Gojek yang dinaiki Luna berhenti di depan sebuah hotel mewah. Banyak Kris stasiun TV yang berlalu lalang di depannya. Aldo, sang mempelai pria adalah vokalis dari band Pheromones yang sedang naik daun. Luna tak pernah menyangka bahwa dia bisa diundang ke resepsi pernikahan artis seperti ini. Setelah berterima kasih kepada bapak Gojek, Luna masuk ke dalam lobby. Dia bertanya pada satpam sembari menunjuk kartu undangannya. Satpam itu lalu menunjukkan jalan. Luna di bawa ke ruang tengah. Pesta yang mewah itu di gelar di sebuah hall. Mata Luna terkagum-kagum melihat dekorasi bunga-bunga yang cantik. Cukup banyak artis yang diundang, bahkan salah satunya Diva musik Pop, Lucky. Mereka semua mengenakan dress yang cantik dan blink-blink.
Luna memandangi bajunya. One piece kotak-kotak biasa selutut dengan flat shoes warna hitam biasa. Sepertinya dia salah kostum. Ah, siapa peduli! Makan saja sebanyak-banyaknya lalu pulang. Batinnya
Luna celingukan melihat sekeliling. Barangkali saja dia bertemu dengan teman-teman kuliahnya yang lain. Mungkin lebih baik daripada dia sendirian saja di tempat asing ini.
"Luna." Sebuah suara menyapanya. Gadis itu menoleh dan tergagap melihat sepasang pria dan wanita yang berdiri di sampingnya. Tubuhnya seketika menjadi kaku.
"Sudah lama nggak ketemu," ucap si cewek yang mengenakan dress warna hitam dengan manik-manik yang cantik dan dandanan yang cukup menor. Dia menggandeng tangan lelaki di sebelahnya dengan manja. Namanya Audy, mantan sahabatnya semasa kuliah dulu.
"Gimana kabar?" sapa cowok di sebelah Audy. Namanya Dika, suami Audy. Dia tersenyum dengan senyuman manis yang masih selembut dulu.
Luna berusaha tak menatap mata pria itu. Jantungnya berdegup kencang sekali. Dia sungguh tak menyangka akan bertemu dengan mereka di sini. "Baik," jawabnya lirih.
"Susah banget mau ketemu kamu, kamu kok nggak pernah ikut reuni sih?" tegur Audy.
Luna tersenyum kecut. Reuni hanyalah acara bagi orang-orang yang sudah sukses. Makhluk yang masih tak jelas masa depannya seperti dia ini lebih baik menghindar.
"Kamu datang sendiri?" tanya Audy lagi. Luna yakin cewek itu tak benar-benar ingin tahu. Mungkin dia malah hanya memastikan saja kalau Luna memang masih sendiri. d**a Luna seketika merasa sesak. Dia tak menyukai dua orang ini. Dia benci mereka! Kenapa mereka bisa bicara dan menyapa seperti biasa? Tidakkah mereka punya sedikit saja rasa bersalah padanya? Mengapa mereka bersikap seolah tak pernah terjadi apa-apa?
"Luna." Luna mengangkat kepala saat mendengar suara itu. Dia menoleh dan mendapati Arya yang berdiri diantara kerumunan undangan. Senyuman Luna terkembang begitu melihat sahabatnya sejak kecil itu. Arya memang selalu menjadi superheronya.
"Aku cari kamu dari tadi," ucap Arya. Dia melirik pada Audy dan Dika sekilas lalu menarik tangan Luna. "Ayo."
Luna mengikuti Arya begitu saja. Tanpa menoleh dia meninggalkan suami-istri itu. Mereka baru berhenti di depan prasmanan Soto Betawi. "Ngapain kamu ngobrol sama dua orang itu tadi?" Arya akhirnya bertanya juga setelah mereka mendapat sepiring soto untuk disantap.
"Mereka yang menyapa duluan, masa aku nggak jawab," lirih Luna.
"Kalau aku jadi kamu, pasti aku cuekin mereka!" dengan Arya.
Luna terkekeh. "Nggak perlu jadi aku pun, tadi kamu sudah sok cuek."
"Aku emang nggak kenal mereka kok," dalih Arya.
"Seenggaknya basa-basi dong, Ar, sama Audy. Kamu kan pernah sekelas sama dia dulu," nasihat Arya. "Gara-gara sikapmu yang tak acuh kayak gini tuh sampai sekarang kamu masih jomblo aja!"
Arya membetulkan bingkai kacamatanya yang melorot. "Tahu dari mana kamu kalau aku jomblo?"
Luna terdiam sejenak dan memandangi sahabatnya itu. "Jadi kamu punya pacar?" tanyanya takjub.
"Nggak juga sih," aku Arya.
Luna tergelak. "Kirain beneran punya!" ujarnya berpura-pura kesal. "Tiap Sabtu Minggu kamu kan nongkrong di kamar, main game seharian tuh. Kalau kamu punya pacar, nggak bakalan bisa begitu."
"Gitu ya, kamu malah nggak keluar kamar kecuali mandi, makan, sama pup, kan? Aku ini masih terbilang makhluk normal," ejek Arya.
Luna mendesah frustrasi. Sesungguhnya dia juga ingin bisa hidup dan bersosialisasi selayaknya orang normal. Namun ada bagian dari dirinya yang merasa takut. Bagaimana kalau dia di sakiti lagi?
"Aku masih nganter ibuku belanja bulanan kok," dalih Luna. Seenggaknya dia tetap pernah keluar rumah walau hanya hitungan jari saja. "Jangan ngomong seolah-olah aku Hikikomori* begitu dong!"
"Tapi makasih banyak ya, tadi sudah bantuin aku. Kamu emang superheroku!" seru Luna.
"Jangan makasih doang dong," komen Arya. "Aku selalu bantuin kamu tiap deadline juga lho!"
Luna memperhatikan temannya itu dengan saksama. "Jadi kamu bantuin itu tuh pamrih?"
"Jelas, nggak ada yang gratis di dunia ini, Bos!" senyum Arya.
"Dasar licik, terus kamu mau minta apaan?" tegur Luna.
"Masih ingat tawaranku tadi pagi, kan? Jangan mendadak amnesia lagi," tegas Arya.
Mata Luna membulat, menatap teman masa kecilnya itu dengan gamang. Pria itu menatapnya dengan serius dan mengulanginya ajakannya tadi pagi.
"Ayo nikah!"
***
Hikikomori adalah sebuah istilah Jepang untuk fenomena di kalangan remaja dan dewasa muda di Jepang yang menarik diri dan mengurung diri dari kehidupan sosial.