"Everything under the sun is tune. But the sun is eclipsed by the moon." ~ Pink Floyd
*
Saat itu, dia berpikir jika segala sesuatu yang bersinar maka memiliki cahaya. Namun peristiwa di malam gerhana tersebut menunjukkan, jika sesuatu yang bersinar maka justru berasal dari kegelapan.
Hannah masih berpikir jika penolongnya pada malam gerhana di bulan lalu adalah Max. Meski pria itu sudah menyangkalnya mentah-mentah.
Akibat dari kejadian malam itu, Hannah menjadi trauma untuk keluar malam hari, terutama bila bersama seorang pria.
Edmund, seorang kakak tingkat di kampus Hannah yang dikenal paling jenius di angkatannya, ternyata adalah seorang vampir yang ingin mencelakainya.
Ia tak menyadari, jika saat Edmund mengajaknya untuk pergi ke sebuah pesta hanyalah jebakan untuknya.
Hannah tidak habis pikir jika tidak ada Max yang menolongnya malam itu, mungkin dia sudah menjadi mayat yang ditemukan dengan luka tancapan gigi di bagian leher. Gadis itu pun merinding bila memikirkannya.
Namun, jika Max bisa membawanya terbang dan mampu mengalahkan Edmund, itu artinya Max juga termasuk salah satu dari mereka? Pikiran itu terus menghantui Hannah. Dirinya masih merasa bingung pada pria yang menolongnya dan mirip dengan Max itu.
Ditambah setelah kejadian di lorong kampus waktu itu, Max selalu menjauhi Hannah.
"Ada apa dengan Max?" gumam Hannah sambil berdiri di salah satu sisi lapangan basket, dia sedang menyaksikan pria yang ia sebut namanya men-dribble bola berwarna merah bata itu.
"Hai, akhir-akhir ini kau sering mengamati Max, kupikir kau sudah jatuh hati padanya?"
Hannah menoleh pada gadis yang mengajaknya berbicara. "Bukan begitu, Flo! Aku hanya ... Ah sudahlah, lupakan!" Hannah pun pergi dari lapangan basket itu.
Sebelum gadis itu berjalan lebih jauh, dia menoleh kembali ke samping kanan, ke arah lapangan basket yang sempat diamatinya.
Dan ia menyadari, jika pria yang sedang melakukan slamdunk saat berhasil memasukkan bola ke dalam ring itu sedang memperhatikannya. Tatapan mereka bersirobok dan pergerakan Hannah terkunci.
Gadis dengan rambut berwarna coklat dan sedikit bergelombang itu menjadi terpaku seketika, terutama saat ia melihat Max bergerak dari tengah lapangan basket menghampirinya.
Suara riuh penonton mendadak sunyi. Tak ada seorang pun yang berada di sekitar mereka dapat mengganggu keduanya.
Waktu seakan terhenti dan semua burung yang mengepakkan sayap mendadak diam, tak terbang, tak hinggap.
Hannah bahkan melihat salah satu pemain basket yang sedang tidak bertanding menuangkan air ke dalam mulutnya, air itu tumpah namun tidak mengalir ke mulutnya.
Bagaikan mannequine challenge yang sering ia lihat di layar kaca, tapi ... Ini semua terlalu nyata.
"JIKA YANG KAU CARI ADALAH AKU, MAKA MENATAPLAH KE ARAHKU!"
Seketika Hannah terkesiap dengan seruan yang menggema di telinganya. Ia pun segera menatap ke sumber suara dan lagi-lagi ia mendapati pria yang manik matanya menghitam itu sedang berjalan ke arahnya.
Pergerakan Max dengan singkat dapat menghapus jarak antara laki-laki itu dan Hannah.
Hannah terhipnotis oleh manik hitam yang seakan telah menelan seluruh ruang dan waktu di sekitar Hannah.
Hannah menyadari sekitarnya telah berubah menjadi sangat putih, tapi ia seakan tak bisa berteriak. Mulutnya terasa begitu rapat seperti ada sebuah energi besar yang sedang membungkamnya.
"Berhentilah mengamatiku, jika kau ingin selamat. Dan sekali lagi jangan pernah merasa jika kau dekat denganku!" seru Max tepat di hadapan wajah Hannah.
"Ta-tapi, Max! Aku hanya ingin berterima kasih!" jawab Hannah dengan sangat cepat.
"Lupakan! Aku tidak pernah menolongmu!" Max berjalan menjauhi Hannah.
"Max ...! Max ...!" Hannah berteriak memanggil pria yang semakin menghilang ditelan warna putih itu.
Dan seketika Hannah pun limbung.
"Hannah, Hannah!" Sebuah tepukan halus terasa mengusap pipinya.
Hannah mendadak membuka matanya. Napasnya tersengal-sengal seakan ia telah berlari.
"Flo?" Hannah melihat sahabatnya sedang berada di hadapannya.
"Ya, kau sudah baikan?" tanya Flo memperlihatkan kerut di dahinya, gadis itu terlihat sangat khawatir.
"Aku ...?" Hannah mengamati ruang di sekitarnya, ini bukan lapangan basket.
"Kau dibawa ke ruang kesehatan, karena kau tiba-tiba pingsan. Apa kau belum makan?" Flo kembali bertanya dengan sangat perhatian.
Hannah menggeleng, ia merasa bingung dengan apa yang terjadi dengannya.
"Oh ya, tadi Max yang menggendongmu kemari. Dan dia baru saja pergi saat kamu mengigau memanggil-manggil namanya." Flo menjelaskan pada Hannah yang terlihat kebingungan.
"Max? Menolongku?"
Flo menjawabnya dengan anggukkan. "Dan kau tahu, kau terus menerus menyebutnya. Sebenarnya, apa yang terjadi pada kalian berdua? Kejadian tadi menggegerkan kampus kita. Kau berhasil membuat semuanya iri padamu, tahu!" ujar Flo kemudian.
Hannah hanya memegangi kepalanya yang cukup pening. Ia merasa bahwa sebelumnya sedang berada di dimensi lain, namun pada kenyataannya ia hanya sedang pingsan dan dibawa ke ruang kesehatan. Apakah obrolannya dengan Max tadi nyata?
*
Malam hari di rumah Hannah.
"Ini bukan hari Valentine, Honey! Untuk apa kau menghias coklat malam-malam?"
"Ma? Apa coklat hanya untuk hari Valentine saja?" Hannah memberi pertanyaan umpan balik pada Mrs. Ferer, mamanya.
"Karena setau mama, bahkan ketika ramai hari Valentine pun kau tidak pernah membuat coklat, lalu di hari ini kau tiba-tiba membuat coklat dan menghiasnya sendiri. Ada apa?" Mrs. Ferer mengangkat kedua alisnya.
Wanita paruh baya dengan rambut blonde itu bersidekap sambil menyandarkan bahunya ke tembok. "Apa kau sedang jatuh cinta?" tanya Mrs. Ferer menggoda putrinya.
Hannah meletakkan pipping bag ber-spuit yang ia gunakan untuk menghias coklat, lalu ia meletakkan tangannya di pinggang dan berkata sambil menatap mamanya. "Wahai Mrs. Ferer yang sangat kuhormati. Sebaiknya anda segera tidur, karena waktu menunjukkan hampir tengah malam."
Mrs. Ferer melepaskan tawanya. Sepertinya ia merasa gemas pada putrinya, namun ia memilih untuk pergi daripada terus menerus mengacau Hannah. "Baiklah kalau begitu, My Princess! Aku akan pergi, tapi jangan lupa bereskan kembali dapur ini, dan buang semua kotoran yang ada." Wanita itu pun berlalu dari dapur. "Bye!"
Hannah sudah kembali dengan pipping bag-nya, ia sama sekali tak menghiraukan perkataan mamanya yang ia anggap sebagai kicauan burung itu.
"Oh ya, satu lagi!" Mrs. Ferer kembali dengan menjulurkan kepalanya saja ke dalam dapur.
Hannah terkejut akan kemunculan mamanya yang tiba-tiba itu. "Apa lagi?" ucap Hannah dingin.
"Sisakan coklatnya untukku!" Setelah berkata demikian, kemudian Mrs. Ferer pun pergi lagi.
Hannah memutar bola matanya melihat tingkah mamanya. Dia pun melanjutkan hiasan coklatnya yang sempat tertunda, dan kemudian menata coklat-coklat itu dalam wadah khusus coklat truffle yang telah dihias.
Gadis itu pun merasa puas dengan hasil karyanya.
"Ini sebagai tanda terima kasih karena dia telah menolongku saat pingsan kala itu." Hannah tersenyum memandangi sewadah kotak coklat truffle di tangannya. "Ya, hanya karena itu! Tidak lebih!"
*
Keesokan harinya, daun Mapple yang berguguran itu masih dengan indahnya menghias pagi di Seattle.
Bersama jaket bomber yang berwarna khas dengan musim gugur, Hannah berjalan di bawah daun-daun yang berjatuhan.
Hannah berangkat ke kampus dengan d******i warna coklat - oranye pada pakaiannya. Dan tak lupa, sekotak coklat truffle yang siap ia bawa dalam tasnya.
Namun sepertinya, Dewi Fortuna tak berpihak padanya di pagi ini.
"Kembalikan!" Hannah berjinjit saat bingkisan coklat buatannya diambil oleh seorang teman pria di kelasnya dengan tubuh yang cukup tinggi.
Hannah kesulitan mendapatkan coklatnya yang terus dioper dari satu orang ke orang lainnya. Ada apa dengan para teman-teman sekelasnya? Biasanya mereka tidak pernah sejahil ini. Begitulah dalam hati Hannah berkata.
Lalu operan itu mulai berhenti pada seorang pria. Dan tepat setelah itu, seorang gadis datang ke kelas Hannah.
"Angel ...?" sapa Hannah memelas berharap Angel menolongnya.
"Kemarikan coklatnya!" titah sang Angel yang langsung dituruti.
"Untuk Max?" Angel membaca surat kecil yang ditempel pada sampul box coklat itu.
Hannah menunduk, ia merasa malu karena ia ketahuan ingin memberi coklat untuk Max.
"Hahaha! Kalian tau? Gadis cupu ini ingin memberi hadiah pada Max." Angel tertawa yang diikuti oleh seluruh penghuni kelas.
Hannah hanya bisa melihat ke arah Angel dengan tatapan nanar. Gadis itu menggigit bibir untuk menahan air matanya agar tidak tumpah. Ia tak mengerti pernah berbuat salah apa dirinya pada seorang Angelica Ramirez, sehingga ia dipermalukan seperti ini.
"Apa? Kau mau menangis?" Gadis bernama Angel itu mengejek Hannah.
Kemudian seorang gadis datang dari arah pintu. "Hannah? Are you ok?" tanyanya dengan khawatir.
"What are you doing, b***h?" Gadis yang tidak lain adalah Flo, sedang mencoba membela Hannah. Dia pun menantang dan berusaha mengimbangi Angel untuk duel.
"I'm ok, Flo! Please, stop!" Hannah memegang pundak Flo saat kedua gadis itu hendak saling memukul.
"Ini tidak bisa dibiarkan, Hannah! Dia harus diberi pelajaran agar tidak mengulangi perbuatannya!" teriak Flo penuh amarah.
Semua mata memandang ke arah ketiga gadis tersebut. Namun sebagian besar dari mereka sudah jelas membela Angelica Ramirez, gadis termodis di kelas Hannah, dan juga disinyalir sebagai 'Maximal Love' garis keras.
Angel pun menarik kembali lengan Flo, hingga kedua gadis itu lagi-lagi saling menjambak.
Tanpa Angel sadari, bingkisan coklat milik Hannah terlempar dari pegangan Angel karena agresifnya pertengkaran mereka berdua.
Kemudian ...
Pluk
Coklat itu mendarat tepat di hadapan seorang mahasiswa lain yang baru masuk di pintu.
Mahasiswa itu tampak bingung melihat keadaan kelas yanh sangat kacau. Ia pun melihat ke arah kakinya, dan bungkusan coklat yang sudah agak penyok itu ia pungut.
Ia memegang coklat tersebut. Dan ... Sebuah bayangan seorang gadis dengan senang hati membuat dan menghias coklat pada malam hari, hingga tragedi coklat yang dipermainkan oleh teman-teman sekelasnya, terlintas berurutan di kepalanya.
Max, mahasiswa yang baru datang itu, langsung bisa menebak pemilik coklat yang sudah na'as tersebut.
"Apa ini milikmu?" Max menyodorkan kotak coklat itu pada Hannah.
Hannah pun tak mampu menahan air matanya. Ia menerima kembali kotak coklat tersebut dan langsung berlari ke luar dari kelasnya.
Max menatap seluruh teman-teman yang ada di kelasnya. Bagai kerbau yang dicocok hidungnya, mereka pun langsung kembali ke tempat duduk masing-masing dan tidak berusaha membuat kebisingan.
Sementara itu Hannah mencoba menenangkan dirinya di kamar mandi wanita. Dia menatap ke arah kaca dan menghapus air matanya.
"LAIN KALI JANGAN PERNAH MENCOBA MEMBERIKU SESUATU!"
Hannah langsung panik kala mendengar suara tersebut.
"Max?" Dia pun berlari ke luar kamar mandi.
Dan Max yang ia cari ternyata sedang berdiri di samping pintu kamar mandi pria yang letaknya berseberangan dengan kamar mandi wanita.
"Max?" Hannah mencoba memanggil kembali Max.
Namun sayang, pria itu diam dan tak menggubrisnya. Max langsung pergi tanpa menimpali apapun.
"Terima kasih, karena lagi-lagi sudah menolongku," gumam Hannah sendiri saat melihat Max sudah pergi dari hadapannya.
Ya, dia memang selalu tampak bersinar dengan pesonanya. Tapi sikap dinginnya seolah menjadi bayangan yang selalu menutupi cahayanya.