"
"Masalah cuci baju," tutur Arya.
"Oh ya, aku kan sudah serah terima jabatan sempak dari ibumu ya," angguk Luna.
"Bisa nggak sih nggak usah ungkit-ungkit itu lagi!" Arya mendadak marah.
Luna melirik suaminya yang tampak malu itu. "Kamu duluan yang bahas masalah cuci baju, kan? Jadi gimana jadwalnya? Apa kira-kira kamu bisa cuci sempak sendiri?" goda Luna sambil terkekeh.
"Bisa kalau pakai mesin cuci!" tegas Arya. "Besok kita beli!"
"Beli kulkas juga dong, buat simpan bahan makanan, katamu tadi mau masak sendiri."
"Oke."
Luna menghela napas. "Jadi isinya surat perjanjian ini dari tadi cuman bahas hal-hal receh aja."
Arya melirik Luna. Cewek itu diam sambil memandangi langit-langit kamar. "Rasanya kita beneran cuman jadi temen kos satu kontrakan aja."
"Maksudmu? Biar receh juga ini hal yang penting. Tinggal serumah itu yang paling penting adalah rasa nyaman, kebersihan salah satu faktor utamanya," sergah Arya.
"Tapi ada hal lain yang lebih penting, kan."
"Apaan?"
"Misalnya sampai kapan kita bakal nikah."
Luna melirik Arya. Pria itu ternyata sedang memandanginya. "Baru juga malam pertama, masak udah bahas ini aja," keluhnya.
Luna dan Arya terdiam. Selama beberapa menit suasana menjadi hening. Mereka hanya menatap langit-langit kamar.
"Ibuku terlihat senang hari ini," lirih Arya.
"Mungkin karena dia lega, sudah menyerahkan jabatan sempaknya."
"Jangan bahas sempak-sempak lagi! Sudah kubilang aku bakal cuci bajuku sendiri!" Arya menggeram kesal lalu mencubit kedua pipi istrinya dengan gemas. Luna hanya tertawa, tawa yang manis sehingga membuat jantung Arya melonjak sedikit. Dia melepaskan cubitan itu lalu berpura-pura mengecek ponselnya.
"Maksudku, kalau kamu mau pisah waktunya jangan terlalu dekat. Seenggaknya setahun, pikirkanlah perasaan orang tua kita," putus Arya.
Luna terdiam. Terbayang kembali dalam ingatannya bagaimana ekspresi ibunya ketika dia sungkem di acara walimahan tadi. Wanita yang melahirkannya itu tampak sedih namun juga lega. d**a Luna seketika bergemuruh.
"Kalau sebelum itu kita ketemu orang yang kita suka bagaimana?" tegur Luna.
"Setahun bukan waktu yang lama," ucap Arya.
Luna tampak berpikir sejenak kemudian mengangguk. "Oke."
"Cukup itu dulu kali ya, sisa perjanjian kita bicarakan besok, aku udah ngantuk," ujar Arya sembari menguap.
"Oke."
Arya membalikkan badan, memunggungi istrinya. Diam-diam pria itu mengepalkan tangannya.
***
Kampes = bahasa gaul dari kota Malang yang artinya celana dalam.