Freedom

990 Words
Gwen sudah menahan diri selama ini, ia terjebak dalam rasa bersalahnya pada keluarga dan ia hanya bisa menuruti setiap perintah juga apa apa yang diatur oleh Neneknya. Nyatanya dalam tiga tahun Gwen tidak bisa berbuat apapun, hanya bisa pasrah. Ia tidak pernah pulang ke Indonesia sama sekali sejak pertama kali menginjakkan kaki di Australia, sebagai gantinya keluarganya yang akan datang untuk mengunjungi dirinya kemari. Jika bisa menentukan pilihan, Gwen akan dengan mantap menjawab ia ingin tinggal dengan Eyang di Jogja daripada dengan Granny di Aussy. Eyang nya meskipun cukup disiplin tetapi masih bicara cukup lembut, memberikan pengertian yang tidak memaksakan dan mudah diterima siapapun. Tidak dengan Neneknya yang satu lagi, dia cerewet dan akan terus berkomentar pedas jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya. Waktu tiga tahun dengan cepat Gwen gunakan untuk lepas dari Neneknya, ia sudah mendapatkan gelar sarjana beberapa hari lalu dan keluarganya pun masih ada disini. Ayahnya memberi usul agar Gwen kembali ikut mengurusi perusahaan ayahnya bersama kakak-kakaknya atau tetap disana bersama Nenek untuk melanjutkan study. Tetapi Gwen menolak, secara diam-diam ia sudah mengirim lamaran kerja melalui email ke beberapa perusahaan besar di Amerika. Gwen sudah gatal kaki ingin cepat-cepat kabur dari sana. Lihat saja pakaian yang Gwen pakai disini, sudah seperti anggota kerajaan Inggris sungguh bukan gaya Gwen sama sekali. "Gwen sudah melamar pekerjaan di beberapa perusahaan, dan sudah mendapatkan panggilan." Hans menatap putrinya itu dengan tatapan tak terbaca, entah hal apa lagi yang sebenarnya ada dalam pikiran putri bungsunya itu Hans sama sekali tidak mengerti. "Dimana?" "L.A." Semua orang diruang makan itu terhenti dan menatap Gwen, pasalnya mereka tidak memiliki keluarga atau kenalan siapapun di L.A itu terlalu jauh. "Tidak." Hans dengan tegas menolak keinginan putrinya. "Kamu tahu jelas ranah keluarga kita hanya disekitar Indonesia, Singapura dan Australia." "Ini tidak ada urusannya dengan keluarga Papa, ini urusan karirku secara pribadi. Perusahaan besar seperti M.B. Inc. tidak akan dua kali memanggilku untuk bekerja, itu perusahaan konstruksi paling diingkan teman-temanku untuk mereka bekerja. Kenapa saat aku mendapatkannya aku tidak bisa?" Mendengar nama perusahaan yang memanggil Gwen untuk bekerja membuat Hans harus berpikir ulang. Meskipun Hans berkecimpung di dunia perhotelan tetapi ia tidak buta dan tahu persis perusahaan besar itu memang tidak mudah untuk dapat bekerja disana. Hans jadi teringat dengan sahabat kecilnya Donny yang sewaktu dulu sempat melamar pekerjaan disana tetapi ditolak karena kurang kualifikasi padahal temannya itu orang yang cukup pintar, pria itu sekarang sudah membangun perusahaan konstruksinya sendiri meskipun tidak sesukses Hans. "Papa ku mohon pikirkanlah dulu, beberapa hari lagi aku akan berangkat karena terkejar waktu." "Sudah lebih baik kalian habiskan dulu makanan ini, barulah bicara lagi nanti." Kembali hanya keheningan yang mengiringi mereka menyelesaikan makan malam. Setelah semua orangtua selesai makan, Gwen pamit untuk langsung pergi ke kamarnya. Gwen mengunci pintu kamarnya rapat-rapat, dirumah ini ia hanya merasa sedikit lebih nyaman dikamarnya. Dikamar ini ia bisa melakukan apapun yang ia mau tanpa ada yang bisa melarang ini dan itu, Gwen membawa tubuhnya merebah diatas kasur dengan mata yang menatap kearah langit kamar. Pikirannya menerawang pada keluarganya, meskipun kecil tetapi Gwen yakin ayahnya akan membiarkan pergi ke Amerika. Sejak hari itu, Gwen sudah tidak dekat lagi dengan ibunya meskipun ia telah meminta maaf. Rasanya masih agak canggung dan aneh, dan hal itu membuat dirinya selalu merasa sendirian dikeluarganya tidak seperti dulu saat Mamanya selalu ada untuknya. Dirumah besar tua ini Gwen tinggal bersama dengan Nenek, adik laki-laki bungsu ayahnya dan juga salah satu adik perempuan ayahnya yang sudah menjanda beranak dua. Uncle Harry belum menikah, pria berusia 27 tahun itu masih sibuk mengurus perusahaan keluarga. Sedangkan Aunty Hellena tidak ada minat untuk menikah lagi, wanita yang masih terlihat cantik itu lebih memilih ikut fokus mengurus perusahaan keluarga. Dengan dua orang itu tentu saja Gwen merasa sangat canggung, mereka tidak akrab sama sekali hanya pernah saling menyapa dalam acara formal. Begitupun dengan Kakak ayahnya Uncle Hugo yang menetap di Singapura, keluarga ayahnya memang sekaku itu. Dan untuk dua anak Aunty Hellena yaitu Gustav dan Liliana, Gwen sama sekali tidak menyukai dua orang itu karena mereka sama sama menyebalkan. Liliana selalu saja mengadu yang tidak-tidak dengan Nenek jika ada sesuatu yang membuat ia iri pada Gwen, Gwen yang tahu pasti perempuan seusianya itu memang iri dengan kecantikannya jadi merasa wajar-wajar saja meskipun sering kali merasa kesal dengan tingkah Lily. Dan Gustav masihlah anak remaja baru pubertas yang tidak ada lucu-lucunya sama sekali. "Aku ingin cepat-cepat pergi dari sini. Aku muak." Gwen mencari ponselnya, melihat apa ada pesan dari teman-temannya. Banyak notifikasi dari grup SMA nya, nyatanya mereka sering sekali spam. Hanya ada beberapa pesan dari pria-pria yang selalu berusaha mendekati dirinya, dan tidak pernah Gwen tanggapi. Selama tiga tahun ini Gwen hanya fokus pada belajar supaya ia cepat-cepat lulus dan pergi jauh dari keluarganya, tidak memperdulikan sama sekali masalah asmara. Ketukan pintu mengejutkan Gwen, segera saja ia membuka pintunya dan melihat sang ibu ada disana. "Mama, ada apa?" Anggun menatap putrinya dengan tatapan yang tak bisa terbaca, ia sedih putrinya menjauhinya tetapi ia juga cukup senang dengan perubahan yang Gwen buktikan padanya. "Ada yang mau Mama bicarakan dengan kamu." Gwen mengangguk dan mempersilakan ibunya masuk. Anggun memasuki kamar anaknya yang jauh dari gaya Gwen, di kamar ini benar-benar polos dan begitu rapih bersih. Jika dibandingkan kamar Gwen dulu pasti akan berbanding terbalik karena Gwen suka sekali kamarnya ia coret-coret dengan kuas belum lagi lampu-lampu tumblr yang menghiasi dinding juga meja rias serta kasur yang berantakan. Gwen sebenarnya sangat pintar melukis, tetapi Hans mengarahkan anak itu untuk mengembangkan skill menghitung dan menghafalnya dibanding jiwa seni yang sudah tetanam erat pada diri Gwen. Hans tidak melarang hanya saja membatasi, hal itu boleh dijadikan hobi tetapi tidak untuk tujuan utama hidup Gwen. Anggun mengambil duduk ditepi kasur Gwen, ia menatap putrinya yang berdiri dengan jarak satu meter darinya. "Papa tadi sempat membicarakan ini dengan Mama, Papa setuju kamu pergi ke L.A karena dia pikir ini kesempatan langka. Besok Papa akan bicarakan dengan Granny dan Eyang." Vote and Comment guys!!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD