Can I lay by your side, next to you, you and make sure you’re alright? – Sam Smith
*
Seperti hari sebelumnya, gradasi daun hijau, kuning, oranye hingga merah yang begitu cantik menyambut pagi hari untuk Hannah. Musim gugur yang cukup dingin membuatnya memutuskan kembali untuk menggunakan jaket parka kesayangannya.
“Apa hari ini aku harus terlambat lagi di kuliah Mr. James?” gumam Hannah sambil berjalan terburu-buru di koridor kampusnya.
“Aduh!” Kaki Hannah tersandung sesuatu, gadis itu menoleh ke balakang. Ia tidak melihat orang yang sengaja menjegalnya, hanya beberapa orang mengobrol dan masa bodoh terhadap dirinya.
Hannah pun kembali berdiri tanpa memedulikan penyebab ia jatuh. Ia pun menemukan kelasnya dan ia bisa bernapas lega pagi ini. “Masih ada tiga menit,” gumamnya. “Pantas saja Mr. James belum datang.”
Hannah mencari tempat duduk yang kosong. Tidak ada Flo di kelas ini, karena Hannah mengambil mata kuliah untuk tingkat yang lebih tinggi.
Satu langkah dia masuk ke dalam kelas tersebut, semua mata rasanya tertuju padanya. Hannah melirik ke kanan untuk memastikan firasatnya. Ia pun melihat sekumpulan mahasiswi yang terdiri dari empat orang sedang tersenyum. Bukan senyum ramah, tapi senyum mengejek.
“Apa ini firasatku saja?” tanya Hannah dalam hati. Ia pun melanjutkan langkah. Hannah merasa dia mendengar berbagai macam suara seperti menyebutkan namanya dengan pandangan-pandangan aneh yang semua tertuju padanya.
Hannah segera menarik salah satu bangku yang kosong. Dan ketika ia hendak menyimpan tasnya, tas itu terjatuh ke lantai. Seseorang telah menarik bangku tersebut kembali menjauhinya. Hannah memungut tas itu. “Ada apa ini …?” batin Hannah.
Dia melihat sekitarnya. Bayangkan saja, senyum mencemo’oh terukir dari semua orang yang ada di kelas tersebut. Bahkan seorang mahasiswi dengan gaya santainya sambil mengulum sebatang lolipop, dia duduk di bangku yang tadinya hendak dipilih Hannah.
Tuk
Hannah meraba pada ubun-ubunnya yang serasa diketuk oleh sesuatu. “Lengket?” keluh Hannah saat mendapati bekas lolipop di rambutnya.
Apa kini dirinya sedang dibully? Tapi karena apa? Minggu lalu ia masuk kelas ini semuanya masih baik-baik saja.
Hannah berdiri dan mencari bangku kosong yang lain, namun mendadak semua bangku itu berpenghuni dan tidak ada yang bersisa untuknya.
“Hello everyone!” Suara itu mampu menertibkan seluruh mahasiswa dan semuanya duduk di bangku mereka kembali.
Hannah menoleh ke depan, dia melihat Mr. James dengan kepala plontosnya yang sedikit ditumbuhi rambut-rambut putih itu.
Mr. James menurunkan sedikit kacamatanya dan mengintip ke arah satu-satunya mahasiswa yang masih berdiri, Hannah. Dahinya berkerut dan tatapan matanya tajam.
Hannah bergidik dan segera duduk ke satu-satunya bangku yang tersisa dan paling dekat dengan posisinya.
*
Perpustakaan adalah satu-satunya tempat ternyaman bagi Hannah saat ini. Bukan hanya karena gadis itu gemar membaca, tapi karena di sini semua orang sibuk pada bacaannya, dan Hannah bisa terbebas dari pembully yang bertebaran di kampus ini.
“Apa karena Max? Seperti yang selalu Angel ingin lakukan padaku?” pikir Hannah ketika ia menerka-nerka mengapa kakak tingkatnya banyak yang membullynya.
Semenjak kejadian Max menggendong Hannah, banyak kaum dengki yang membully Hannah. Padahal, sekali lagi, Hannah selalu ingin menekankan. Jika ia lebih baik tidak dekat bahkan tidak pernah mengenal Max sekalipun.
Namun, kejadian itu sudah berlangsung beberapa minggu sebelumnya. Jika pembullyan itu karena Max, seharusnya itu juga mereka lakukan sejak saat itu, seperti yang Angel yang lakukan padanya.
Semua ini menyulitkan masa-masa kuliahnya yang ia harapkan menjadi masa yang tenang. Dia tidak mau berpacaran, dengan lelaki tertampan di kampus ini sekalipun. Dia pun berpikir tidak perlu memiliki banyak teman, cukup Flo saja seorang sampai ia lulus kuliah nanti, mungkin sekarang ditambah dengan Anneth, meski Anneth tidak berkuliah di sini.
Bisa dibilang Hannah memiliki masalah dalam berinteraksi sosial. Dia adalah seorang yang sangat, sangat, sangat introvert. Bahkan dengan orang tuanya saja, ia jarang memulai pembicaraan.
Lembar demi lembar Hannah buka dari buku tersebut tanpa ia baca. Kepalanya terantuk pada buku tersebut karena ia bosan. Tercium bau kertas usang yang sudah lama tidak dibaca dari buku itu. “Mengapa pula aku mengambil buku ini?” gumamnya lirih sambil menutup kembali bukunya. Dia berdiri dan berniat mengembalikan buku tersebut.
Hannah masih mengingat di mana persisnya buku itu tadi disimpan. Dia pun berniat mengganti bacaannya menjadi sesuatu yang lebih menarik perhatiannya, n****+ romansa kontemporer atau sejenisnya.
Hannah berhenti pada buku berjilid kuning-oranye, warna favorit Hannah untuk saat ini. Dan dia berusaha mengambil buku yang berada di rak paling terakhir itu.
Satu tarikan, Hannah urungkan lagi. Dia mendengar suara getaran dari arah rak buku tersebut.
Buku itu masih ada di tempatnya.
Hannah mencoba menarik lagi, kali ini dengan tarikan lebih kuat hingga buku itu mencuat setengah bagian dari barisan buku lainnya. Hannah hentikan kembali niatnya, suara getaran dari arah rak itu ia dengar lagi.
Gadis itu sempat ragu dan melihat sekitarnya, mengapa rak ini bergetar?
Dia pun mencoba satu kali lagi untuk mengambil buku yang berada sekitar lima puluh senti di atasnya itu.
Dan satu tarikan itu meruntuhkan semuanya. Hannah benar-benar melihat rak buku tersebut mengayun perlahan di depannya dan hanya dalam beberapa detik saja rak besar itu akan menimpanya.
Dengan mata yang melebar, ia mendengar suara decitan lemari yang perlahan akan jatuh ke arahnya. Bagaikan gerakan slow motion, Hannah dapat melihat rak itu benar-benar bergerak dan hampir menyentuh hidungnya. Spontan ia menutup matanya dan memeluk dirinya sendiri dengan erat. Hannah tinggal menunggu suara ‘Bum!’ itu menimpa tubuhnya.
BUM!
Rak itu benar-benar terjatuh dan menimpa lantai, suaranya disusul dengan suara jeritan dari beberapa orang yang sepertinya di sekitar rak besar tersebut. Tapi … suaranya terdengar agak jauh. Dan tidak ada apapun yang dirasa menimpa Hannah.
Hannah membuka matanya, dia mengangkat kepalanya melihat rak yang tadi seharusnya menimpa dirinya. Dia menengok ke kanan, rak itu berada kurang lebih lima belas meter darinya dan dibatasi oleh sebuah jendela.
Hannah sudah berada di luar perpustakaan.
“Mustahil!” serunya tak percaya.
“Bisakah sehari saja kau tidak membahayakan dirimu sendiri?” Suara bas dari seorang pria bermanik biru mengejutkan Hannah. Dalam sekali gerakan dia membalik tubuhnya, dan melihat pria yang sedang mengomelinya. “Jika bukan bermasalah dengan orang lain, kau akan bermasalah dengan benda-benda di sekitarmu!”
“Max?” Hannah merespon omelan panjang itu hanya dengan menyebut nama pria tersebut.
“Ayo pergi!” ajak Max kemudian.
“Kemana? Aku tidak akan pergi bersamamu!” tolak Hannah. Bukan apa-apa, tapi sepertinya Hannah tidak ingin menjadi pusat perhatian lagi.
Max tidak menerima penolakan dan langsung membimbit tangan Hannah, seperti seorang ayah pada anaknya.
Dingin, itu yang dirasakan pada pergelangan tangan Hannah.
“Tanganmu dingin sekali,” komentar Hannah.
Max tidak menjawab dan terus menggandeng Hannah.
“Kau kedinginan, Max? Kenapa bajumu setipis itu?” protes Hannah pada orang di depannya.
Max masih tidak menjawab. Kini mereka berjalan di area yang telah dipadati oleh mahasiswa. Seperti dugaan Hannah, mereka kembali menjadi sorotan. Ini sama sekali bukan yang Hannah inginkan.
Gadis itu membiarkan rambutnya terurai di samping telinganya agar dari samping orang tak dapat melihatnya. Namun sebaliknya, sedikit pun Max tidak merasa terganggu dengan tatapan-tatapan orang yang mereka lalui.
Max melepas tangan Hannah di dekat mobil miliknya. Ia berdiri menatap Hannah dari ujung kaki hingga kepala. Gadis itu menarik-narik telunjuknya sendiri untuk mengusir rasa canggung.
“Bukankah kelasmu sudah habis? Seharusnya kau sudah pulang dari tadi!” protes Max sembari membuka mobilnya. Sebuah Rubicon yang membuat pengemudinya semakin terlihat seksi.
“Aku hanya tidak ingin pulang sebelum melihatmu.” Tentu saja itu hanya dikatakan Hannah dalam hati tanpa terdengar Max, mungkin. Jika Max tidak memiliki kemampuan yang sama seperti Anneth.
*
Southland Village
Seperti atmosfer bumi pada umumnya, langit di Southland pada sore hari juga berwarna jingga. Para vampir yang tinggal di perkampungan ini membangun kabin-kabin mungil untuk tempat tinggal mereka. Bukan karena mereka tidak bisa membangun tempat tinggal yang lebih luas, hanya saja kabin mereka dibangun dengan kekuatan sihir ruangan untuk dapat meluaskan sebuah tempat. Sehingga kabin itu terlihat kecil dari luar namun sangat luas dari dalam. Sangat cukup untuk mengakali wilayah teritori mereka yang tak cukup luas.
“Baru menyelamatkan putri lugumu lagi?” sapa Anneth saat bertemu dengan Max.
Max hanya melalui Anneth tanpa menjawab pertanyaan sepupunya.
“Max! Jawab aku!” Anneth menghentak-hentakkan kakinya sambil berjalan menyusul Max. Gadis vampir itu menarik baju bagian belakang Max hingga sepupunya berbalik menatap ke arahnya.
Max memutar bola matanya dan menatap dingin pada Anneth.
Anneth mengamati Max dan ia pun terkejut saat melihat beberapa titik noda di kaus yang dikenekan pria itu. “Ini …?” bisik Anneth sambil memegang kaus Max dengan noda hitam.
“Sudahlah!” ujar Max sambil menyingkirkan tangan Anneth dari pakaiannya lalu ia berlalu meninggalkan Anneth.
“Max! Ini bukan sesuatu yang boleh dibiarkan!” teriak Anneth lagi dan kali ini ia memegang ujung kaus Max.
“Uhuk! Uhuk!” Max menghentikan langkahnya, bukan karena Anneth yang mencegahnya tapi karena ia memuntahkan sesuatu dari tubuhnya. ‘Black Blood’.
“Max!” Anneth mengamati darah yang keluar dari mulut Max, tangannya terulur ke ujung bibir pria vampir itu dan berusaha mengusapkan ibu jarinya untuk membersihkan sisa darah yang ada di sana.
“Jangan sampai orang tuaku tau!” Max menepis tangan Anneth dan ia pun berlalu menuju ke kabin milik orang tuanya.
“Bukan begitu, Max! Kau tidak bisa melindungi Hannah dengan kondisi yang seperti ini!” teriak Anneth yang tetap ngeyel berlari untuk mengimbangi langkah Max dan tetap berada di samping sepupunya itu. “Max, dengarkan aku! Dua gerhana lagi waktumu, Max!”
Max tetap terus melangkah tanpa menggubris Anneth.
“Max, kau tidak bisa menggunakan kekuatanmu bahkan untuk sekedar berlari cepat seperti yang kau lakukan pada saat menyelamatkan Hannah tadi. Kau sudah terlalu lemah!” Anneth berteriak lagi.
Namun kali ini Max berhenti. “Darimana kau tahu apa yang baru saja kulakukan? Kau membaca pikiranku?” tanya Max.
“Itu bukan salahku! Tapi kamu yang terlalu lemah hingga tidak bisa membentengi pikiranmu sendiri!” ujar Anneth tanpa mereasa bersalah. Bagi sesama vampir, tidak semua bisa saling membaca pikiran. Karena para vampir dapat membuat tabir untuk menghalangi vampir lainnya dalam membaca pikiran mereka.
“Sebentar lagi gerhana, aku harap kamu mengisi energi kehidupanmu, Max!”
*
Sementara itu, di rumah Hannah. Gadis itu masih memikirkan Max meski telah beberapa jam lalu mereka berpisah.
“Are you ok, Max?” gumam Hannah sambil memeluk gulingnya. Dia tak mengerti saat Max terlihat sedang menahan batuknya selama ada di perjalanan mengantar Hannah tadi.
“Jangan tatap aku seperti itu! Aku … uhuk … baik-baik saja!” jawab Max saat Hannah mengkhawatirkan kondisinya tadi.
Hannah akhirnya diam mencoba untuk tidak peduli, namun tidak bisa seperti itu. Saat Max menepi dan menghentikan mobilnya tiba-tiba. Pria vampir itu mengeluarkan banyak darah dari mulutnya.
“Max, apa yang terjadi?” Hannah panik dan langsung mendekat ke arah Max yang dicegah oleh pria itu.
Wajah mereka bertatapan dan Hannah dapat melihat cairan yang keluar dari mulut Max. “Black?” Hannah bertanya-tanya.
“Itu darah! Darah bangsa kami berwarna hitam!” jawab Max dingin.
Hannah terdiam tidak membalas perkataan Max, ia semakin mendekatkan diri pada pria vampir itu. Ibu jarinya menggapai ujung bibir Max yang terdapat sisa cairan hitam itu. Perlahan jemari lembut itu mengusap dan membersihkannya.
Kedua manik mata mereka bertemu dan saling memberi tatapan yang cukup dalam dengan jarak yang cukup dekat.
Hannah melihat kesempurnaan wajah di hadapannya. Terutama pada manik biru yang begitu memikat. Semakin lama mereka bertatapan, iris biru tersebut terlihat berubah. Warna tersebut bergeser pada frekuensi yang lebih rapat dalam spektrum, berubah perlahan akhirnya menjadi hijau sempurna.
Deru napas Max semakin cepat, tubuhnya sedikit terasa hangat. Tangan pria itu menggapai wajah yang ada di dekatnya, menyentuhnya, dan menariknya. Tak ada penolakan dari Hannah, ia pun semakin mencondongkan wajahnya mengikuti tangan Max yang mendorong tengkuknya.
Ketika bibir itu hampir bersentuhan, seketika iris hijau itu berubah kembali menjadi biru dan Max menjauhkan tangannya. Suhu tubuhnya turun drastis yang kemudian ia mendorong Hannah untuk menjauh.
“Uhuk! Uhuk! Uhuk!” Black blood itu keluar semakin banyak dari Max.
Tanpa menghiraukan kepanikan Hannah akan dirinya, Max langsung kembali memacu mobilnya dan mengantar gadis itu ke rumahnya.
“Hannah Honey …! Can you help me, please!” Teriakan wanita paruh baya yang berada di lantai bawah membuyarkan lamunan Hannah akan peristiwa bersama Max tadi.
Satu kalimat Max yang tersisa dalam ingatan Hannah. “Aku adalah makhluk dari kegelapan, seharusnya kau jauhi aku!”