Cici tiba di rumahnya sekitar jam tujuh malam. Gadis itu berjalan memasuki rumahnya sambil memijat lehernya yang terasa tegang. Seharian ini Cici berkeliling mall bersama Raras.
Seminggu tidak keluar rumah membuat Cici begitu lega bisa bersenang-senang memanjakan dirinya dengan belanja dan perawatan di salon.
"Dari mana aja kamu? Jam segini baru balik."
Cici segera menghentikan langkahnya saat mendengar suara teguran mamanya. Gadis itu berbalik ke arah ruang keluarga dan menatap mamanya yang tidak hanya sendiri saja, ada Papanya, Arseno Mega orang kepercayaan papanya yang juga merupakan Papanya Erlan serta manusia robot itu.
"Aku habis keluar bareng Raras Ma. Aku udah 25 tahun, Nggak usah perlakukan aku kaya anak remaja yang pulang malem" jawab Cici malas, kemudian gadis itu beralih menatap sopan Arseno Mega.
"Malam om," sapa gadis itu, "aku ke kamar dulu. permisi"
Setelah pamit pada semua orang, Cici menuju ke arah kamarnya yang berada di lantai dua. Gadis bersurai panjang itu segera menuju ke kamar mandi saat sudah masuk ke dalam kamarnya.
Selesai mandi dan bersiap-siap Cici keluar dari kamarnya dengan mengenakan dress rumahan selutut berwarna coklat miliknya. Cici membiarkan rambut hitam lurusnya yang masih setengah basah tergerai dan melambai indah saat dirinya berjalan menuruni tangga.
Saat masuk ke ruang makan, meja makan sudah diduduki oleh orangtuanya, om Arseno, dan manusia robot itu. Cici segera berjalan dan duduk di samping mamanya tepat berhadapan dengan Erlan yang terlihat tidak menatapnya sama sekali.
Papanya dan om Arseno terlihat membicarakan beberapa hal tentang bisnis dan beberapa kali Erlan bergabung dalam pembicaraan mereka walau lebih banyak menjadi pendengar.
"Ayo Erlan diambil makanannya. Makan yang banyak ya."
Cici memutar bola matanya sambil mendengus melihat mamanya yang begitu perhatian pada manusia robot di hadapannya ini. Cici yang putri kandungnya saja tidak dia perhatikan sampai seperti itu.
Mamanya terlihat sibuk menyendukkan lauk ke piring Erlan dan dibalas senyuman sopan oleh pria robot itu.
"Heh kamu gak makan?" tanya Dewi Antari sambil menepuk lengan anaknya yang terlihat melamun. Cici yang merasakan tepukan keras mamanya hanya mendengus kesal.
"Sendokin nasinya dong ma."
"Jangan sok manja kamu tuh, ambil aja sendiri. Punya tangan kan?"
"Giliran si Erlan aja diambilin, gue malah dibentak," gumam Cici kesal sambil mulai menyendok makanan ke piringnya dan melirik kesal ke arah Erlan yang terlihat sibuk menyantap makanannya dengan tenang.
"Tahu nggak sih pa, istri Pak Susanto tadi nelpon mama ngasih tahu kalo anak perempuannya mau nikah bulan depan. Minggu ini mereka tunangan dan kita diundang."
"Ya udah nanti kita ke sana, mama mulai cari aja kado untuk putri mereka."
Cici mendengus kesal mendengar pembicaraan orangtuanya tentang salah satu putri dari klien Papanya. Gadis itu yakin sebentar lagi dirinya akan menjadi korban sindiran mamanya.
"Ngomong-ngomong kamu kapan Ci bawa calon ke rumah. Ini udah setahun loh pertunangan kamu sama Erlan dibatalkan."
Apa yang Cici pikirkan benar terjadi, mamanya mulai menyindir dirinya saat ini.
Cici melirik sebentar ke arah Erlan namun pria robot itu sepertinya sama sekali tidak terpengaruh oleh pembicaraan mamanya, hal ini membuat dirinya kesal sendiri.
"Udah deh ma, ngapain dibahas lagi sih? Mama sendiri yang setuju waktu itu kami bertunangan dan kalau selama setahun kami ngerasa nggak cocok ya pertunangan dibatalkan. Kenapa sekarang diungkit-ungkit lagi sih?" ujar Cici kesal.
"Ya mama emang udah setuju pertunangan kalian dibatalkan kalau kalian ngerasa nggak cocok, cuma seenggaknya kamu bawa calon dong ke rumah. Yang pasti harus sesuai standar yang mama mau, mendekati Erlan lah minimal."
Cici mendengus kesal dan memilih fokus makan tanpa memperdulikan ocehan Mamanya tadi. Buat apa dia meladeni mamanya yang gila, yang ada dirinya yang emosi sendiri. Pasti si manusia robot besar kepala karena mamanya terlihat sangat membanggakan dia.
*****
Makan malam sudah selesai sekitar lima belas menit yang lalu. Setelah selesai makan malam, Orangtua Cici bersama om Arseno memilih duduk mengobrol sambil minum di taman samping rumah.
Cici dan Erlan berada di ruang keluarga namun duduk berjauhan. Sebenarnya Cici ingin langsung ke kamar karena sangat malas berduaan dengan manusia robot ini, namun ada acara tv yang ingin ditontonnya.
Erlan terlihat sibuk dengan laptop di pangkuannya sedangkan Cici sibuk menonton acara yang ada di TV. Cici sempat melirik sebentar pada Erlan yang masih sibuk dengan pekerjaannya membuat Cici menggeleng pelan. Manusia robot tetaplah manusia robot, bahkan dimalam minggu seperti ini dia masih sibuk dengan segala hal tentang pekerjaan.
Acara TV yang sedang ditonton Cici tiba-tiba berganti ke penayangan iklan, hal ini membuat Cici tidak tahu harus melakukan apa, karena mulai bosan menunggu iklan Cici melirik sebentar ke arah Erlan yang terlihat masih sibuk dengan laptopnya.
Erlan terlihat serius menggerakkan jari-jarinya di keyboard laptop yang berada di pangkuannya. Mengenakan kaos putih dan celana panjang hitam Erlan tentu saja terlihat sangat tampan, namun menurut Cici ketampanan tersebut langsung luntur karena tatapan datar pria itu.
"Apa Kamu tidak bisa melakukan hal lain selain menatap saya?" tanya Erlan tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.
Cici mendengus kesal mendengar ucapan pria robot tersebut.
"Gue ngeliatin lo karena kasihan. Tiap hari hidup lo tuh cuma tentang pekerjaan doang udah gitu ketemu orang kaku banget. Pantesan temennya cuma satu doang," ejek Cici.
"Saya nggak butuh punya banyak teman yang tidak ada manfaatnya. Apalagi punya teman yang nantinya malah menjebak saya."
Cici menatap kesal mendengar perkataan Erlan, tentu saja ia menyadari apa yang dibicarakan Erlan tersebut bermaksud menyindirnya yang dijebak oleh Stesi.
"Stesi itu bukan temen gue, dia cuma kenalan doang kok."
"Saya tidak sedang membahas teman-teman kamu kok. Kalau kamu merasa tersindir ya berarti kamu menyadari bahwa kamu tidak pintar memilih teman atau kenalan."
Cici rasanya ingin melempar sebuah benda ke kepala manusia robot di hadapannya yang masih betah menatap laptop.
Kesunyian kembali menyerang keduanya. Cici sudah tidak ingin membalas ucapan Erlan karena dirinya sadar bahwa kalimat balasan pria tersebut hanya akan membuatnya emosi. Saat ingin mengalihkan pandangannya kembali ke televisi, mata Cici tidak sengaja menatap ke arah lengan kanan Erlan di bagian atas. Di lengan tersebut sebuah bekas luka muncul sebagian dari kaos yang dikenakannya.
Melihat bekas luka itu membuat Cici mengingat kejadian saat dirinya SMA.
*****
Cici terlihat menangis sambil duduk meringkuk dan memeluk kedua kakinya, badannya ia sandarkan di sebuah pohon besar. Cici menutup kedua telinganya saat ia menangkap sebuah suara asing hingga membuat air matanya semakin deras keluar.
Sekolahnya sedang mengadakan kemah di salah satu daerah di Bogor. Saat kegiatan jerit malam entah bagaimana dirinya terpisah dari rombongannya hingga akhirnya tersesat di tengah hutan belantara.
Cici sudah berusaha mencari jalan keluar ditengah rasa takutnya, namun sudah berjam-jam berkeliling ia tetap tidak bisa menemukan lokasi perkemahan sekolahnya. Kakinya sudah tidak sanggup berjalan karena terlalu lelah.
Suara guntur tiba-tiba terdengar begitu menggelegar. Cici yang sudah begitu ketakutan dari tadi semakin meringkuk dan menangis gemetaran. Hujan deras tiba-tiba jatuh membasahi hutan yang sedang mengurungnya saat ini.
"Cici"
Cici seketika menajamkan indra pendengarannya saat merasa bahwa ada seseorang yang memanggilnya.
"Tolong," suaranya bergetar dan serak.
Cici sudah tidak sanggup berteriak keras karena sudah berjam-jam berteriak minta tolong namun tidak ada jawaban sama sekali. Ia sudah ingin kembali menangis keras saat merasa suara yang memanggilnya sudah tidak terdengar lagi, namun seketika ia sedikit merasa lega saat bayangan seseorang muncul mendekatinya.
Cici sangat mengenal siluet orang yang mendekatinya saat ini.
Erlan segera berlari cepat saat berhasil menemukan Cici yang sedang meringkuk sambil bersandar pada sebuah pohon besar, sekujur tubuh gadis itu sudah penuh dengan lumpur.
Cici segera memeluk Erlan saat pria itu sudah berjongkok di hadapannya.
"Kenapa lama banget sih? Gue bener-bener ketakutan dari tadi."
"Nggak perlu takut lagi, ada aku. Ayo kita pergi dari sini."
Erlan segera memegang tangan Cici untuk membantu gadis itu berdiri. Namun Cici segera meringis sambil memegang kakinya yang terasa sangat sakit karena sudah lelah berjalan berjam-jam tadi.
"Kaki kamu kenapa?"
"Gue nggak kuat jalan lagi. Kaki gue sakit banget Erlan," jawab Cici sambil terus menangis.
Melihat Cici yang kondisi tubuhnya sudah begitu lemah membuat Erlan segera mengambil inisiatif untuk menggendong gadis itu. Erlan segera berjongkok membelakangi Cici dan menyuruh gadis itu naik ke punggungnya.
Setelah Cici naik ke punggungnya Erlan segera berjalan menelusuri hutan tersebut menuju lokasi perkemahan mereka. Perjalanan begitu panjang, terlebih hujan semakin deras membuat jalanan begitu licin.
"Erlan dingin. Masih lama ya sampai ke lokasi perkemahan?"
"Sebentar lagi. Bertahanlah."
Cici benar-benar sudah merasa kedinginan dan kelelahan. Gadis itu mengeratkan pelukannya di leher Erlan berharap bisa sedikit menghalau rasa dinginnya.
Setelah berjalan cukup jauh, Erlan dan Cici akhirnya berhasil tiba di lokasi perkemahan. Cici bisa melihat begitu banyak orang berkumpul dengan wajah penuh kekhawatiran, disana juga ada kedua orangtuanya.
Orangtua Cici dan petugas kesehatan segera berjalan mendekati Erlan dan Cici, dengan sigap seseorang segera mengambil alih tubuh Cici yang berada di gendongan Erlan dan meletakkannya pada sebuah tandu.
Cici segera dibawa menuju ke dalam ambulance. Ia sempat melihat sekilas ke arah Erlan dan menemukan ada darah mengalir di lengan kanan bagian atas pria itu.
Setelah tiba di dalam mobil ambulance mata gadis itu terasa sudah sangat berat. Ia hanya sempat melihat kedua orangtuanya masuk ke dalam ambulance dengan wajah khawatir dan duduk di sampingnya bersama seorang petugas kesehatan.
Setelah mobil ambulance benar-benar sudah berjalan Cici benar-benar sudah tidak sanggup mempertahankan kesadarannya hingga akhirnya ia pun pingsan.