Bab 3

1134 Words
Mata Nicholas berbinar terang. Seolah puas menyaksikan sesuatu di layar ponsel pintarnya. Meski kecil kamera CCTV yang Nicholas install bisa dihubungkan dengan gadget Android atau iOs. Untuk memantaunya, Nicholas cukup menggunakan CMS bawaan yang disediakan vendor CCTV ini secara gratis. Nicholas dapat mengintai sekretarisnya sedang meringis menahan nyeri ketika alat pompa p******a menyedot putingnya. Belum lagi efek setelah alat itu dilepas. p****g Sofia akan mancung, menantang ke depan dengan warnanya yang semakin kemerahan. Ah, Nicholas jadi membayangkan bagaimana rasanya menyapukan lidah di atas permukaan aerola merah muda itu. Lamunan jorok Nicholas terbuyar oleh panggilan masuk dari sang istri. "Ya, Nyonya." [Ih, apaan sih!] Sembur Anita galak. [Lo baek-baek aja kan, Nicho?] "Yes, Maam. Nothing to do what?" [Gue lihat berita, Semeru meletus. Malang nggak apa-apa kan?] "Maaf membuat Madam Anita kecewa, sayangnya suamimu nggak kenapa-kenapa." Nicholas balas sinis. [Gue nggak khawatirin elo, kampret! Gue khawatirin proyek kita di Batu.] Nicholas menghela napas kecut, meski begitu ia tak heran dengan sikap Anita yang kurang perhatian. Justru Nicho akan waspada kalau istrinya mendadak penuh kasih sayang. "Oke deh kalo gitu. Gue tutup! Ada banyak kerjaan nungguin gue." [Bentaaaaarrrrrrrrrrr!? Gue belum kelar ngomong weh. Gimana, lo udah dapet belum, cewek yang bisa kita sewa buat hamil dan lahirin bayi kita?] "Anita, lo pikir cari cewek yang mau disewa buat hamil anak kita tuh semudah cari kang bakso?" [I know! Tapi bukannya elo punya banyak sugar baby ya? Comot aja sih, satu dari mereka.] Nicholas ingin mengumpat rasanya. "No such thing? Gue kagak punya satupun sugar baby, Anita! Gue memang player, tapi gue pantang membina hubungan sugaring." [Whatever you call it, terserah lo mau sebut apa, simpenan, gundik, atau pelakor. Lo punya, Nicho. Jangan sok suci deh.] "Sok suci kata lo?" Nicholas mengacak rambutnya. "Gue serius, dua bulan terakhir ini gue nggak ada maen sama cewek manapun karena sibuk ngurusin tukar guling tanah untuk pembangunan resort." [Ya udah, kalau gitu cari satu sesegera mungkin. Kita harus secepatnya punya bayi.] "Ya udah, sini deh lo, biar gue secepatnya f**k you. Jadi bagi kita segera hidup di rahim lo." Terdengar di seberang Anita mengumpati Nicholas. [Bacot lo ya, Nic! Ya udah, hubungi gue kalo lo udah dapet cewek sesuai kriteria kita. One more thing, jangan pernah otak m***m lo berani berpikir buat n*****t gue, kalo lo masih mau titid lo utuh!] Panggilan diputus. Nicholas menarik seulas senyum. Entah kenapa hatinya girang sekali mendengar reaksi Anita yang begitu ketakutan. Wanita itu mungkin phobia pada sentuhan pria. Berapa kali pun Nicholas berpikir, ia masih belum menemukan cara bagaimana membuat sosok Anita takluk. ** Sudah hari ke lima, Nicholas beralasan ada keperluan di luar untuk memberi ruang Sofia memompa ASI-nya. Namun hari ini berbeda dari hari lainnya. Nicholas tak benar-benar keluar. Ia hanya turun sejenak ke basemen. Menunggu Sofia masuk ke ruang pribadinya dan melakukan aktivitas yang sangat Nicholas ingin tonton. Setelah dilihat jemari ramping Sofia mulai membuka kancing demi kancing, Nicholas kembali naik ke ruangannya. Pelan-pelan ia masuk, dan menyusup ke ruang pribadi tanpa menimbulkan suara. Mungkin Nicholas berbakat jadi penyamun. Langkah dan gerakannya rapi, sampai-sampai Sofia tak menyadari bosnya sudah berada di belakangnya. "Apakah itu menyakitkan?" Suara bas Nicholas membuat Sofia terkejut hingga berjengkit. Alat pompa ASI di tangannya jatuh tergelincir ke lantai. Ia buru-buru memasukkan buah d**a kirinya yang sekal ke cakupan bra hitam. "Pa ... Pak Nicho." Wajahnya pias. Pipi putih itu semakin pucat. Tangannya gemetaran. Nicholas mengira jantung sekretarisnya mungkin sedang salto di dalam sana. "Dari ekspresi wajah kamu saat memompa ... ehm, ASI, sepertinya kamu kesakitan." Sofia hanya tertunduk, tak tahu harus berkata apa. "Katakan sesuatu, kenapa kamu diam saja?" "Maaf, Pak." Hanya itu yang bisa lolos dari mulut Sofia. Nicholas mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya ke dagu. "Kamu punya bayi Sofia?" "Tidak, Pak, eh, punya, Pak." Mata Nicholas menyipit. "Kapan kamu hamil dan lahiran?" "I-itu, bukan saya yang hamil dan melahirkan." "Maksud kamu? Kalau begitu kenapa kamu yang harus menyusui?" Mata Sofia terbenam rambut poni karena kepalanya semakin tertunduk. "Kamu tahu kan? Kamu dilarang hamil dan melahirkan anak sebelum melewati lima tahun pertama, itu ada di kontrak lho, Sofia." "Tahu, Pak. Maafkan saya." Tangan Nicholas bersedekap. Jika Sofia merasa sangat tegang dan takut, sebaliknya, Nicholas merasa permainan ini sangat menarik. "No, it won't be clear everything hanya dengan kamu meminta maaf." Kini Nicholas duduk di samping sekretarisnya. Matanya yang nakal melirik sekilas d**a Sofia. Ia merasa gundukan itu semakin membesar, montok, sejak Sofia aktif memerah ASI. Sofia memberanikan diri menoleh ke samping, menatap Nicholas. "Jadi apa yang harus saya lakukan? Tolong maafkan saya, Pak. Jangan pecat saya, saya butuh sekali pekerjaan ini." "Kamu tahu saya bukan orang yang lunak. Saya tidak akan mempertahankan sekretaris tidak jujur seperti kamu jika saya tidak mendapatkan keuntungan." Sofia mengusap muka. Ia kelihatan sangat putus asa dan lelah. "Bapak mungkin bisa mendapatkan sekretaris yang lebih jujur dari saya, tapi saya jamin, Pak Nicho tidak akan pernah mendapatkan sekretaris yang lebih rajin dari saya." "Kamu benar, kamu memang rajin." Nicholas mengangguk, harus dia akui, Sofia cukup tahan banting meladeninya yang rewel dan perfeksionis dalam segala hal. Namun ia harus tetap menggunakan kesempatan ini untuk mendapatkan keuntungan dari sekretaris yang lama ia incar. "Begini saja, jelaskan semuanya ke saya. Jika penjelasan kamu masuk akal, saya akan mempertimbangkan mempertahankan kamu." Sofia menghela napas. "Saya punya keponakan, usianya dua bulan. Kedua orang tua keponakan saya meninggal dalam kecelakaan. Jadi saat ini saya dan ibu saya yang mengasuhnya." "Apakah mengasuh berarti memberikan ASI juga?" Sofia mengangguk. "Queensha alergi s**u sapi, jadi dia tidak bisa minum s**u formula. Saya tidak bisa dua puluh empat jam memberinya s**u almond atau soya yang mahal." "Karena itu kamu memberikan ASI kamu?" Sofia mengangguk lagi. Nicholas memandang salut pada sekretarisnya. Banyak ibu di luaran sana yang enggan memberi ASI eksklusif karena takut payudaranya kendor, tapi Sofia malah dengan tulus mau berkorban untuk sang keponakan. "Tapi kamu nggak pernah hamil kan? Bagaimana bisa ASI kamu keluar?" "Setelah konsultasi dengan dokter spesialis anak dan dokter spesialis kandungan, saya akhirnya menemukan cara untuk bisa menghasilkan ASI tanpa hamil, Pak." "Caranya?" "Terapi hormon HCG dan simulasi isapan bayi, Pak. Sebenarnya, meskipun masih gadis, kalau bayi terus menerus menghisap p****g kami, maka p******a kami akan secara alami memproduksi ASI, begitu kata dokter." Nicholas manggut-manggut. "Terus kenapa kamu memompa ASI di ruangan pribadi saya?" "Ka-karena...." Sofia menggigit bibirnya. "Saya takut ketahuan teman-teman kantor kalau melakukannya di kamar mandi. Mereka sangat jeli dan julid, Pak." Bagus deh elo memerah s**u di ruangan gue, seenggaknya gue dapet tontonan gratis. Pura-pura dingin. "Kamu tahu kesalahan kamu ini fatal sekali 'kan, Sofia?" "Tahu, Pak Nicho." Mata Sofia berkaca-kaca, selaput bening membuat netra cokelat gelap itu semakin berkilau. "Jadi untuk membuat saya tetap tutup mulut, kamu harus melakukan sesuatu untuk saya." "Sesuatu? Apa, Pak?" Nicholas tersenyum. Menunjukan pesona lesung pipi yang selalu mampu membuat kaum wanita klepek-klepek. "Bisakah kamu melahirkan anak untuk saya?" **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD