Dear Friend

1030 Words
Waktu begitu cepat berlalu dan Gwen sudah bekerja selama dua minggu, ia sudah nyaman sekali disana. Kabar baiknya Gwen kedatangan Tasya sahabatnya, setelah sekian tahun mereka tidak pernah bertemu. Tasya memutuskan untuk menginap beberapa hari di Los Angeles setelah sejak dua tahun lalu wanita itu tinggal di Seattle bersama Bibinya. Mereka melepas rindu dan saling berpelukan, karena sebelumnya tidak bisa saling mengunjungi dimana Gwen sangat terkekang dan tidak bisa kemana-mana kemarin. Sedangkan Tasya, wanita muda itu selalu memamerkan hidup bebasnya pada Gwen. Tasya sekarang sibuk mengelola galeri seni milik Bibinya yang sangat sayang dengan Tasya. Gwen sedikitnya iri pada sahabatnya itu meskipun ia selalu bersyukur pada hidupnya, setidaknya kedua orangtuanya masih hidup dan lengkap tidak seperti Tasya yang sudah kehilangan orangtuanya karena perceraian lalu ayahnya meninggal. "Sumpah gue kangen banget sama lo sista..." Tasya memeluknya begitu erat setelah Tasya sampai ke apartemennya. Gwen membalas pelukan erat sahabatnya, membawa Tasya masuk kedalam untuk dapat bercerita lebih nyaman. Dan Gwen menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada saat terakhir mereka bersama yaitu ketika Tasya mengantarnya pulang kerumah, dimana kedua orangtuanya marah dan menyuruhnya tinggal di Australia. Tasya sendiri selain mengelola galeri seni, wanita itu mengikuti kursus membuat kue untuk mengisi waktu senggang dan pelancar calon usaha Tasya yang ingin membuka kedai kue. Tidak seperti Gwen yang hanya fokus belajar dan tidak memikirkan masalah asmara, Tasya akan melangsungkan acara pertunangannya bulan depan. Pria beruntung ini adalah sahabat dari Kakak sepupu Tasya disini, namanya adalah Theo dan bekerja sebagai seorang Chef. "Lo juga harus lupakan masa lalu Gwen, lagi pula cowok-cowok disini gak mempermasalahkan lo perawan atau bukan selagi perasaan lo tulus." "Lo udah capek-capek belajar kemarin dan merasa terkekang, sekarang saatnya lo bebas Gwen. Tujuan utama lo pergi jauh kan memang untuk itu, lo harus jadi diri lo sendiri yang gak peduli dengan tanggapan orang." Gwen menghela nafasnya pelan, menatap Tasya dengan senyum tipis. Selama ini selalu dirinya yang menyemangati sahabatnya itu karena Tasya dulu terlalu lemah dan cengeng, sekarang waktu sudah banyak terlewat dan Tasya sudah dewasa dan akan bertunangan. "Lo benar, tapi gue masih perlu banyak penyesuaian disini. Nanti kalo ada yang cocok juga gue bakal kejar cowok itu, sekarang belum ketemu aja." "Bagus deh, padahal gue pengen banget lo jadi sama Kakak sepupu gue biar kita bisa jadi keluarga. Sayangnya Kakak sepupu gue sudah punya tunangan dan sudah punya anak mau dua." Gwen terkekeh pelan setelah ia meminum birnya, lalu menatap Tasya dengan tatapan mengejek. "Gue gak suka dicomblangin dan gue gak suka jadi pelakor." Tasya tertawa lucu mendengar penuturan Gwen yang sangat tegas tapi menyindir itu, ciri khas Gwen yang sangat Tasya rindukan. "Pokoknya besok kita harus puas-puasin senang-senang sebelum lusa lo masuk kerja lagi. Sekarang jadwal kita curhat, nonton film dan makan kue buatan gue." Tasya membuka kopernya dan mengeluarkan sebuah kotak berukuran sedang berisikan berbagai macam kue kering siap makan. Gwen excited sekali saat melihat berbagai bentuk lucu kue yang dibawa Tasya, ia percaya tak percaya kue itu dibuat oleh Tasya yang tidak bisa memasak mi. "Serius ini buatan lo?" "Serius, besok lo kerja gue bakal buatkan lo kue untuk stok cemilan di apartemen." "Lo masak mi aja gak bisa, gimana gue percaya lo bisa buat kue yang lucu-lucu begini bentuknya." Ujar Gwen seraya mencomot satu kue untuk ia icip. "Itu kan dulu Gwen, gue sekarang udah bisa masak. Soalnya Theo itu suka makan dan jago masak, jadi gue untuk ngejar dia itu butuh usaha extra belajar masak dan buat kue begini." Bela Tasya pada dirinya sendiri, agak kesal juga ia mengingat dulu payah sekali menjadi perempuan. "Ya meskipun gue gak sejago Theo tapi masakan gue lumayan enak kok kata Aunty gue." "Ah lo mah dari dulu jago kandang, gak heran gue kalo Aunty lo yang bilang enak." Ledek Gwen yang tak berhenti mengunyah cemilan. "Ihh Gwen lo mah gitu, beneran masakan gue enak. Lo emang kudu nyoba masakan gue biar gak mengejek gue lagi." Tawa Gwen pecah, nyatanya sudah sedewasa apapun mereka sikap manja dan kekanakan itu akan muncul saat bersama dengan orang terdekat. Gwen sudah lupa kapan terakhir kali ia bermanja, lagipula sekarang pada siapa ia bisa bermanja selain pada Tasya yang sekarang menampilkan wajah cemberut kesalnya. Sesering apapun ia mengejek Tasya, dalam hati Gwen hanya Tasya yang paling ia sayangi karena sudah bersama dirinya menerima setiap keluh kesahnya selama mereka berteman. Gwen harap Tasya akan menemukan kebahagiaannya karena itu adalah kebahagiaan Gwen juga. "Eh btw gimana rasanya kerja di perusahaan besar kayak M.B. Inc.?" "Ya sejauh ini sih gue masih nyaman dengan berbagai aturannya, lo tau sendirikan kalo gue harus betah-betah kerja disana supaya bisa disini lebih lama? Entah setelah kontrak gue habis, apa orangtua gue bakal menjodohkan gue atau engga nanti karena takut gue makin banyak berulah." "Bener sih, tapi ya kali Gwen orangtua lo bakal jodohin segala. Ini bukan zaman Siti Nurbaya, sekarang wanita sudah berhak memilih apapun yang dia mau dalam hidup. Lo berhak menikah dan hidup bahagia dengan seseorang yang lo mau bukan orangtua lo mau." Gwen menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa seraya menatap langit ruangan, pikirannya berlarian kemana-mana. "Kalo memang benar gue bakal di jodohkan, apa yang bisa gue lakukan selain menerima Sya? Dikeluarga gue, gue gak punya hak apapun untuk berpendapat. Gue gak bisa banyangkan gimana suami yang bakal dipilih sama keluarga gue untuk gue, apa bakal mirip Papa yang temperamennya keras atau mirip Keluarga Mama gue yang pendiam dan terlalu disiplin. Di kehidupan gue sekarang, gue gak bisa menentukan hidup gue sendiri dan itu kenyataan yang sangat gue benci." Tasya mengikuti Gwen dengan merebahkan kepalanya di sofa, menatap sahabatnya itu dengan perasaan yang tak tergambarkan. Dulu Tasya begitu terpuruk karena perpisahan orangtuanya lalu ditinggal sendirian oleh ayahnya akibat kecelakaan dihari ibunya menikah lagi dengan pria lain, tetapi sekarang Tasya punya Aunty dan Kakak sepupunya yang selalu mendukung apapun yang ia mau. Tasya beruntung untuk itu, tetapi Gwen. Ia hidup dengan harta berlimpah, keluarga lengkap, tetapi sangat tidak cocok dengan dirinya dan tidak ada yang mendukungnya sama sekali. Itu lebih menyedihkan... Nyatanya didunia ini tidak ada yang namanya hidup sempurna. Pasti ada kecacatan yang entah itu tampak atau tidak, yang selalu membuat oranglain tidak merasa berutung meskipun ada begitu banyak hal lain yang patut disyukuri. Vote and Comment guys!!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD