Bab 1
“Assalamualaikum Iza”. Sapa ibu saat meneleponku. Entah ini sudah telepon untuk yang ke berapa kalinya di hari ini.
“Wa alaikum salam ibu”. Dengan lembut ku jawab salam dari wanita yang telah melahirkanku.
“Apa kabar nak?” Lagi pertanyaan yang sama yang beliau ucapkan. Namun, tak ada rasa kesal sedikit pun di hatiku padanya.
“Iza sehat bu. Ibu sendiri gimana?” Ku tanya kembali keadaan beliau.
“Ibu juga sehat nak. Alhamdulillah”. Nada suaranya terdengar bahagia. “Ibu kangen sama Iza. Sudah lama ibu nggak telepon Iza”. Ucapnya. Padahal baru setengah jam yang lalu beliau meneleponku. Aku bisa memaklumi, mungkin ini faktor usia ibu yang sudah tidak muda lagi.
“Iza juga kangen ibu”. Ku jawab pula dengan hal yang sama.
“Iza kok nggak pernah telepon ibu. Kakak-kakakmu juga nggak pernah telepon ibu”. Ujarnya dengan nada sedih.
“Mungkin kakak sedang sibuk bu. Kan ibu bisa telepon Iza”. Aku mencoba menghibur beliau. Aku pun mencoba berhusnuzhan pada mereka. “Ibu sudah makan?” Kataku mengalihkan perhatian.
“Belum nak. Ibu masih belum lapar”.
Ibuku, Nur Aisya, wanita berusia lima puluh sembilan tahun. Wanita yang telah melahirkan aku dan ke empat saudaraku. Kami terlahir sebagai lima bersaudara, tiga laki-laki dan dua perempuan. Dan aku sebagai putri bungsunya. Tapi kami semua tinggal jauh dari ibu.
Aku pernah mengajak ibu untuk tinggal bersamaku, tapi beliau menolak dengan alasan tidak ingin merepotkan dan menjadi beban bagi anak-anaknya.
Ayahku yang seorang pensiunan ASN telah meninggal lima tahun yang lalu karena mengidap penyakit jantung. Sejak itulah, ibu hanya tinggal berdua di rumah bersama dengan seorang asisten rumah tangga yang kami gaji.
Seminggu sekali jika ada libur kerja, aku sekeluarga selalu berkunjung ke rumah ibu. Jarak tempuh perjalanan yang hanya memakan waktu dua jam saja tidaklah terasa berat bagi kami. Justru rasa bahagialah yang kami rasakan.
“Ya sudah nak. Ibu mau istirahat dulu”. Ucap ibu hendak mengakhiri panggilan telepon kami.
“Baik bu. Selamat istirahat. Aku sayang ibu”.
“Ibu juga sayang Iza. Assalamualaikum”.
“Wa alaikum salam”.
Ku letakkan ponsel setelah panggilan ibu berakhir. Aku kembali mengerjakan pekerjaan rumah yang tertunda. Mengurus anak bungsuku, sambil menunggu mas Ikram pulang kerja.
[Kalian di telepon terus nggak sama ibu]. Sebuah pesan dalam grup di aplikasi hijau milikku masuk. Pesan dari kakak tertuaku, Mas Hamza.
[Iya. Seharian ini ibu udah lima kali nelpon aku. Dan pertanyaannya selalu sama] Balas Kakak ke tiga. Mbak Tia.
[Sama, sampai pas sore ini aku nggak angkat] Mas Arfan, kakak ke dua ku.
[Janganlah begitu. Mungkin ibu memang rindu, karena kalian juga udah lama nggak datang kan?] Balasku.
[Kamu kan tau kalo kita sendiri sibuk Iza] Balas Mas Arfan.
[Sesibuk apa pun kalian, sempatkanlah sedikit waktu untuk mengunjungi ibu]. Jawabku. Aku cukup geram saat membaca jawaban mereka. Bagaimana tidak, datang mengunjungi ibu hanya di saat mudik lebaran. Saat hari libur mereka justru lebih memilih menghabiskan waktu dengan berlibur.
[Sudah jangan bertengkar. Hari minggu besok kita semua berkumpul di rumah ibu. Kita bahas bagaimana baiknya. Karena sepertinya, gejala pikun sudah mulai ada sama ibu]. Kakak ke empat menengahi. Dialah yang paling bijak di antara semua kakakku. Mas Dika.
Hanya aku dan mas Dika yang masih sering datang berkunjung ke rumah ibu. Kami sering mengajak ibu untuk tinggal bersama kami, Namun ibu selalu menolak. Di tambah, ekonomi Mas Dika yang sedang tidak stabil.
[Kita lihat nanti. Kalo nggak sibuk pasti kita datang kok]. Jawab mas Hamza enteng.
Chat room dalam aplikasi hijau pun berakhir. Aku sendiri jarang nimbrung jika pembahasan bukan hal yang penting.
Pukul 16.30 sore, Mas Ikram sudah pulang dari kantor. Hari ini tidak ada agenda yang membuatnya lembur. Selesai mandi, mas Ikram langsung bermain bersama anak-anaknya. Xavier yang berusia enam tahun dan Nasywa dua tahun. Sepasang buah hati kami dari hasil pernikahan selama tujuh tahun menjalani bahtera rumah tangga.
Aku membawakan beberapa camilan untuk menemani waktu bersantai di sore ini.
Seperti biasa kami menghabiskan waktu dengan bercanda. Layaknya keluarga yang harmonis pada umumnya.
***
Malam harinya setelah menidurkan anak-anak di kamar mereka, aku menyusul mas Ikram ke kamar kami. Ia sedang duduk bersandar di kepala ranjang sambil mengerjakan sedikit pekerjaan kantornya.
Melihatku masuk kamar, mas Ikram meletakkan pekerjaannya. Sudah menjadi perjanjian kami saat malam hari, adalah waktu kami menghabiskan waktu berdua.
Aku masuk kamar mandi untuk mencuci muka dan berganti pakaian tidur. Begitu keluar mas Ikram menyambutku dengan senyumnya yang manis.
Ya, senyum itulah yang selama ini membuatku tergila-gila padanya. Senyum penuh kehangatan, yang mampu menentramkan hati.
Ia menepuk bahunya yang lebar sambil berbaring, memintaku untuk berbaring di d**a bidangnya. Sandaran yang paling membuatku merasa aman dan nyaman.
“Mas, aku mau ngomong sesuatu”. Ucapku membuka obrolan. Mengobrol sambil menikmati waktu adalah momentum yang paling baik untuk mempererat kasih sayang antara kami.
“Apa itu sayang?” Tanyanya sambil memainkan rambut panjangku.
“Kayanya ibu sakit mas”.
“ibu? Sakit apa?” Ada getar suara cemas dari nada suaranya. Mas Ikram sangat menyayangi ibuku selayaknya ibu kandungnya. Karena mas Ikram sendiri tidak pernah merasakan kehangatan dan kasih sayang dari orang tua. Ia tumbuh besar di lingkungan panti asuhan. Sehingga empatinya terhadap orang lain sangatlah besar.
Ia sangat bahagia saat meminangku dulu ia mendapatkan keramahan dan bisa merasakan hangatnya kasih sayang dari orang tua. Walaupun bukan orang tua kandungnya.
“Seharian ini, entah sudah berapa kali ibu terus menerus menelepon kami. Dan selalu mengucapkan pertanyaan dan ucapan yang sama. Aku rasa ibu mulai mengalami gejala pikun mas”.
“Terus gimana reaksi saudara yang lain sayang?”
“Hari minggu nanti, in shaa Allah kita semua akan berkumpul di rumah ibu. Untuk membahas bagaimana baiknya. Aku mau minta izin sama kamu mas. Izinkan aku merawat ibu ku”.