MARAHNYA BADAI

1064 Words
Kedua orang tua Badai mau tidak mau sore ini mengikuti kemauan Badai ke rumah Pavita. Anak mereka itu datang marah-marah dan bilang harus ke rumah Pavita sore ini juga dan kalau keduanya tak mau ikut bersamanya jangan salahkan kalau kedua orang tua Pavita akan babak belur ditangannya. “Dengan pengembalian bayi tersebut, saya juga mengembalikan semua saham dan surat-surat perusahaan yang diberikan ketika saya menikahi anak Anda. Anda berdua membeli saya, saya kembalikan berikut hasil dari pernikahan yaitu anak Pavita. Sudah clear sampai situ. TUTUP.” “Tutup, saya bilang sampai situ tutup.” “Rupanya sampah di rumah Anda tidak menutupnya. Santi mengejar-ngejar saya. Tadi siang saya memang sengaja mendengarkan lewat telepon pada Mama Daarpita dan Ibu, keinginan Santi yang ingin saya menikahi sebagai orang tua dari siapa bayi tersebut namanya saya lupa.” “Gazi, Gizi, Lizy, terserahlah. Saya nggak mau tahu. Santi bilang pokoknya anak itu katanya lebih baik bila kami bertiga menjadi keluarga yang utuh dan bahagia. Begitu kata Santi.” “Ke mana sekarang Santinya? Saya nggak tahu sekarang apa dia lagi clubbing atau dia lagi jual diri. Saya nggak tahu tapi itu yang penting dia minta pada saya agar segera dinikahi demi anak Pavita.” “Selama ini saya diam. Tapi cukup sampai hari ini,” Badai melihat tajam mata mertua lelaki dan mata mertua perempuannya tanpa ragu. “Saya beritahu rahasia besar saya,” ucap Badai dengan sinis. “Selama saya menikah dengan Pavita, beberapa kali Santi menggoda saya.” Kedua mertuanya tentu tak terima anaknya dihina seperti itu tapi badai mengerakkan tangannya agar semua diam. “Bayangkan saya suami sah kakak kandungnya, dan Santi menggoda saya dengan cara menjadi Pavita. Dia naked di depan saya menggoda saya untuk membuahi dia. Kalau tidak percaya panggil Santi sekarang juga. Kita cross check dengan dia, berani tidak dia membantah apa yang saya tuduhkan.” “Jadi sampah yang Anda dorong-dorong buat saya itu sekarang saya ultimatum. Kalau sampai dia memperlihatkan wajahnya, tubuhnya atau apa pun di depan saya lagi, rumah ini saya bakar tanpa terkecuali. Ingat itu.” “Saya tidak main-main. Saya tidak pernah main-main. Kalau Santi sampai berani mendekati saya, mendekati kantor saya, mendekati orang-orang terdekat dengan saya, bisa jadi itu kekasih saya atau pegawai saya atau sahabat saya, Santi akan saya bunuh. Saya nggak main-main!” kata Badai. Santi yang mendengar semuanya dibalik dinding tentu saja ketakutan. Dia tak percaya Badai melaporkan dirinya sudah menggoda karena memang itu apa adanya. Santi dua kali melihat Pavita menggoda Badai tapi tak berhasil. Untuk itulah dia mencoba juga menggoda Badai dengan lebih agresif, tapi tetap tak berhasil. “Santi itu bukan anak kecil. Beberapa kali dia menggoda saya di rumah saya. Setiap waktu Pavita pergi dia langsung datang dan menjadi Pavita kedua. Dia lebih agresif dari Pavita karena dia penjual keliling. Kalau nggak percaya Papa cari link ini,” Badai mengirim link kenomor empat orang tua di sana. “Santi itu penjual. Saya kasih tahu ya. Pavita itu pure murni virgin. Dia bobol sama saya. Beda dengan Santi, sudah dua kali menggugurkan kandungan. Itu yang saya tahu.” “Kalau enggak percaya suruh keluar saja, dia ngumpet kok di balik tembok. Saya tahu,” pancing Badai yang melihat bayangan Santi. “Sekali lagi saya kasih tahu, kalau dia berani mendekati perempuan siapa pun yang dekat dengan saya atau pegawai saya atau siapa pun, dia akan saya bunuh.” “Saya sudah beritahu Mama tadi pagi, kalau lewat telepon, kalau Santi masih berani mendekat dia akan saya bunuh tanpa tedeng aling-aling.” “Saya sudah beritahu di sini. Jadi kalau saya melakukannya saya enggak mau tahu,” tentu saja orang tua Badai kaget mendengar itu. “Jadi Ayah, terutama Ibu jangan macam-macam sama aku. Jangan lagi ngejodohin, apalagi sejenis Pavita jadi-jadian yang bernama Santi. Dia itu sampah Bu. Dia itu pedagang keliling. Dia sudah dua kali menggugurkan kandungannya. Aku tahu itu.” “Kalau Ibu masih support dia, jangan harap aku akan memanggil Ibu pada Anda. Ibu menjodohkan saya dengan Pevita yang asli saja sekelas Pavita, saya nggak mau kok.” “Dulu saya sengaja tidak mau menyentuh Pavita karena saya menghormati dia sebagai orang yang bertanggung jawab.” “Saya pikir nanti dia akan punya suami kedua billa saya ceraikan, dia masih virgin. Tetapi Ibu marahin saya di depan arisan, saya enggak terima lah. Saya p3rk0sa dia sampai dia hamil.” “Kalau tidak dimarahi saya enggak akan pernah sampai menyentuh Pavita. Bukan karena saya tidak mau, tapi saya tidak mau merusak dia.” “Sayangnya kalian yang merusak dia. Kalian yang membuat saya membabi buta melakukan kebej4tan, memperk0sa Pavita.” “Anak itu hasil p3rk0saan, bukan hasil cinta saya. Jadi saya nggak peduli sama dia. Dia sama semisal saya membuahi p3l4cur. Saya nggak akan menghargai anak itu sebagai anak saya.” “Dia hadir bukan atas dasar cinta. Itu anak terjadi karena kalian yang menyuruh harus jadi. Kalian yang menginginkan Pavita hamil dari saya. Saya lakukan itu.” “Jadi itu tanggung jawab kalian. Saya nggak ada urusan sama anak tersebut. Terserah mau kalian kasih nama apa pun saya nggak peduli.” “Mau kalian buang, mau kalian bunuh, saya enggak peduli. Saya sudah melakukan kewajiban saya terhadap orang tua. Jadi Ibu sekali lagi kalau Ibu macam-macam dengan menjodohkan saya dengan siapa pun mungkin dengan anak teman ibu yang lain. Atau Ibu melarang keinginan saya menikahi siapa pun nanti, jangan harap saya mau menjadi anak Anda lagi.” “Tak apa, biar saya disebut durhaka daripada saya kembali ke kubangan lumpur yang namanya rumah tangga rekayasa.” “Saya ingin rumah tangga atas dasar cinta. Saya tak peduli siapa pun yang nanti saya nikahi. Tapi harus berdasarkan cinta, bukan berdasarkan dibeli dengan perusahaan. Apalagi dibeli dengan persahabatan SMP seperti yang ibu dan mamanya Pavita lakukan. Kalian penjahat, kalian orang tua busuk,” Badai tanpa pamit balik badan dan meninggalkan rumah Pavita. ≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈ “Santi! Keluar kamu!” teriak Wirasana Zohar, papa Pavita, dengan suara menggelegar. Darpitaa Zohar, mama Sanyi hanya bisa ketakutan mendengar suaminya berteriak seperti itu. Dia tahu kalau suaminya sudah seperti itu amarahnya sudah sangat memuncak. Santi keluar dengan menunduk dia sungguh takut. Kalau tidak keluar itu lebih bahaya karena pasti papanya akan menggeret dia tanpa ragu. Papanya sangat keras, kalau sudah marah seperti itu tak ada yang bisa menghentikan amarah sang papa. Sebenarnya dia lembut, tapi kalau sudah marah tak ada yang bisa membendungnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD