5 | Bahagia Semu

1309 Words
Elvin membeku seketika saat tangan besar Ervan terasa mencengkram lengan kirinya pelan. Wanita cantik itu memutuskan menoleh dan tersenyum samar demi menutupi gejolak hatinya yang naik turun tak beraturan bagaikan roller coaster. Entah nanti harus ia apakan sahabat terdekatnya yang bernama Melisa Sukoco itu, karena mulut bawelnya lah kini Ervan mengetahui perihal kandasnya rumah tangga yang ia bangun dengan Rega Sadewo. "Hmm... Rega?" nampak sekali Elvin memutar matanya keatas seolah mencari jawaban yang paling tepat. "Dirumahnya, mungkin." desis Elvin tak berani membalas tatapan Ervan yang sarat akan tanya. "Kalian udah gak sama-sama lagi?" Ervan berdiri tepat disebelah Elvin sehingga kentara sekali perbedaaan tinggi keduanya. Tinggi Elvin yang tak seberapa, membuat perempuan itu makin terlihat mungil dissamping tubuh jangkung Ervan, bahkan puncak kepalanya hanya sebatas dadà Ervan. "Yaa... hmm.." kedua tangan Elvin saling meremas ujung blouse yang dikenakannya. "Ya.. gitu deh." cicitnya hampir tak terdengar, hingga Ervan harus menajamkan pendengarnya. Seketika itu pula ia merasakan tatapan penuh iba dari seorang Ervano Bhalendra. "Hmm.. ah, itu... makasih banyak traktirannya. Aku balik dulu Van." gegas Elvin berbalik dan berjalan cepat menuju pintu keluar cafe. Namun lagi-lagi langkahnya harus terhenti karena ternyata Ervan mengejar langkahnya. "Aku antar." tangan Ervan kembali menahan siku Elvin. "Hotelnya deket kok, aku jalan kaki aja." tolak Elvin halus. "Aku temenin jalan kaki." paksa Ervan. Lelaki itu tak ingin mendengar penolakan. Ia ingin tau apa yang telah terjadi dengan gadis kecil yang dulu pernah singgah dan memberi warna pada hari-harinya. Ervan sangat penasaran bagaimana mungkin gadis belia yang dulu tak pernah menunjukkan raut sedih kini memasang topeng penuh senyum demi menutupi kesedihan dan kesepian yang menimpanya. "Tapi Van a-" "Tunggu disini, aku ambil ponsel dulu." sela Ervan tak mengindahkan Elvin yang hendak menghindarinya. Pria itu bergegas menghilang dibalik pintu bertuliskan 'staff only' di belakang meja kasir. Melihat semakin banyaknya pengunjung cafe, Elvin memutuskan untuk keluar dan menunggu Ervan di teras yang menghadap pantai. Angin malam terasa begitu segar namun menusuk sendi-sendinya. Elvin yang malam ini hanya menggunakan blouse lengan panjang berbahan chiffon hanya bisa bersedekap dengan telapak tangan yang saling mengusap lengan atasnya. "Udah tau gak tahan kena angin malam, tetep aja pake baju yang tipis gini. Nih pake..!" tiba-tiba saja Ervan sudah berdiri di belakangnya dan membungkus pungung Elvin dengan jaket berbahan jeans miliknya. "Eh.. ma-makasih." ucap Elvin terbata masih menunduk setia. Tanpa sadar ia menggigiti kuku ibu jari kanannya. Kebiasaan yang selalu ia lakukan saat sedang gugup. "Nginep di hotel mana?" tanya Ervan begitu mereka berdua mulai berjalan menyusuri jalanan di pinggir pantai. "Sanur Secret." Elvin menyebutkan nama hotel yang akan ia tempati selama lima hari kebdepan. Sebenarnya tempatnya tak jauh dari cafe milik Ervan tadi. Mungkin hanya sekitar dua puluh menit berjalan kaki. Tapi entah kenapa malam ini terasa begitu jauh karena mereka berdua yang mengayunkan langkah begitu pelan. "Kenapa nggak nginep di rumah yang di Uluwatu?" Aah.... rupanya Ervan masih mengingat jika keluarga Elvin memiliki rumah di Uluwatu. Rumah asri dengan halaman sangat luas yang dibeli ayah Elvin setahun setelah beliau pensiun dari jabatannya sebagai petinggi di perusahaan yang mengelola perkebunan teh. "Terlalu jauh kalau aku nginep di sana, sedangkan acara besok diadakan di ballroom Sanur Secret." "Kerjaan kamu?" "Hmm.. seminar literasi gitu. Aku jadi panitia sekaligus pembicara di hari kedua, jadi gak bisa tinggal jauh-jauh dari tempat acara, buang-buang waktu juga." jawab Elvin hanya sekilas saja menoleh pada Ervan. "Mau launching n****+ baru lagi?" "Nggak.. belum lah, naskah yang terbaru masih baru aku ajukan ke editor pusat." "Hmm... I see. Aku nggak nyangka kalau kamu akhirnya memilih jadi penulis El. Mengingat dulu kamu seneng banget gambar kan?" "Aku juga nggak nyangka kok. Ternyata bisa semenyenangkan ini meluapkan emosi dan perasaan dalam bentuk tulisan." Elvin melemparkan pandangan jauh menyusuri tepian pantai yang tampak berkilauan karena pantulan sinar rembulan. Cantik. Sama cantiknya dengan memory ia ingat belasan tahun lalu saat terakhir kali meninggalkan pulau ini. "Udah lama mulai nulisnya?" tanya Ervan lagi mencairkan suasana. "Udah lama, sekitar sembilan atau sepuluh tahun lalu lah. Sejak patah hat-" Elvin cepat-cepat menghentikan kalimatnya. Tak mungkin kan jika ia mengaku mulai menulis karena sedang patah hati karena ditinggal Ervan menikah dengan wanita pilihan hatinya, Irina. "Patah hati?" tebak Ervan cepat sambil memicingkan pandangan pada Elvin yang mendadak gelisah. Pria itu sengaja menyunggingkan senyum manis yang bisa membuat hati Elvin kebat-kebit. "Hah?" Elvin mengerjap pelan, tak menyangka dengan tebakan Ervan yang tepat. "Yaa.. gitu deh. Biasalah, masa lalu. Dulu masih labil." Elvin tergelak dan mengangkat bahunya acuh. "Patah hati sama siapa? Rega?" "Rahasia lah." elak Elvin menahan senyum. Tentu saja harus ia rahasiakan, jika penyebab patah hatinya dulu adalah pria yang kini berjalan berdampingan dengannya. Sepuluh tahun silam Elvin terpuruk dan menahan patah hati yang teramat sangat ketika mengetahui pernikahan Ervan dan Irina di Bali. Tak mengetahui secara langsung, karena Elvin tak menerima undangan atau kabar langsung dari Ervan. Namun Elvin mengetahui hal tersebut dari sosial media teman kuliahnya yang kebetulan mengunggah foto resepsi yang menampilkan sosok Ervano Bhalendra sebagai mempelai pria. "El," panggil Ervan pelan dan menghentikan langkah. Mau tak mau Elvin ikut berhenti dan menoleh pada pria disampingnya. "Boleh tanya sesuatu yang tadi?" "Yang tadi yang mana?" tanya Elvin tanpa mengalihkan tatapannya dari sepasang netra hitam kelam milik Ervan. "Rega." "Ahh... dia." Elvin berinisiatif melanjutkan langkah kakinya. Gedung hotel yang ditempatinya sudah nampak didepan sana. "Kami sudah berpisah lama, setahun lebih." lanjut Elvin dengan menarik segaris senyum. "Kok bisa?" "Ya bisa ternyata." jawab Elvin singkat, terdengar begitu pasrah dengan takdir yang dijalaninya kini. "Pernikahan yang begitu aku agung-agungkan dulu, ternyata gak bisa dipertahankan. Sudah diluar kuasaku Van." "Complicated banget ya?" "Iya, daripada saling bertahan dalam kesakitan. Lebih baik berpisah dan mencari kebahagiaan masing-masing kan?" ucap Elvin begitu retoris. Terasa ringan ketika mengatakannya, namun nyatanya hingga kini Elvin pun belum menemukan kebahagiaan yang ia cari. "Hmm... terus anak kalian?" "Hak asuh Malika ikut aku, kan masih balita." Elvin ingat ketika pengadilan agama mengabulkan permohonan perceraiannya, saat itu Malika masih berusia dua tahun. Baru saja bisa berjalan tanpa genggaman tangannya. Usia dimana bocah itu belum mengerti apa yang terjadi dengan pernikahan kedua orang tuanya. "Gak rewel kalau kamu tinggal kerja jauh gini?" Ervan tak bisa menghentikan rasa penasarannya. "Kalo pas kerja jauh gini, dia aku titipkan mas Rega. Antenglah kalau sama bapaknya, dimanja banget dia." lagi-lagi Elvin memamerkan senyum setiap kali membicarakan putri kecilnya. "Hubungan kalian masih baik sampai sekarang?" "Harus lah, kan ada Malika. Kami gak bisa saling egois dan mengorbankan perasaan anak. Kalaupun kami gak bisa jadi pasangan yang sempurna, setidaknya aku dan mas Rega tetap ingin menjadi orang tua yang utuh dimata Malika." tatapan Elvin berubah sendu. Tanpa disadari, mereka berdua sudah sampai di lobby hotel tempat Elvin menginap. Elvin mengembalikan jaket Ervan yang sejak tadi menghangatkan badannya. "Jaketnya Van," Elvin menghembuskan nafas sekilas. "Makasih juga udah nemenin balik kesini." "Hmmm... buruan istirahat ya, besok padet banget kan jadwalnya?" Elvin mengangguk saja sebagai jawaban. "Hmm... besok lusa kamu jadi pembicara kan?" Ervan memastikan lagi. "Iya." "Boleh dateng?" "Hah? kamu?" "Iya kalau boleh sih." "Boleh kok, terbuka untuk umum." Terlihat sekali ada secercah bahagia dalam jawaban Elvin kali ini. Tapi, secepat rasa bahagia itu muncul, secepat itu pula ia beranjak pergi. Tepat ketika Ervan melanjutkan kalimatnya. "Aku ajak Irina juga ya? Dia suka banget baca novel." Dan seketika itu pula Elvin tersadar, buncah bahagia yang ia rasakan beberapa saat lalu hanya semu. Sama semu nya seperti harapan menggapai hati pria yang memerangkap hatinya itu. ➜➜➜➜➜➜➜➜➜ Duuuh yaaa ngenes banget Elvin, udah seneng mau dilihat sang mantan, eeeh ternyata si mantan malah ngajak bininya... Yuhuu, jika kalian suka dan penasaran sama cerita ini bantu share dan promoin di sosmed kalian yaaa.. Daaaan.. jangan lupa mampir juga ke cerita aku yang lain. Random gapapa, baca urut juga gapapa, gini urutannya : 1. Diak 2. It's like DejaVu 3. Not a Queen 4. Hatiku di Sita Kiss..kiss.. mbak Li ( ˘ ³˘)♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD