Bab 4 Gerhanamu yang Ke-Seribu

2261 Words
Here I go again. The Darkness comes in my mind again – GOT7 * Semenjak kejadian pergi ke minimarket di malam hari, Hannah menjadi tidak ingin lagi pergi ke luar jika hari sudah gelap. Ia sendiri tak mengerti, banyak manusia yang bisa bebas berkeliaran di luar sana kala malam hari, tapi kenapa dirinya sendiri selalu dihampiri rasa tidak aman? Beruntung ada Anneth waktu itu yang bisa menjadi alasan bagi Hannah untuk berbohong ke ibunya. Lalu gadis vampir yang bisa membaca pikiran manusia itu pun, langsung bisa menebak maksud pikiran Hannah ketika dia pura-pura pingsan di depan ibunya. Beruntung, benar-benar beruntung. “Aduh!” ucap Hannah saat ia sedang berakting waktu itu. Sambil memegangi lututnya, kemudian Hannah pun berpura-pura jatuh dan tak sadarkan diri. Mrs. Ferer dan suaminya langsung panik dan melupakan semua amarahnya saat itu. “Hannah Honey! Apa yang terjadi padamu, Sweety?” Mrs. Ferer memangku kepala Hannah di atas pahanya. “What’s going on, Mama?” teriak lelaki Ferer di rumah itu mengahmpiri istrinya. “Hannah tadi pingsan, Tante.” Anneth pun memulai kebohongannya. “Pingsan? Apa karena tadi dia hanya makan roti selapis? Kenapa dia bisa pingsan?” Mrs. Ferer tampak panik. “Hey kau! Jangan hanya melihat, kami bukan sedang bermain opera!” teriak Mrs. Ferer pada suaminya. “Ayo! Bantu aku mengangkat anakmu!” “Silakan duduk, silakan duduk …,” bisik Mrs. Ferer pada Anneth sebelum ia kembali melotot pada Mr. Ferer. “Ini gara-gara kau yang menghabiskan roti lapis untuk Hannah!” Tatapan matanya ia lebarkan pada Mr. Ferer terutama saat mengucapkan kata ‘menghabiskan roti lapis’ seakan ingin menegaskan perbuatan salah dari suaminya itu. Mr. Ferer yang merasa terpanggil oleh belahan jiwanya, langsung sigap membopong punggung anaknya lalu mengangkat tubuh Hannah. Namun, pria paruh baya berkacamata itu tidak langsung beranjak membawa Hannah dari tempatnya. “Tunggu apa lagi?” ujar Mrs. Ferer tak sabar. “Ayo cepat bawa Hannah ke kamarnya!” titah Mrs. Ferer yang membuat suaminya selalu takluk pada omongannya. Mr. Ferer menatap heran pada istrinya. Dia melongo mendengar perintah Mrs. Ferer. “Ayo cepat!” “Aku sendiri yang akan mengangkat Hannah? Bukannya tadi kau bilang aku hanya membantumu mengangkat Hannah?” protesnya dengan tangan gemetar yang sudah tidak kuat membopong berat tubuh anaknya. “Kenapa sekarang malah aku sendiri yang mengangkat gadis berat ini?” Nyali Mr. Ferer masih tersisa untuk melayangkan rasa tak terima walau kakinya (sedikit) gemetar. “Daddy …?” panggil Mrs. Ferer dengan nada melambat namun ia tinggikan di akhir panggilannya. Tanpa memberi jawaban, Mr. Ferer pun langsung berbalik dan mencoba mengangkat Hannah. Namun sebenarnya, Hannah yang saat itu dalam posisi pura-pura pingsan, menjadi bersalah pada Daddy-nya. “Emmh … Daddy?” panggil Hannah dengan merintih karena berpura-pura baru tersadar dari pingsannya. Hannah tak tega pada pria paruh baya yang sedang menggendongnya itu. “Turunkan aku …!” pinta Hannah. Hannah pun turun dari pangkuan Mr. Ferer dan langsung menuju kursi ruang tamu dengan jalan yang (lagi-lagi) pura-pura limbung. “Hati-hati, Hannah!” Mr. Ferer memegangi gadisnya untuk menuju kursi. Ah, saat itu Hannah benar-benar merasa bersalah pada Daddy-nya. Tapi menurutnya itu tak apa, daripada dia yang terkena semprot mamanya, lebih baik Daddy-nya saja yang diomeli karena telinga pria paruh baya itu sudah kebal dengan omelan istrinya. “Saya menemukan Hannah berjalan sempoyongan, saya pikir dia mabuk. Tapi ternyata dia jatuh, saat saya dekati tidak ada bau alkohol jadi saya pikir dia sedang sakit.” Anneth mengatakan kebohongannya yang kedua. “Lalu saya bawa dia ke rumah sakit, di rumah sakit dia hanya divonis … kelelahan. Ya! Kelelahan, itu saja! Karena Hannah tidak membawa barang pribadi, jadi saya terpaksa menunggunya sadar agar bisa mengantarkannya pulang.” Hannah berdecak kagum dalam hatinya kala mendengar kelancaran Anneth berbohong pada orang tuanya dan yang lebih penting lagi adalah, orang tuanya bisa percaya begitu saja. “Pffft, hahahaha!” Hannah tertawa sendiri jika ingat momen tersebut. Baru kali ini dirinya membohongi orang tuanya. Lagipula mana mungkin ia mengatakan yang sejujurnya, yaitu dirinya bertemu dengan sepasang vampir berciuman, lalu dibawa pergi oleh vampir lainnya. Jadi berbohong lebih baik untuk saat ini. Setelah memastikan Hannah sampai di rumahnya dengan selamt saat itu, kedua gadis berbeda ras tersebut langsung bisa akrab dengan sedikit mengobrol. Bahkan Anneth dengan Hannah telah saling menyimpan nomor kontak satu sama lain di ponsel masing-masing. Sebuah jalinan keakraban antara manusia dan vampir yang mungkin akan sulit Hannah dapatkan jika itu adalah Max. “Anneth belum pernah memberi kabar lagi,” gumam Hannah pada dirinya sendiri. Dia sedang berbaring dia atas kasurnya dengan nuansa putih yang menenangkan, menatap langit-langit kamar sambil berkedip-kedip. Gadis itu memeluk ponsel di dadanya, dia teringat sebuah pertanyaan dari Flo saat di kelas tadi. “Apa kau berbuat salah pada Max?” kalimat tanya dari Flo itu terngiang kembali. “Aku?” tanya Hannah sambil menunjuk pada dirinya sendiri. “Tidak!” tolak Hannah yang ia tunjukkan dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Lalu ada apa dia terus melihatmu dengan tatapan kesal,” ujar Flo sambil meraba tengkuknya. Dengan duduk di dekat Hannah, Flo jadi ikut merasakan aura dingin dari tatapan Max untuk Hannah. Namun anehnya, Hannah seperti tidak merasakan apa-apa. Hannah mengikuti tatapan Flo, namun ternyata pria bermata biru itu telah sibuk kembali dengan buku bacaannya. Gadis itu pun mengedikkan bahunya lalu mengalihkan kembali tatapannya. “Aku tidak berbohong! Dia terus menatapmu untuk waktu yang lama. Bahkan Angel tadi sempat ingin mengerjaimu, tapi ia urungkan karena Max terus melihatmu …,” bisik Flo pada rekan sejawatnya. Sekarang di kamar ini, Hannah kembali merenungi kejadian tadi. “Kalau Anneth pun mengatakan jika Max memintanya menolongku, lalu kejadian di kampus yang dikatakan Flo tadi juga untuk menolongku dari kejahilan Angel … untuk apa Max melakukannya? Untuk apa dia berusaha melindungiku?” ujar Hannah sambil mengapit ponsel dengan kedua ujung bibirnya. Gadis itu berguling di atas kasur dan membalik tubuhnya. “Sepertinya, aku harus berbicara dengan Anneth di sebuah kafe.” Dan kedua ibu jari itu pun bergerak mengetuk-ngetuk layar gawai untuk membuat janji dengan Anneth melalui nomor ponsel yang dimiliki. * Bukan sebuah kafe seperti yang diinginkan Hannah pada hari kemarin. Kerry Park, mejadi tempat tujuan Hannah dan Anneth yang mereka pilih di hari Minggu dengan langit sore yang … agak mendung. Namun entah kenapa, kedua gadis berbeda ras itu sangat percaya diri jika sore itu tidak akan turun hujan. Hannah tiba di Kerry Park lebih dulu, dia memilih untuk menunggu sambil duduk di salah satu bangku dan menikmati pemandangan Space Needle yang indah menjulang ke langit mendung kota Seattle. Dia melirik kanan kiri mencari jika saja Anneth sudah tiba. Tapi gadis berambut pendek itu belum juga ada. Hannah mengamati pagar yang membatasi Kerry Park, di mana biasanya akan ada banyak orang bersandar sambil berdiri untuk melihat pemandangan Space Needle, namun hari ini tidak banyak seperti biasanya. “So, what you wanna talk to me about?” Suara itu tiba-tiba datang dari sebelah kiri Hannah disusul dengan cekikik riang dari gadis berambut pendek yang sebelumnya ia tunggu. “Anneth? Kau?” “Hannah,” ujarnya langsung memeluk Hannah dan Hannah terkejut akan tindakan spontan dari Anneth. “Apa ini tentang Max?” tanya Anneth yang sebenarnya ia tidak perlu bertanya. Hannah langsung tersipu mendengar nama pria vampir itu disebut, namun gadis yang selalu tenang di segala situasi itu tidak serta merta mengakuinya. “Tidak, aku hanya … ingin mengobrol denganmu.” Sudah jelas Hannah tidak pandai berbohong, apalagi pada gadis vampir yang memiliki kemampuan membaca pikiran makhluk di sekitarnya. “Aku tidak tau, kenapa Max ingin melindungi seorang manusia sepertimu.” Anneth langsung menjawab pertanyaan yang bahkan belum Hannah lontarkan, namun kali ini ia mengucapkannya dengan tatapan yang tidak baik-baik saja. Ada gurat sedih pada ekspresi gadis vampir itu. Hannah menatap pada Anneth sambil menggigit bibir bawahnya. “Sudahlah Hannah, kau tau, kan? Aku bisa membaca pikiran siapapun yang ada di sekitarku?” ujar Anneth. “Aku akan memenuhi rasa penasaranmu,” lanjutnya. Hannah menyibakkan rambutnya ke belakang telinga. Ia menghadapkan wajah antusiasnya pada Anneth, lawan bicaranya. “Kita mulai dengan siapa Max, Edmund dan tentunya … aku.” Hannah merasakan hawa dingin di sekitarnya semakin menusuk hingga ke tulang. Kelopak mata, hidung dan bibirnya bergetar seiring dengan gerakan udara yang begitu cepat. Suasana yang tidak terang, tidak gelap, Hannah seperti tersedot masuk ke lorong waktu. Hal yang telah ketiga kalinya ia rasakan. Dan begitu semuanya berhenti, Hannah bernapas terengah-engah dan mendapati sekitarnya telah berubah. Dia berada di depan sebuah kabin yang terbuat dari kayu dengan warna hijau yang mendominasi. Hannah melihat sekelilingnya, di mana pohon-pohon besar menjulang lebih tinggi dari yang biasanya ia lihat. “Rasanya … di sini akan menjadi tempat lebih aman untuk kita berbicara, ayo masuk!” ajak Anneth yang diikuti oleh Hannah. Tak lama kemudian, Hannah dan Anneth pun berada di dalam kabin sederhana. Namun interior dalam kabin tersebut terlihat sangat unik, bahkan terkesan ekslusif, seperti tidak ada di tempat lainnya. Hannah duduk sambil menunggu Anneth untuk berbicara. Gadis berambut pendek itu mencari sesuatu, seperti vacum cleaner, tapi sepertinya bukan itu. Lalu Anneth memasukkan sebuah bubuk yang berada di dalam kantong ke dalam lubang yang ada di sisi belakang benda tersebut. Kemudian dia menekan sebuah tombol dan tak lama kemudian, keluarlah asap tipis dan langsung menghilang. Hannah merasakan ada sesuatu yang baru di indra penciumannya. Seperti bau lavender namun ada sedikit campuran bau pinus atau pepermint, entahlah, Hannah tidak ahli dalam mengenali bau wewangian. “Aku harus menyamarkan baumu, setidaknya, untuk menahan diriku agar tidak menciummu,” ujar Anneth yang langsung terkekeh. Hannah menatap Anneth tidak percaya. “Aku, Max dan Edmund adalah tiga dari sekian banyak vampir yang tinggal di sini. Dan kebanyakan dari kami melakukan aktivitas dunia luar seperti halnya manusia, kebetulan Max dan Edmund memilih Seattle sebagai tempat mereka bersekolah.” Hannah masih memperhatikannya. “Kami sudah tidak meminum darah manusia untuk menyambung hidup, tapi kami … berciuman saat malam hari untuk menambah energi.” Anneth terdengar ragu untuk mengatakan kalimat berikutnya. Hannah menjadi sedikit lebih rileks setelah tadi cukup pusing akibat Anneth yang membawanya dengan sangat cepat. Sepertinya efek dari uap yang dikeluarkan dari sejenis vacum cleaner inilah penyebabnya. “Kalian berciuman dengan sesama vampir atau …,” respon Hannah pada penjelasan Anneth. “Kami berciuman dengan siapapun,” jawab Anneth dengan cepat. “Bisa manusia atau vampir, tapi lebih baik jika berciuman dengan manusia.” Anneth menambahkan. Hannah hanya mengerjap-ngerjapkan matanya. “Lalu kenapa kau ingin menciumku, apa kau …?” tanya Hannah curiga. Anneth tersenyum lebar memperlihatkan giginya. “Bukan seperti itu, di kaum kami tidak ada istilah homoseksual atau heteroseksual. Kami tidak pernah memandang itu laki-laki atau perempuan, terutama bila persediaan energi kita sudah menipis, siapapun akan kami cium saat malam hari. Tapi kebanyakan dari kami, memang memiliki ketertarikan pada lawan jenis. Maka dari itu, kami biasanya memiliki pasangan kekasih untuk mengisi energi sekaligus untuk … ya kau itu,” ujarnya lagi sambil tertawa. “Ada lagi yang kau tanyakan?” Anneth masih melihat Hannah dipenuhi berbagai pertanyaan di kepalanya. “Mana yang lebih mengutungkan, berciuman dengan sesama vampir atau manusia?” tanya Hannah. Kali ini gadis itu benar-benar lebih santai, ia menyandarkan punggungnya pada sofa dan melepaskan tas selempangnya yang ia taruh di atas meja. “Kujelaskan urutannya dari yang mulai terendah,” ujarnya sambil menyilangkan kaki. “Ada enam jenis ciuman. Yang paling rendah, berciuman dengan vampir saat malam hari tanpa gerhana. Seperti yang dilakukan Edmund kemarin, setidaknya Edmund dan vampir wanita itu bisa bertahan dalam satu hari. Sepertinya ... malam ini mereka akan berciuman lagi. Kemudian disusul dengan berciuman dengan manusia saat malam hari tanpa gerhana. Lalu yang ketiga terendah adalah, berciuman dengan vampir saat gerhana. Di posisi ketiga tertinggi yaitu berciuman dengan manusia biasa pada malam gerhana. Kemudian yang kedua, berciuman dengan manusia murni pada malam hari tanpa gerhana. Dan yang tertinggi, adalah yang coba Edmund lakukan waktu itu. Yaitu, berciuman dengan manusia murni di malam gerhana.” Anneth mengakhiri penjelasannya yang panjang lebar. “Maksud dari manusia murni itu adalah?” “Ya, manusia yang belum pernah berciuman dengan siapapun dalam hidupnya.” Hannah mengangguk-angguk. “Sulit di zaman sekarang mencari gadis sepertimu, maka dari itu Edmund sangat mengejar-ngejar dirimu.” Anneth menjelaskan. “Jadi, aku yang belum pernah berpacaran ini manusia murni?” tanya Hannah. “Lalu bagaimana dengan Max?” Hannah ingin mendengar jawaban Anneth, barangkali sepupu Max ini tahu, apa yang membuat Max bersikap sulit ditebak oleh Hannah. “Dia itu vampir spesial di antara kami,” jawab Anneth sambil mengulum senyumnya. Hannah mengerjap-ngerjapkan matanya. “Vampir spesial?” “Pertama, dia dilahirkan dari seorang ibu yang tadinya adalah seorang manusia. Lalu … kedua, Max belum pernah ciuman.” Anneth menjelaskan pada Hannah. “Kalau Max belum pernah berciuman, maka …?” “Seorang vampir yang belum pernah berciuman selama hidupnya, maka ia membutuhkan ciuman dari seorang manusia murni pada malam gerhananya yang ke-seribu.” Hannah mengedarkan pandangannya pada area kabin yang memiliki suasana klasik dan sangat menenangkan itu. Ia sekarang mulai mengerti, mengapa Edmund sangat mengejarnya malam itu. Dipikir-pikir, semua teman Hannah tidak ada yang belum pernah berciuman sebelumnya. Bahkan Flo, teman dekat Hannah, pernah Hannah dapati tanda merah di area lehernya, yang diketahui seperti bekas …. “Sekarang kau mengerti? Di antara semua gadis di tempat kau sekolah--“ “Kampus, maksudmu?” ralat Hannah. “Ah, iya. Semacam itu. Di tempat itu, baumu lah yang paling mencolok untuk indra penciuman kami,” terangnya. Sekali lagi Hannah mendapati alasan mengapa dirinya menjadi incaran para vampir. Beruntung sekali dia mengenal Anneth, tapi Anneth adalah vampir. Haruskah dia merasa beruntung?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD