Basanti bingung di mana keberadaan Ahilya karena dia belum pernah tahu anak itu setelah keluar dari rumah Nagendra dulu, Basanti tak tahu mereka tinggal di mana setelah keluar dari rumah yang ditempati Ahilya sebelumnya. Karena malam itu Ahilya membereskan pakaian dia dan anaknya lalu pergi dari rumah tersebut. Jadi ketika esoknya Basanti cari di rumah yang disiapkan oleh Keenan itu, Ahilya sudah tidak ada.
≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈
“Maaf ya. Aku jadi narik kamu. Beneran aku minta maaf. Tapi aku sudah nggak bisa mengelak lagi. Keluarga dia itu sejak dulu mengikat aku. Maaf kalau aku merepotkan kamu,” sesal Badai saat mereka keluar dari kantor milik Badai.
“Aku sudah kecemplung, lalu harus bagaimana? Nggak mungkin kan tadi aku bilang gua nggak kenal elu, begitu di depan siapa itu adiknya Pavita,” ucap Kayshilla.
“Aku pikir tadi Pavita masih hidup. Mirip banget. Kaget aku waktu lihat dia, jangan-jangan aku lihat setannya Pavita,” ucap Kayshilla.
“Untung Petrus memberitahu kalau dia adik kandung Pavita.”
“Dia adik Pavita. Kalau orang Jawa bilang sundulan. Aku nggak tahu kalau orang suku lain. Jadi dia jarak usianya sama Pavita cuma 11 bulan.”
“Kebetulan muka mereka sangat mirip, cuma beda di rambut saja. Rambutnya Pavita kan ombak mirip papanya, rambut Santi lurus mirip mamanya, tapi Pavita sering rebonding rambutnya biar mirip sama Santi.”
“Aku juga nggak mengerti, ternyata Santi juga sama dengan kakaknya. Dia ingin mengejar aku. Dan dia lebih kotor serta agresif. Awalnya aku juga nggak tahu beneran apa enggak. Tapi sekarang dia mau aku menikahi dia alasannya demi anaknya Pavita.”
“Kok kamu enak banget sih ngomong anak Pavita, itu kan anak kamu juga, nggak boleh loh ngomong begitu,” tegur Kayshilla.
“Jujur aku malu mengatakan itu anak aku. Jujur aku sedih harus mengatakan itu anak aku, karena anak itu dipaksa ada,” ucap Badai pelan dengan penuh penyesalan.
“Maksudmu bagaimana sih?”
“Ini mau ke mana dulu?” kata Badai mereka sudah ada di dalam mobil dan Badai sudah menyalakan mesin.
“Ya jalan saja dulu ada Ccafe berhenti. Lalu habis ngobrol kamu turun aku tinggal ngelanjutin. Enggak mungkin kan kamu ikut aku ke mana pun?” kata Kayla santai.
“Oke kalau begitu, sambil cerita ya.”
“Aku nggak tahu, Pavita juga bukan orang Minang yang dalam adatnya biasa perempuan melamar lelaki. Tiba-tiba aku dilamar!”
“Iya benar aku dilamar, orang tuanya ke rumah orang tuaku. Bukan aku melamar, bukan keluargaku melamar, tapi Pavita dan orang tuanya datang melamar aku,” Badai memulai cerita perjodohannya dengan almarhum Pavita.
“Padahal mereka bukan orang Minang, tapi itulah kenyataannya. Kedua orang tua Pavita minta pada kedua orang tuaku. Terutama Mamaku karena mamaku itu bersahabat dengan mamanya Pavita. Mereka minta aku untuk menikahi Pavita dengan tebusan atau mahar atau apalah sebutannya aku nggak mau tahu, sebuah perusahaan milik orang tua Pavita.”
“Aku bilang aku nggak mau, tapi Mamaku maksa. Ya sudah aku menurut. Aku pikir itu baktiku pada mama, sesudah selesai pernikahan, sebagai insinyur tentu aku siapin rumah dong buat kami tinggal. Aku enggak mau campur dengan orang tuanya atau dengan orangtuaku.”
“Walau rumah itu atas nama aku, tapi aku punya rumah. Jadi aku bawa dia ke rumah aku. Tenanglah hidupku karena enggak dikejar tuntutan mama.”
“Selama satu tahun dia jadi nyonya rumah, tanpa absen dariku untuk melakukan kewajibanku.”
“Tanpa kamu sentuh? Satu tahun ngapain nikah?” tanya Kayshilla.
“Yang mau nikah siapa? Bukan aku kan? Jadi jangan salahin kalau aku enggak sentuh dia, jangan salahin aku,” jawab Badai.
“Aku nggak mau kok. Biarin saja orang di luar sana bilang laki-laki itu bisa melakukan hal itu sama siapa pun tanpa perlu ada cinta. Tapi aku nggak. Jelas kata-katanya saja bercinta atau making kan? Dari kata dasar sama-sama cinta. Kalau yang melakukan tanpa dasar cinta sebut saja bers3ng4ma atau b3rsetu6uh, bukan bercinta atau making love,” Badai mengemukakan pendapat pribadinya soal ritual berlawanan jenis yang buat dia sakral.
“Setiap ditanya kenapa belum hamil Pavita hanya senyum dan diam. Tapi rupanya setahun dia tidak sabar, dia keceplosan sama Mamanya kalau dia masih virgin. Tentu saja mamanya meradang, satu tahun Pavita masih virgin, ribut lah dia sama mamaku mengatakan Pavita tidak pernah disentuh olehku walau kami satu kamar.”
“Mamaku malu dan marah. Aku ditegur di depan beberapa kerabatku yang kebetulan sedang ada di rumah karena sedang arisan keluarga juga ada beberapa teman mama yang ikut arisan itu.”
“Saat itu juga Pavita langsung aku geret ke kamarku di rumah Mama, karena aku ditegur di rumah Mama, dan dia aku per4wani di situ. Aku p3rk0sa karena aku malu dan marah. Benar-benar aku lakukan saja karena dia mau aku sentuh kan? Ya sudah akupenuhi semua keinginannya.”
“Lalu demi Mama dan Mama mertua kalau aku lagi marah dia aku p3rk0sa kembali dan kembali. Sampai Pavita lapor dia hamil. Setelah hamil goodbye.”
“Dia aku tinggal dalam petik. Aku tidak pernah menyentuhnya lagi sejak dia hamil. Yang penting tugasku sebagai lelaki, sebagai suami sudah selesai. Aku juga pisah kamar dengannya.”
“Itu mengapa aku tidak pernah merasa anak itu adalah anak aku.”
“Anak itu anak lelaki b***t yang memperk0sa istrinya sendiri. Itu kenyataannya dan itu bukan aku.”
“Bukan aku, walau sp3rma dan DNA-nya itu punya aku, tapi karakternya itu bukan aku. Aku dipaksa dengan keadaan harus membuat dia hamil. Sebenarnya aku jijik melepas keperjakaanku untuk Pavita. Tapi semua aku lakukan demi harga diriku yang dia koyak!’
“Aku benci dan jijik Pavita juga anak itu. Jangan kira hanya perempuan yang bisa jijik bila dipaksa, lelaki juga bisa jijik hanya kami bisa lebih dalam menyimpan segala busuk itu.”
“Apakah Pavita nggak pernah cerita sejak dia datang periksa hamil aku minta suami atau orang tuanya datang?” tanya Kayshilla. Mereka telah duduk di pojok sebuah café dan sudah memesan kopi.
“Memangnya aku pernah ngobrol sama dia? Mana berani dia minta aku menemabinya periksa.”
“Pavita itu sudah aku tolak meneruskan kehamilan, karena dia punya kanker di indung telurnya dan itu bisa berbahaya bagi jiwanya, tapi dia bilang dia akan meneruskan kehamilan karena itu tanda cintanya buat suaminya,” Kayshilla memandang badai yang tetap tak ada perubahan di raut wajahnya mendengar cinta Pavita yang sangat besar untuknya.
“Itu yang selalu dia dengungkan, aku bilang kalau sampai terjadi apa-apa kamu harus tanggung jawab ya, dia bilang iya.”
“Ya sudah aku tidak pernah melarang lagi. Mau diapain? Toh kalau aku larang dia akan cari dokter lain yang mau memeriksa dia. Jadi ya sudah yang penting dia sejak awal sudah aku beritahu. Semua ada di status data pasien. Aku tuliskan berkali-kali bahwa aku sudah melarang untuk meneruskan kehamilan.”
“Aku takut suatu saat aku di tuntut oleh orang tuanya, jadi sejak awal sudah aku tulis semuanya rinci, bagaimana kondisi dia saat itu.”