Selama tiga hari, tabib berusaha menyembuhkan luka – luka yang ada di tubuh Rullin. Namun, Rullin selalu bersikeras tidak mau meminum obat yang diberikan oleh tabib sehingga waktu pemulihannya sangat lamban. Tabib bahkan tidak mampu membalut luka Rullin dengan benar, karena Rullin selalu mendorongnya untuk menjauh setiap kali sang tabib menyentuh tubuh Rullin.
Perilaku Rullin ini akhirnya sampai ke telinga Rhaella. Tabib bernama Valli itu mengaku tidak sanggup untuk merawat Rullin yang selalu melawan dan tak mau meminum obat racikannya.
Setelah mendengar aduan dari Valli, Rhaella langsung berkunjung ke halaman rumah b***k untuk melihat kondisi Rullin.
Valli dan Dasha berjalan di samping Rhaella, berpikir bila wanita itu pasti akan marah besar kepada Rullin karena sudah menyia – nyiakan perbuatan baik yang diberikan oleh Rhaella.
“Dia sama sekali tidak pernah meminum obatnya?” tanya Rhaella.
“Tidak, Yang Mulia. Walaupun dia meminum obatnya di hadapan hamba, b***k itu pasti akan segera memuntahkannya begitu hamba keluar dari ruangan.”
“Yang Mulia sudah bermurah hati kepadanya! Tapi bisa – bisanya b***k sialan itu bertingkah kurang ajar!” seru Dasha, berusaha memanas-manasi hati Rhaella.
Akan tetapi, wanita itu tetap bersikap tenang selayaknya embun pagi. Tidak ada ekspresi marah di wajahnya, karena dia sudah menduga bahwa Rullin pasti akan menolak pengobatannya.
“Tabib, berikan aku obatnya,” pinta Rhaella.
Valli memberikan sebuah nampan berisikan semangkuk obat seduh kepada Rhaella. Begitu mereka sampai di depan pintu ruangan Rullin. Rhaella memerintahkan Valli dan Dasha untuk meninggalkannya berdua dengan Rullin.
“Yang Mulia, walau sedang terluka, b***k itu tetap berbahaya. Saya tidak mungkin membiarkan Anda sendirian dengannya,” kata Dasha.
Rhaella, “Dia mengenakan simpai b***k. Jika dia berani menyerangku, maka aku akan mencekiknya sampai mati. Sekarang pergilah dan beritahu pelayan untuk membawa makan siangku ke ruangan Rullin.”
Dasha terkejut, “Anda ingin makan bersama b***k itu?”
“Aku harus memastikannya untuk minum obat dan tidak melepas perban begitu aku keluar. Minggu depan pertarungan gladiator akan segera dibuka, jika Rullin masih belum sembuh, aku tidak bisa mendaftarkannya untuk bertanding.”
“Anda bisa menggunakan b***k lain untuk mendaftar sebagai gladiator.”
“Tidak mau, b***k lain tidak ada yang sekuat Rullin. Aku tidak mau sampai rugi jika mendaftarkan sembarang b***k. Bulan lalu saja aku sudah rugi karena kamu membawakanku b***k yang lemah.”
Dasha menundukkan kepalanya dan langsung berkata, “Maafkan saya, Yang Mulia. Hamba ini tidak becus dalam menjalankan tugas.”
Rhaella menggerakan tangannya ke samping, “Sudahlah, tidak perlu dipikirkan. Cepat pergilah dan bawakan makan siangku.”
“Baik, Yang Mulia.”
Usai melihat kepergian Valli dan Dasha. Rhaella lantas membuka pintu ruangan untuk melihat kondisi Rullin, tetapi ia malah di hadapkan dengan cangkir yang melayang ke arah kepalanya.
Beruntung reflek Rhaella sangat bagus, sehingga dia mampu menghindar dengan mulus dari lemparan cangkir itu.
Prang!
Cangkir tersebut pecah menjadi kepingan-kepingan tajam begitu menghantam lantai. Rullin yang sedang duduk di atas tempat tidur sedikit terkejut saat melihat Rhaella yang datang alih-alih Valli. Tapi keterkejutannya berubah menjadi rasa puas karena berhasil menumpahkan sedikit kemarahannya pada anggota Keluarga Rhoxolany.
“Jika yang membuka pintu adalah tabib, dia mungkin bisa mati karena terkena lemparanmu itu,” kata Rhaella, intonasi suara wanita itu terdengar tenang, seolah tingkah Rullin merupakan sesuatu yang lumrah di matanya.
“Aku memang ingin membunuhnya.”
Rhaella menaikkan alisnya, “Atas dasar apa kamu ingin membunuhnya? Tabib itu hanya ingin mengobatimu.”
“Aku tak memerlukan belas kasih darimu,” dengus Rullin.
“Jangan terlalu percaya diri,” Rhaella berkata, “Aku tidak berbelas kasih kepadamu. Aku ingin menyembuhkan lukamu supaya kau bisa bertanding minggu depan. Secara teknis, aku hanya ingin memanfaakan kekuatanmu itu untuk mendapatkan uang.”
Rullin mendengus, “Aku tidak sudi mematuhi perintahmu. Jika ingin mendapatkan uang dari hasil judi gladiator, kenapa tidak kau lakukan sendiri!”
Rhaella tertawa, tetapi pandangan matanya menggelap. “Kenapa masih bertanya? Kau tahu betul bahwa aku hanyalah wanita pesakitan yang akan mati sebentar lagi. Jika aku bertarung di arena gladiator, mungkin aku akan mati satu bulan lagi.”
“Omong kosong, kau tidak akan mati hanya karena melawan beberapa pria kuat yang tak mempunyai sihir.”
Walau Rullin membenci Rhaella sampai ke tulangnya sekarang, dia tidak bisa memungkiri bahwa wanita itu dahulu merupakan panglima perang yang hebat.
Pertemuan terakhir Rullin dengan Rhaella sebelum kejatuhan Alcander itu adalah tiga tahun yang lalu. Kala itu, banyak bangsawan dari seluruh negara datang ke Negara Faustus untuk menghadiri pernikahan Putri Ketiga dari Raja Faustus. Ketika acara pernikahan sudah berjalan setengahnya, seorang panglima dari Negara Faustus menantang Rhaella untuk melakukan pertarungan terbuka.
Hal itu terjadi karena panglima dari Negara Faustus tidak percaya seorang wanita mempunyai kemampuan tinggi seperti yang diisukan oleh banyak negara. Rhaella awalnya menolak karena merasa tidak sopan untuk bertarung di dalam pernikahan seseorang, tetapi panglima itu tiba-tiba saja mengarahkan pedangnya ke leher Rhaella, memaksa wanita itu untuk bertarung.
Pada akhirnya, Rhaella meladeni permintaan sang panglima dan berhasil mengalahkannya dalam waktu singkat. Usai melihat kekalahan dari Panglima Faustus. Raja Faustus segera memohon maaf kepada Rhaella dan mencabut gelar panglima dari pria yang baru saja menantang Rhaella.
Oleh sebab itu, Rullin berpikir meski Rhaella tidak mampu menggunakan kekuatan spiritualnya secara maksimal, dia tentu saja tidak akan kalah melawan orang-orang yang hanya bertarung menggunakan kekuatan fisik saja.
“Lagipula hanya b***k yang diperkenankan masuk ke arena. Para bangsawan hanya boleh menonton dari kursi penonton, jadi tentu aku tidak bisa mendaftar,” kata Rhaella pada akhirnya.
Rullin mendengus dan memalingkan wajahnya begitu mendengar kata ‘b***k’ dan ‘bangsawan’. Dia masih merasa tidak sudi menjadi b***k dari seseorang.
Rhaella lantas berjalan mendekati Rullin, dia meletakkan nampan di atas meja, lalu mengarahkan mangkuk obat ke hadapan Rullin. “Cepat minum.”
“Aku tidak mau.”
Rhaella menundukkan kepalanya, menatap Rullin dengan pandangan sedikit kesal. “Kenapa tidak mau?”
“Kau bisa saja meracuni obat itu.”
Tanpa mengatakan apa – apa, Rhaella segera menenggak obat di tangannya sedikit. Rasa pahit langsung menghampiri lidahnya dan membuat kening Rhaella sedikit berkerut. Setelah meminumnya sedikit, ia segera memberikan obat itu lagi kepada Rullin. “Aku juga meminumnya. Jika ini memang racun, maka kita akan mati bersama.”
‘Wanita ini sudah gila!’ pikir Rullin.
Untuk apa dia membuktikan obat itu tidak beracun dengan meminumnya sendiri?
Rullin juga menyadari hal aneh yang lain dari Rhaella. Rullin merasa bahwa kepribadian Rhaella sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan sikap Rhaella tiga hari lalu yang menampakkan sikap pemarah dan arogan.
Sikap Rhaella yang sekarang terlihat lebih tenang dan tidak mudah marah hanya karena suatu hal yang sepele. Jika diperhatikan lebih seksama, maka Rullin seperti sedang berhadapan dengan dua orang yang berbeda.
Rhaella bahkan kini tidak marah saat Rullin tidak berbicara dengan sopan kepadanya atau memanggil Rhaella dengan panggilan ‘Yang Mulia’.
Sikap wanita itu membuat Rullin merasa terganggu. Dia malah semakin membenci Rhaella karena berpikir wanita itu mungkin ingin merencanakan sesuatu dengan bersikap muka dua seperti itu.
“Aku tidak minum dari cawan bekas orang lain.”
Begitu Rullin mengucapkan kalimat itu, pria itu berpikir bahwa pemikirannya tentang Rhaella bisa bersikap tenang adalah sesuatu yang salah.
Karena Rhaella tiba – tiba saja kembali bersikap kasar. Wanita itu mengangkat dagu Rullin ke atas, kemudian berusaha menarik rahang Rullin menggunakan ibu jarinya. Dia memaksa pria itu untuk membuka mulut, kemudian menuangkan obat yang ia pegang ke dalam mulut Rullin dengan paksa.
Cairan pahit itu langsung masuk ke dalam kerongkongan Rullin, membuat pria itu kesulitan bernapas dan langsung tersedak begitu Rhaella melepaskan cengkraman tangannya.
Karena pinggiran cawan itu lebar, sedikit obat turut membasahi wajah serta pakaian Rullin, sehingga membuat penampilan pria itu semakin berantakan.
“Aku akan melakukan cara yang sama jika aku mendengarmu tidak mau minum obat yang diberikan oleh tabib,” peringat Rhaella.
Rullin masih batuk sehingga dia tidak menanggapi perkataan Rhaella. Luka – luka yang ada di tubuhnya mulai terasa sakit karena tubuh Rullin terus berguncang karena batuk. Pria itu merasa harga dirinya telah dicoreng sedemikian rupa oleh Rhaella.
Setelah dia tidak lagi batuk, Rullin mulai menggeram marah, ia ingin bangkit dari tempat tidur, tapi Rhaella lebih dahulu menekan titik akupuntur di leher Rullin menggunakan jarinya sehingga Rullin tidak bisa bergerak sama sekali.
“Apa yang ingin kau lakukan?!” seru Rullin dengan marah. Dia berusaha keras untuk bergerak, tapi hanya bola matanya saja yang mampu bergerak dengan bebas.
“Valli berkata kalau kau selalu mendorong dia setiap kali ingin membalut lukamu. Jika aku tidak membekukan tubuhmu, kau mungkin tidak akan bisa diam,” balas Rhaella.
Napas Rullin terasa berat saat dia tidak mampu melepaskan amarahnya kepada Rhaella. Di dalam hati Rullin, dia bersumpah akan memenggal kepala Rhaella di masa depan karena sudah berani melukai harga dirinya seperti ini.
Rhaella membuka kotak obat yang berada di atas meja. Kemudian dia mengambil obat oles yang paling ampuh untuk menyembuhkan luka dalam waktu singkat. Rhaella juga mengeluarkan perban untuk membalut luka Rullin nanti.
“Obat ini sangat ampuh, tapi rasanya akan sangat perih saat terkena luka.”
“Aku tidak membutuhkan obat darimu!”
“Jangan banyak bicara dan tahan saja.”
Karena tubuh Rullin tidak bisa digerakkan, Rhaella memutuskan untuk merobek pakaian Rullin sebelum menuangkan obat tersebut ke atas luka – luka di tubuh Rullin, membuat pria itu mengerutkan keningnya akibat merasakan perih yang tak tertahankan. Meski terasa sangat menyakitkan, Rullin sama sekali tidak mengeluarkan rintihan dan menahan kesakitannya dalam diam.
Setelah menuangkan obat, Rhaella lantas meratakan obat tersebut ke permukaan kulit Rullin menggunakan jarinya. Jari Rhaella yang dingin bertabrakan dengan suhu tubuh Rullin yang juga dingin, menciptakan sensasi panas yang membuat Rullin sedikit merasakan desiran aneh.
Awalnya Rhaella meratakan obat di d**a Rullin, kemudian beralih menuju punggungnya dan terakhir di lengan Rullin. Luka – luka itu cukup panjang, beberapa ada yang melintang dari d**a hingga ke perut Rullin.
Tubuh Rullin mempunyai perawakan yang kekar. Setiap bagian tubuhnya memiliki otot yang terasa keras setiap kali Rhaella sentuh. Ketika Rhaella menundukkan kepalanya, ia mampu melihat urat nadi yang tercetak jelas di lengan Rullin. Mungkin berkat otot – ototnya yang keraslah, Rullin mampu menahan luka – luka yang menggores tubuhnya.
Tangan Rhaella bergerak menuju perut Rullin. Luka di bagian perut terlihat paling parah jika dibandingkan dengan luka di bagian lain. Luka – luka itu tampak bertumpuk satu sama lain, ada yang terlihat sudah kering dan adapula yang masih mengeluarkan darah.
Karena luka – luka tersebut melintang sampai ke pangkal paha Rullin, Rhaella berniat untuk melepaskan celana dari pria itu. Namun, gerakannya terhenti saat mendengar teriakan panik dari Rullin. “Rhaella Rhoxolany kau lancang! Lepaskan tanganmu dariku!”
Rhaella menanggapi dengan acuh. “Kenapa harus sepanik itu? Aku hanya ingin melepas celanamu, mengolesi obat di lukamu, setelah itu selesai. Sangat mudah, bukan?”
Rullin memelototi Rhaella, berpikir bila wanita ini benar – benar sudah kehilangan akalnya. “Oleskan saja obat di tubuh bagian atasku! Tidak perlu sampai melepas celanaku!”
“Memangnya kenapa? Apa bedanya luka di bagian atas dan bawah? Rullin, jangan membuatku sakit kepala.”
‘Aku bahkan lebih sakit kepala daripada kamu!” kata Rullin di dalam hatinya.
“Yang Mulia! Kau ini adalah bangsawan atas, bagaimana bisa bertingkah laku tidak senonoh seperti ini?!” seru Rullin frustasi, bahkan sampai harus menggunakan panggilan kehormatan agar Rhaella menyadari statusnya.
“Tidak senonoh? Rullin, jangan berlebihan. Aku hanya ingin mengobati lukamu, bukan menjilat kejantananmu.”
Saat mendengar perkataan tidak pantas keluar dari mulut Rhaella, Rullin segera berteriak. “Aku akan membiarkan tabib mengobati lukaku! Jadi, cepat lepaskan tanganmu dari celanaku, Yang Mulia!!”