Bab 2

1269 Words
“Hari minggu nanti, in shaa Allah kita semua akan berkumpul di rumah ibu. Untuk membahas bagaimana baiknya. Aku mau minta izin sama kamu mas. Izinkan aku merawat ibu ku”. Mas Ikram diam sejenak. Tak langsung menjawab pintaku. Entah ia memberikan izin atau tidak. Aku sendiri harap-harap cemas akan jawaban darinya. “Aku pasti bakal sangat senang kalau ibu mau ikut dengan kita sayang. Tapi, diskusikan dulu semuanya dengan ke empat saudaramu yang lain. Aku akan selalu mendukung apa pun pilihan kamu selama itu baik dan membuatmu senang”. Jawabnya bijak. Aku mendongak menatap wajahnya. “Mas serius?” ku ulang pertanyaanku. Seolah tidak mempercayai apa yang telah masuk dalam runguku. “Iya sayang. Aku turut senang kalau ibu juga tinggal di sini”. Jawabnya mengulang ucapannya. Aku terbangun dengan sebelah tanganku menjadi tumpuan bobot tubuh, ku cium mesra pipinya sebagai tanda terima kasihku. “Terima kasih sayang”. Ucapku sungguh-sungguh. Ah, terima kasih ya Allah. Telah menganugerahkan suami seperti dia menjadi pendamping hidupku. Lelaki yang selalu berusaha memberikan kebahagiaan untukku. Mas Ikram menahan wajahku. Memberi kecupan dalam pada bibirku. Kami saling membalas kecupan. Hingga ritual malam suami istri pun terlaksana. Kami tertidur karena kelelahan setelah ritual singkat kami. Aku mencintaimu suamiku. Terima kasih telah menjadi yang terbaik untukku. *** Tidak terasa waktu sudah sampai pada hari minggu. Hari di mana kami, lima bersaudara akan berkumpul di rumah ibu. Pagi ini semua persiapan kami sudah selesai. Mas Ikram pun turut membantu memandikan anak-anak. Ya, begitulah suamiku. Mereka bilang dia tipikal suami idaman. Benar, memang benar. Karena apa pun pekerjaanku ia akan selalu ringan tangan untuk membantu. Bagiku dia, adalah sosok imam yang paling sempurna. Pukul 07.30 pagi, mobil kami meninggalkan pekarangan rumah menuju rumah ibu. Kedua buah hatiku duduk di kursi belakang kemudi. Bagian ini telah di pasang sebuah kasur khusus agar mereka lebih nyaman menikmati perjalanan. Kami mampir ke mini market untuk membeli beberapa buah tangan. Dua jam perjalanan tidak terasa kami lalui. Kedua anakku mereka aktif bertanya tentang hal baru yang mereka temui sepanjang perjalanan tadi. Mobil kami masuk ke dalam pekarangan rumah ibu. Suasana Halaman rumah ini masih sama. Selalu tertata rapi dengan deretan bunga yang di susun sesuai dengan jenisnya. Saat memasuki pekarangan, hanya motor mas Dika yang sudah terparkir rapi di halaman. Rumah mas Dika memang hanya berjarak satu jam menuju ke rumah ibu. Tepatnya berada di tengah antara rumahku dan rumah ibu. “Assalamualaikum”. Kami semua mengucap salam saat hendak memasuki rumah ibu. “Wa alaikum salam”. Jawab mas Dika, ibu dan mbak Susi, istri mas Dika. Aku menggandeng kedua buah hatiku, sedangkan mas Ikram membawa kantong belanjaan dan barang-barang bawaan kami. Dengan sigap, mas Dika turut membantu. Ku salami ibu, mas Dika dan kakak iparku bergantian. Dan kupinta juga kedua anakku melakukannya. Kami duduk bersantai di ruang keluarga untuk melepas lelah setelah acara salam-salaman selesai. “Loh yang lain belum datang?” Tanyaku basa basi. “Belum Za. Kamu kaya nggak tau aja”. Jawab mas Dika dengan raut sedikit kesal. “Dean nggak ikut mas”. Aku mengganti topik pembicaraan. Karena tak enak melihat wajah kesal mas Dika. Dean adalah anak dari mas Dika. “Nggak Za. Motornya udah nggak muat. Kamu kan tau Dean sudah besar”. Jawabnya di selingi kekehan halus. “Oh iya ya”. Aku baru ingat kalau ternyata keponakanku itu sudah kelas enam sekolah dasar. Kami menghabiskan waktu dengan obrolan random. Mbak Ina, asisten rumah tangga ibu membawa keluar beberapa gelas minuman dan camilan yang ku bawa tadi. Suara klakson mobil menggema saat memasuki pekarangan rumah ibu. Mobil Pajero sport hitam. Entah milik siapa karena aku pun baru melihatnya. Tidak lama keluarlah pemiliknya. Mas Hamza dan istrinya. Mereka turun dengan senyum merekah seolah meminta kami untuk menyambutnya. Setelah menyalami ibu, mas Hamza dan istrinya ikut nimbrung bersama kami duduk meleseh di ruang keluarga. Baru saja mas Hamza duduk. Sebuah mobil matic dan sebuah mobil sport ikut masuk ke pekarangan rumah ibu. Halaman rumah ibu memang luas. Cukup untuk menampung lima sampai enam mobil. “Assalamualaikum”. Mas Arfan berteriak lantang dari luar. Kedua keluarga itu masuk ke dalam rumah ibu. “Wih mobil baru nih mas”. Mas Arfan menyenggol bahu mas Hamza. “Iya dong. Kemarin bonus kantor cair. Lumayan buat beli baru”. Yang di tanya menjawab dengan bangga. Sedari tadi aku dan mas Dika tidak menyinggung kendaraan baru kakakku itu. Karena pastilah ia akan menjawab dengan pongahnya. “Bonus kantor mas gede dong ya. Bisa traktir-traktir nih”. Mbak Tia ikut nimbrung. Mereka bertiga memang kompak jika membicarakan tentang kekayaan. Sementara aku dan mas Dika lebih memilih banyak diam. “Traktir apaan?” mas Hamza menanggapi. “Ya kali ada hadiah untuk para ponakan”. Jawab mbak Tia. “Gampang deh”. Jawab mas Hamza enteng. “Mobil lama mas di sumbangin aja buat Dika. Kasian motor bututnya udah minta pensiun”. Mas Arfan tertawa. Dia anggap merendahkan orang lain itu lucu. Hatiku sendiri sangat geram mendengarnya. “Biar butut masih banyak manfaatnya”. Jawab mas Dika santai. Tidak ada raut marah dalam ekspresinya. Ku akui kebesaran hati kakakku yang satu ini patut di acungi jempol. “E..” “Udah jangan ribut di sini. Niatnya kita ke sini buat nengokin ibu kan”. Ku putus ucapan mas Arfan saat ia hendak kembali membuka mulutnya. “Kamu ini emang sama aja kaya Dika”. Mbak Tia justru malah terdengar nyolot. “Udah dek. Jangan ribut”. Mas Ilham suami mbak Tia menengahi. “Jadi kita mulai saja diskusinya ya”. Kataku memulai pembicaraan. Karena berharap dari ke tiga kakak tertuaku sangatlah mustahil. Mereka hanya akan sangat bangga ketika memamerkan barang mewah yang mereka miliki. “Sepertinya gejala pikun ibu sudah mulai ada tanda-tanda. Tentunya kalian tau kan tujuan kita berkumpul di rumah ini untuk apa”. Ucapku lantang. Walaupun aku anak bungsu. “Mungkin ada salah satu di antara kita yang siap untuk merawat ibu”. Ucap mas Dika. “Aku nggak punya banyak waktu di rumah. Dan kakak iparmu juga nggak mungkin aku minta untuk merawat ibu”. Dengan cepat mas Hamza menjawab. Aku tau, kalau mbak Kinan, istri mas Hamza itu seorang reporter di salah satu stasiun TV swasta. Jadi tidak mungkin bisa mengasuh ibu. “Aku juga nggak bisa. Aku Cuma bisa bantu secara finansial aja”. Jawab mas Arfan sambil mengunyah jeruk. “Kalo mbak Tia gimana?” tanyaku pada kakak perempuanku. “Kamu kan tau. Di rumah mbak ada dua balita kembar. Mbak nggak sanggup kalo harus ngurus ibu juga”. Jawabnya keberatan. “Biar mas aja Za”. Jawab mas Dika. “Tapi mas, bukan aku merendahkan mas Dika. Rumah mas Dika agak sempit kalau untuk empat orang”. Ucapku hati-hati. “Apalagi rumah mas kan bengkel. Aku takut ibu kurang nyaman karena suara mesin motor. Dan bisa mengganggu ketenangan ibu”. Rumah mas Dika memang sebuah petak yang tergabung antara rumah dan bengkelnya. “Terus emangnya kamu sanggup ngurus ibu Za?” Tanya mas Arfan. “Aku udah diskusi sama mas Ikram. Dan mas Ikram setuju kalau ibu akan ikut bersama kami”. Jawabku sambil memandang suamiku. Ia menyunggingkan senyum manisnya. “Ya udah kalo gitu ibu ikut kamu aja”. Jawab mbak Tia enteng. Kesepakatan telah di ambil. Dalam musyawarah, ibu akan ku bawa pulang ke rumahku, bersama dengan mbak Ina. Tentu aku sendiri yang akan turun tangan langsung dalam mengurus ibu. Mbak Ina hanya akan membantu pekerjaan ringan saja.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD