“There is no dark side of the moon, really. Matter of fact, is all dark.” ~Pink Floyd
*
"No! No! Please!"
Raungan terakhir yang keluar dari mulut sang gadis, kemudian ditutup dengan ketidaksadarannya.
Hal itu membuat sesosok makhluk dengan bibir merah menyeringai penuh kemenangan. Sekilas, bibir dari makhluk itu sangat ranum, merah dan menggoda. Hanya saja, dua garis putih yang mencuat di kedua ujung bibirnya, akan membuat siapapun yang melihat berpikir seribu kali untuk menciumnya.
Makhluk itu mengusap bibir sang gadis dengan penuh kelembutan, meski di matanya sudah terlihat nafsu yang begitu menggelora ingin segera meraup kenikmatan yang ada di hadapannya.
"Kau harus memberikan energi kemurnianmu malam ini ...," desisnya di telinga sang gadis yang tentu saja tidak didengar oleh gadis itu.
Perlahan makhluk tersebut mendekatkan bibirnya. Wajah mereka semakin berdekatan.
Kesunyian malam gerhana di kota Seattle membungkam sekitaran mereka. Makhluk yang segera ingin memenuhi kembali energi kehidupannya ini sudah tak sabar menunggu gerhana berada di puncaknya.
Sang gadis dengan napas yang terembus pelan, terlihat begitu tenang. Seandainya dia sadar, dia tidak akan bisa terlelap senyenyak ini.
Sosok itu menatap dalam-dalam wajah indah sang gadis. "Aku akan menjadikan dirimu sebagai bagian dari bangsaku malam ini!" Dia masih setia membelai bibir sang gadis. Karena dari bibir mungil itulah nantinya ia akan mendapatkan energi kehidupan, tepat saat gerhana bulan penuh.
Dan cahaya kemerahan itu mulai memenuhi langit malam hari Seattle. Warna yang hampir senada dengan daun mapple yang berguguran di musim itu.
Bulan malam ini tidak keperakan seperti biasanya. Dia menanggalkan sinar kebesarannya untuk beberapa saat. Malam yang sangat dinanti oleh sekelompok vampir untuk mengisi kembali energi kehidupannya.
Tampaknya, atmosfer bumi berhasil menghadang bulan dari cahayanya. Warnanya memperlihatkan seperti ia sedang kesakitan. Hal yang sama dialami oleh seorang gadis yang kini berada di bawah kungkungan vampir, makhluk yang hendak mengisi energinya. Vampir itu memang belum melakukan apa-apa, tapi jika gadis itu sadar nanti, perasaannya akan sangat terluka.
"Gerhana ...," ucap sang vampir berbisik sambil menatap langit. "Aku harus membawamu ke tempat yang lebih dekat dengan gerhana!"
Secepat kilat, makhluk bertaring itu membawa sang gadis dalam pundaknya. Ia melompat dengan kecepatan tinggi, layaknya sedang terbang di udara.
Demi energi kehidupan yang ingin ia dapatkan, ia rela mendekati seorang gadis berjiwa murni yang belum disentuh oleh seorang pria pun. Lalu ia menunjukkan kebohongannya dan membuat sang gadis tak sadarkan diri.
Di atas atap gedung inilah, dia membawa gadis itu untuk lebih dekat dengan gerhana.
Dan ... puncak gerhana pun dimulai.
Ditemani hewan malam yang bersahutan. Cahaya kemerahan dari langit itu memberikan energi terbesarnya untuk para makhluk bertaring ini.
Tanpa membuang masa, bibir merah bertaring itu pun memulai aksinya. Dipeganginya tengkuk sang gadis agar tidak terjatuh dari dekapannya.
"Hold on! Don't touch her!"
"Sh!t"
Sebuah jarum berwarna perak mengenai bahu makhluk itu, yang tentu saja membuat dekapannya pada sang gadis terlepas.
"Hannah!" Teriak pria berbaju hitam yang sepertinya berniat menolong gadis itu. Dengan kecepatan tinggi, pria itu melesat turun dari atap dan segera menghampiri tubuh Hannah yang hampir menyentuh tanah.
"Hei, Dude! Bisakah kau tidak mencampuri urusanku?" Vampir yang hampir mencium Hannah mencoba ramah pada pria yang telah menembaknya dengan jarum. Luka bekas tusukan jarum itu pun perlahan menghilang, meninggalkan bekas lubang di bagian pundak pada kaos hijaunya.
"Hannah adalah temanku! Cari korban wanita lain saja," ujar pria tersebut sambil berbalik dan melesat meninggalkan sang vampir yang masih merasa kesal.
Vampir dengan baju hijau itu pun tidak berniat untuk mengejar buruannya. "Sial! Kenapa harus dia yang ikut campur!" gerutunya.
"Gerhananya!" ucapnya histeris saat melihat puncak gerhana bulan sudah hampir selesai.
"Aaaah ...," teriaknya dengan suara lemah ketika ia merasakan sebagian jiwanya mulai rapuh.
"Tidak ada waktu lagi." Dia pun tergesa-gesa pergi dari tempat itu dengan tubuh yang melemah.
*
Suhu musim gugur malam hari di kota Seattle seakan turun beberapa derajat dari biasanya. Hannah merasakan sepasang tangan kokoh menopangnya, dan dari sentuhan itu seakan menularkan suhu dingin yang menusuk hingga ke tulang.
Meski dalam keadaan terpejam, Hannah masih bisa merasakan jika ia sedang dibawa dalam kecepatan yang sangat tinggi. Ia merasakan seperti berada di lorong waktu, kulitnya bergesekan dengan udara dingin Seattle malam itu.
Brak
Pria yang membawa Hannah bergegas masuk dari jendela kamar yang ia buka dengan paksa. Kemudian ia menidurkan gadis itu di atas bantal berwarna putih.
Hannah mencium aroma yang familiar melalui indranya, ia pun perlahan membuka mata.
Pria itu agak terkejut saat melihat Hannah mulai sadarkan diri. Dengan refleks ia lepaskan segera kepala Hannah dari tangannya.
"Aduuh!" rintih Hannah saat menyadari tubuhnya terbanting di atas kasur.
Gadis itu pun mencoba mengumpulkan sadarnya. Dan melihat sosok rupawan yang telah menolongnya, "Max ...?" desisnya saat menyebut nama dari sosok yang ternyata ia kenal tersebut.
Dan, belum usai Hannah menarik napas, berikutnya pria itu pun pergi melalui jendela yang ia lewati saat masuk tadi.
"Hannah, is that you?" Suara teriakan dari luar kamar Hannah disusul dengan pintu kamar Hannah yang kemudian terbuka memperlihatkan sesosok wanita paruh baya bertubuh tinggi dan agak kurus.
"Emm ... Ma? Ya, ini aku," ucap Hannah dengan kikuk. Pasalnya ia masih menggunakan gaun pesta dan sepatunya.
"Ka-kau? Memanjat Hannah?" Wanita itu menatap Hannah tidak percaya.
Hannah tidak mungkin menjelaskan jika ia diantar oleh teman prianya masuk ke kamar yang berada di lantai dua ini melalui jendela. Ia hanya menggigit bibirnya, tanpa mengangguk, tanpa menggeleng.
"Haah, ya sudah! Jangan sampai daddy mu tahu!" Wanita itu pun melirik ke jendela kamar yang terbuka. "Sebaiknya kau tutup kembali jendela," ujarnya sambil meraih daun jendela yang terbuka ke luar.
"Bagaimana caramu membuka jendela ini? Kau merusak penguncinya!" omelnya lagi.
*
Max, pria yang bisa dikatakan paling bersinar di jurusan Hannah. Dia sangat tampan, memiliki kulit putih seperti salju, dengan tatapan dinginnya yang berasal dari bola matanya yang biru, pria yang terkenal sangat jenius ini mampu membuat penasaran seluruh bagwanita yang mengenalnya.
"Apa benar dia adalah Max?" gumam Hannah pada dirinya sendiri.
"Yang duduk di depan itu? Dia memang Max? Kau ini kenapa?" Seorang gadis teman sekampus Hannah duduk di sebelahnya.
"Ah, Flo? Kau datang mengagetkanku!"
"Kau melamunkan Max? Akhirnya, Hannah kini menjadi bagian dari pengagum Max. Maximal Love!" Flo berkata sambil menggoda Hannah.
"Hmm, bukan seperti itu!" Hannah mendecak pada sahabatnya. Suasana kelas Hannah sudah cukup ramai, namun dosen belum juga datang.
"LAIN KALI JANGAN PERNAH KELUAR MALAM SENDIRIAN. TERUTAMA SAAT GERHANA!"
Suara itu membahana di telinga Hannah yang membuat gadis itu tersentak. Dia pun celingukan mencari si pembuat suara.
Dan satu yang ada di pikirannya. Max?
Ia pun mencari sosok pria yang tadi duduk di kursi barisan terdepan. Namun kursi itu kosong dan pria yang ia cari tidak berada di tempatnya.
Hannah mengedarkan pandangannya. Ke mana Max? Hannah mengitari seluruh kelas, dan pandangannya terkunci pada jendela yang memperlihatkan pria dingin itu sedang berjalan di luar kelas.
"Max!" seru Hannah yang tergesa ke luar dari kelasnya menyusul pria tersebut.
"Hannah, mau ke mana kau?" teriak Flo yang tak digubris Hannah.
*
"Max!" Hannah mencekal tangan Max agar pria itu berhenti.
Max dengan spontan melepaskan pergelangannya dari Hannah.
"I'm sorry. Aku sudah memanggilmu berulang kali tapi ka-"
"Ada apa?" tanyanya tanpa menghiraukan apapun yang dikatakan Hannah.
"Untuk yang semalam, terima kasih!" Hannah berkata dengan agak kikuk.
"Aku tidak pernah berbuat apapun padamu!" Tanpa basa-basi, Max langsung pergi meninggalkan Hannah.
Hannah menatap kaos hitam yang menutup punggung Max. Ia masih meyakini jika yang menolongnya semalam adalah Max. Max yang saat ini berada satu lorong dengannya.
Maka Hannah pun tidak menyerah.
"Jika kau ingin aku merahasiakannya, maka akan kurahasiakan, Max. Aku tau kamu pasti menyembunyikan identitas aslimu," seloroh Hannah tanpa beban yang berhasil membuat pria dingin itu berbalik badan menatap kembali pada Hannah.
Matanya birunya menggelap dan terbuka lebar, Hannah merasakan dingin di sekelilingnya.
"It's None of your business!"
*
Bersambung ...