Entah karena vertigonya sedang kambuh, sedang berhalusinasi atau sedang bermimpi karena terbuai semilir angin di tepi pantai. Elvin menegakkan posisi duduknya. Bahkan tangan kanannya mengusap mata beberapa kali demi meyakinkan lagi sosok yang berdiri gagah di depannya.
"Kok bengong sih?" tanya Ervan santai seolah dia manusia tanpa dosa, padahal dia sangat berdosa karena sering memporak-porandakan hati Elvin.
Oke, sosok itu bersuara. Dan suaranya sama persis dengan Ervan. Jadi, tentu saja ini bukan mimpi. Bukan juga halusinasi. Karena itu adalah benar-benar Ervan. Ervano Bhalendra yang itu, manusia manis yang paling senang membuat jantung Elvin bekerja diluar kewajaran.
"Hah? Siapa bengong? Aku bengong? Enggak dong.." Elvin menunjuk dirinya sendiri dengan gelagapan.
"Terus? Ngapain sampe mangap gitu?"
Minta cipok. Jerit hati Elvin tak tahu malu.
Elvin segera menutup mulut, entah bagaimana rupa wajahnya saat ini. Keringat bercampur debu yang dibawa angin pantai tentu tak baik untuk penampilan kulit mulusnya. Elvin berdiri setelah merapikan topi lebarnya serta mengalungkan lagi kamera kecil kesayanganku.
"Van, kamu ngapain disini?" tanya Elvin cukup penasaran dengan segala kebetulan yang mempertemukan mereka berdua.
"Itu..." Ervan mengarahkan telunjuknya ke belakang punggung Elvin. Perempuan itu spontan mengikuti arah yang ditunjuk Ervan. Tak jauh dari tempatnya berdiri, terlihat enam atau tujuh orang sedang bercengkrama di kedai tepi pantai.
"Mereka pegawai Miracle Taste. Kami selalu mengadakan liburan singkat seperti ini setiap satu tahun sekali. Dan mumpung cafe sedang di cat ulang juga, jadi kami menghabiskan waktu di sini." Ervan melepas kacamata hitam dan memasukkannya dalam saku kemeja.
"Bu- bukannya kemarin kamu ke Palembang sama.. sama.. hmm.. mbak Irina?" Elvin meneguk ludahnya kasar ketika menyebutkan nama perempuan yang berstatus sebagai istri Ervan itu.
Tak langsung menjawab, Ervan malah menoleh ke arah pantai sambil melemparkan senyuman miring. "Nggak, cuma Irina yang ada keperluan di sana. Aku ada keperluan juga disini. Lagi pula.."
Ervan kembali menatap manik mata Elvin tanpa putus, bahkan pria itu mencondongkan tubuhnya mendekati wajah Elvin. "lebih menyenangkan di sini karena bisa ketemu kamu lagi El." sambungnya membuat Elvin hampir sesak napas karena jarak mereka yang hanya sejengkal.
Apa katanya tadi?
Menyenangkan bertemu lagi dengan Elvin?
Elvin memilih diam tak ingin menimpali kalimat Ervan. Lagi-lagi bertemu dengan Ervan seperti ini saja sudah berhasil membuatnya mulas. Apalagi ketika Ervan memangkas jarak di antara mereka lengkap dengan kalimat ambigu seperti tadi.
"Chef Vano, ini kunci mobilnya. Kursi lipat sama peralatan snorkeling yang tadi sudah saya masukkan bagasi." sela seorang pemuda yang berjalan mendekati Ervan. Tangannya terulur menyerahkan benda kecil yang ia yakini adalah kunci mobil yang disebutkan tadi.
"Oke makasih banyak Gung, anak-anak masih mau di sini atau balik?" tanya Ervan.
"Saya, Audy sama Bara langsung balik chef, yang lain masih mau lanjut snorkeling katanya."
Memanfaatkan celah, Elvin memilih mengemasi barang-barang yang tak seberapa ke dalam ransel kecilnya. Berdiri perlahan dan mengendap-endap berjalan menjauhi Ervan yang sedang berbincang dengan pegawainya. Tujuannnya satu, menghubungi pak Manaf dan segera pulang ke Sanur Secret. Berjalan kaku karena tak berani menoleh ke belakang, Elvin menuju bukit karang dengan kemiringan hampir 15 derajat untuk menuju area parkir kendaraan. Jalanan terjal yang cukup membuatnya berkeringat dan sedikit tersengal-sengal.
Setelah mendekati area parkir, Elvin mengeluarkan ponsel dari saku celana pendeknya. Mencoba menemukan nomor pak Manaf dari panggilan daftar panggilan keluar.
"Pak Manaf, ini Elvin." Perempuan cantik itu menempelkan ponselnya di sebelah telinga. "Bisa jemput sekarang pak? ditempat yang tadi." sambungnya lagi.
"Bisa mbak Elvin, tapi saya sedang antri isi bensin, bisa tunggu sebentar ya mbak? sekitar 15 atau 20 menit lagi gimana?" jawab pria paruh baya tersebut.
"Oke pak, saya tunggu aja." pungkas Elvin lantas mematikan ponsel dan hendak memasukkannya lagi ke dalam saku celana.
"Sudah mau pulang El?"
Suara berat itu lagi-lagi membuat Elvin terlonjak sampai menjatuhkan ponselnya hingga membentur jemari kaki perempuan itu.
Tak langsung menoleh, Elvin memilih menarik nafas panjang lantas memungut ponselnya yang hampir terinjak oleh kakinya sendiri. Entah sejak kapan seorang Ervano Bhalendra punya kebiasaan baru, yaitu mengejutkan dirinya. Berdiri dan menoleh ke arah belakang, Elvin memaksakan senyum lebar, menatap mata jernih milik Ervan.
"Iya, mau balik ke hotel." jawabnya lirih sambil memilin ujung blouse yang dikenakannya.
Namun yang tak pernah ia duga adalah Ervan menyambar lengan kirinya dan mengajaknya berjalan menjauhi tempatnya berdiri.
"Aku antar." kata Ervan lugas.
"Aku dijemput sama supir hotel." Elvin menghentikan langkahnya sesaat.
"Batalkan." jelas ini kalimat dengan nada perintah. Sempat mengenal Ervan dalam waktu yang lama Elvin masih ingat jelas bagaimana tabiat pria tampan itu. Salah satunya adalah tak suka penolakan.
"Tap--"
"Segera telpon dan batalkan sebelum supirnya sampai sini."
Memejamkan mata secara dramatis, namun Elvin tak kuasa menahan langkahnya, karena Ervan tetap menarik salah satu tangannya menuju tempat mobilnya terparkir.
"Dasar pemaksa!!" gerutu Elvin membuat Ervan yang berjalan di depannya menahan senyum.
"Dari dulu kan kamu suka dipaksa." jawab Ervan santai.
Dulu?
Kapan?
Elvin tak pernah merasa ia suka dipaksa. Karena dalam ingatan perempuan itu, ia selalu rela melakukan apa saja demi Ervan yang selalu ia cinta.
"Masuk El." Ervan membukakan pintu mobil untuk Elvin.
"Makasih."
"Kembali kasih." Ervan kembali tersenyum riang, setelah menutup pintu di kursi penumpang.
"Iya pak Manaf, saya gak sengaja ketemu sahabat saya jadi ikut mobilnya... iya pak, maaf ya... Terima kasih." Elvin mematikan panggilan telpon. Ia baru saja menghubungi supir yang tadi hendak menjemputnya. Beruntung pak Manaf masih belum berangkat menuju tempat Elvin, sehingga beliau tak perlu menghabiskan waktu sia-sia.
"Telpon supir yang anter kamu tadi?" Ervan memakai lagi kaca mata hitamnya dan gegas memasang sabuk pengaman.
"Iya."
"Belum terlalu jauh kan?"
"Belum, baru selesai isi bensin, langsung aku suruh putar balik." jawab Elvin ikut memasang sabuk pengamannya.
Selanjutnya, Ervan langsung melesatkan kendaraannya keluar dari area Padangbai menuju wilayah Sanur. Sepanjang perjalanan mata Ervan sesekali mencuri pandang pada perempuan cantik yang duduk di sebelahnya, siapa lagi kalau bukan Elvin Eleanor. Remaja belia yang dulu dikenal ceria dan banyak bicara kini tampak lebih pendiam dan menutup diri. Mungkin karena perjalanan hidup yang membentuknya menjadi wanita tangguh seperti sekarang.
"Tunggu," Elvin menoleh ke kanan dan kiri kebingungan saat Ervan menghentikan mobilnya bukan di hotel Sanur Secret. Tapi di depan rumah makan di daerah pantai Sindhu yang belum pernah ia kunjungi selama di Bali.
"Bukannya tadi mau anterin aku ke hotel Van?" tanya Elvin kemudian.
"Sepanjang jalan kamu diem El, aku kira kamu lapar. Jadi aku ajak mampir kesini dulu, kita makan siang ya. Kebetulan aku juga laper." jawab Ervan sambil mengusap perut ratanya, jangan lupakan juga ia selalu memamerkan senyum lebar yang membuat wajahnya seketika berbinar. Mencoba mencairkan suasana hening di antara mereka berdua.
Melihat senyum di wajah Ervan, mau tau mau ikut menerbitkan senyum juga di paras ayu milik Elvin. Bahkan terlihat rona merah di kedua pipi ibu tunggal itu. Sungguh, Elvin diam bukan karena lapar. Tapi memang sedang susah payah menahan laju jantungnya yang selalu menggila ketika berdekatan dengan Ervan.
"Aku diem bukan karena lapar Van.." Elvin menggantungkan kalimatnya.
"Lantas."
Inginnya Elvin menjawab, penyebab diamnya adalah karena Ervan, namun.. "ngantuk aja dikit, habis kena angin pantai." lanjut Elvin terkekeh kecil.
"Ya udah yukk makan dulu biar gak ngantuk." ajak Ervan mengendikkan dagu ke arah restoran.
Elvin mengangguk pelan, sembari menormalkan detak jantungnya. "Jangan bilang kalau ini restoran milik kamu juga?" selidik Elvin. Mengingat sudah dua kali Elvin tak sengaja mengunjungi cafe milik Ervan.
"Bukanlah, belum kesampean punya restoran mewah kayak gini." jawab Ervan lantas keluar dari mobil.
"Semoga suatu saat nanti bisa ya.." Elvin ikut keluar dari mobil dan berjalan mendekati Ervan yang menunggunya.
"Hmm.. semoga, nanti kamu pelanggàn pertama ya?"
"Pasti."
Maka siang itu dimanfaatkan Elvin dan Ervan untuk menyantap hidangan makan siang yang secara khusus dipesankan oleh Ervan. Pembicaraan ringan mengiringi mereka berdua, entah membicarakan tentang cafe-cafe Ervan atau tentang perjalanan Elvin menjadi seorang penulis. Tak nampak lagi perasaan canggung yang sedari tadi menggelayuti Elvin, karena Ervan dengan sangat lihai membuatnya nyaman, seolah mereka kembali ke masa belasan tahun silam.
Hingga saat mereka kembali ke dalam mobil untuk melanjutkan perjalanan, Ervan memberanikan diri menanyakan hal yang selama ini mengganggu benaknya. Pertanyaan yang sudah ingin ia ajukan lama pada Elvin sejak pertemuan keduanya di acara seminar.
"El, kamu gak lagi hindarin aku kan?" ucap Ervan tanpa melepaskan fokus dari jalanan di depannya.
"Hah? eng- enggak Van, kenapa kamu mikir gitu?" Elvin mulai merasa terganggu dengan tatapan sendu Ervan.
"Kamu kayak beda aja El, selain lebih pendiam, kamu sering menghindari tatapanku, iya kan?" ucap ervan santai, jangan lupakan juga senyuman yang selalu mengganggu sistem kerja otak Elvin.
Bagaimana tak menghindar, jika tatapan Ervan selalu bisa melemahkan hati Elvin. Perempuan itu hanya takut kalah dan tanpa sadar berhambur memeluk Ervan yang selama ini ia rindukan, yang selama ini ia... harapkan.
Elvin terdiam, namun sesaat kemudian ia memberanikan diri menoleh dan memaku pandangannya pada Ervan. Satu, dua, tiga, empat... hanya lima detik ia mampu menatap netra Ervan dengan perasaan campur aduk. Ternyata ia masih tak mampu berlama-lama tenggelam dalam teduhnya tatapan pria tampan itu. Elvin segera membuang muka ketika merasakan rasa panas menjalar di pelupuk matanya.
Jangan nangis El, jangan nangis. Setidaknya jangan sekarang, jangan di sini. Jangaaan...
Elvin merapalkan segala harap, agar air matanya tak tumpah saat itu juga. Ia tak mau Ervan membaca perasaannya lebih jauh, jika ia menunjukkan kelemahannya saat ini.
"El?"
Elvin masih membuang muka meski sadar Ervan mendadak menghentikan laju mobilnya. Menepi entah dimana, karena yang Elvin lihat hanya jalanan asri di tepian pantai Sanur.
"El, kamu nangis?" tanya Ervan lagi.
"Eng- enggak."
Pembohong!!
Ervan tahu jelas, Elvin sedang menahan tangis. Ia bisa melihat dengan jelas dari pantulan jendela di samping Elvin. Perempuan itu mengusapkan jarinya ke ujung mata demi menghalau lelehan air mata.
"Berhenti bohongin aku El." pelan, Ervan menyentuh pundak Elvin yang masih membelakanginya.
Elvin gelagapan, cepat-cepat ia mengangkat wajah dan mengipaskan jemarinya beberapa kali ke arah wajahnya.
"Bo- bo- bohongin apa?" Elvin semakin tergeragap ketika melirik dan mendapati Ervan tengah menatapnya tajam.
"Perasaanmu. Mungkin kamu bisa mengelak dan menutupi perasaanmu dari orang lain El, tapi kamu tetap gak bisa bohongin aku."
"Mak- maksud kamu?"
"Perasaanmu gak pernah berubah kan selama dua belas tahun ini?" tembak Ervan tepat sasaran.
"Pe- perasaan apa?" Elvin mulai gusar.
"Aku sudah baca semua buku kamu El, se-mu-a-nya. Terutama tiga buku pertama kamu tentang trilogi rindu." terlihat Ervan mengambil nafas panjang tanpa melepaskan tatapannya pada Elvin yang semakin gelisah.
"Semuanya berisi tentang kenangan kita dulu kan?" seru Ervan lagi. "Dan kita yang jadi tokoh utama di sana, aku tau El." sebelah tangan Ervan turun mengambil telapak tangan Elvin. Menggenggamnya erat, sangat erat hingga menimbulkan getaran aneh yang sudah lama tak Elvin rasakan.
Elvin membelalak sempurna, ia kehilangan kata-kata. Tak menyangka pria gagah di depannya ini mampu membongkar topeng dustanya selama ini. Bagaimana bisa Elvin melupakan fakta bahwa buku-bukunya sudah beredar luas dimana-mana. Tentu saja Ervan juga bisa leluasa membacanya.
"Eng- enggak mungkin Van. Kamu yakin udah baca semua bukuku?" Elvin menggeleng pelan namun mencoba tetap tenang, meski tak bisa benar-benar meredam dentuham hatinya.
"Aku baca semuanya Elvin." ucap Ervan sangat pelan. "Dan... aku bisa buktikan perkataanku tadi. Tentang perasaanmu padaku yang tak pernah berubah." lanjut Ervan, kali ini sorot matanya penuh dengan emosi yang yang entah bagaimana harus menggambarkannya.
“Buk- buktikan." lolos sudah satu tetes air mata di sudut mata Elvin.
Ervan mencondongkan tubuhnya mendekati Elvin. Tangan kirinya terangkat, telapaknya yang besar menangkup pipi Elvin yang mendadak memerah. Dengan gerakan pelan ia usap air mata yang menetes disana.
"Don't cry." ucap Ervan pelan sebelum akhirnya menempelkan bibir tipisnya pada bibir basah Elvin yang sedikit membuka.
Reaksi Elvin?
Jangan ditanya, ia seolah mati seketika.
*Bersambung
➜➜➜➜➜➜➜➜➜➜➜
Chef Ervaaaaan, tega kamu yaaa, udah punya bini masih aja nyosor Elvin yang jelas-jelas lemah imannya. ( ꈍᴗꈍ)
Kenapa bukan nyosor aku ajaaaaa? (≧▽≦)