"Ya Allah, ganteng banget. Kuwi sopo, Ti?" tanya Sari masih dengan wajah terpesona menatap sosok lelaki rupawan yang baru saja turun dari dalam mobil mewah.
Yanti yang ditanya, menjawab pun asal karena dia sama seperti Sari. Terpesona akan ketampanan sosok pria yang baru pertama kali dilihatnya. "Pangeran dari negeri dongeng sepertinya."
"Iya gantengnya blasteran Indonesia surga."
Lalu keduanya terkikik sendiri dan mulai sibuk berbenah diri melihat pria tadi malah masuk ke warung angkringan yang di sore hari seperti ini tidak seberapa ramai. Warung milik Alina akan ramai diserbu pembeli ketika jam kerja para buruh pabrik usai karena banyak di antara mereka yang akan mampir entah sekedar ngopi atau makan sekalian karena lapar.
"Selamat sore!" sapa si pria yang malah dijawab dengan kedipan mata dari dua wanita muda yang aneh tingkahnya.
"Halo, sore Mbak. Boleh saya bertanya?" Kembali pria itu berkata karena sapaan sebelumya tidak mendapatkan respon.
Sari menggeplak lengan Yanti. "Ti, mase tanya kuwi lo!"
"Eh, iya Mas mau tanya apa?"
"Itu, apa benar di sini rumahnya Bara?
Kompak Yanti dan Sari saling pandang dengan kening mengernyit heran. Jarang-jarang mendengar sebutan nama Bara di sekitar tempat tinggal mereka.
"Bara siapa ya Mas?"
Seolah teringat akan sesuatu, pria tadi lekas meralatnya. Dia lupa jika di kampung ini sosok Bara lebih dikenal dengan sebutan Yudha. Menepuk jidatnya karena baru saja ingat akan hal itu. Pria itu tersenyum cengengesan. "Maksud saya Yudha. Iya Barata Yudha."
"Oh, Mas Yudha. Iya benar di sini rumahnya."
Maklumlah karena pria tadi baru pertama kali berkunjung ke kampung ini dan tadi sempat bertanya pada orang yang dilalui apakah mengenal Yudha. Dan mereka mengatakan jika alamat Yudha adalah di warung angkringan dekat pabrik.
"Kalau begitu bisakah saya bertemu dengannya?"
"Mas Yudha sepertinya belum pulang deh Mas. Oh ya ini dengan Mas siapa? Mungkin mau bertemu dengan Mbak Alina?"
"Alina?"
"Iya istrinya Mas Yudha."
Lagi-lagi pria itu teringat akan cerita seputar pernikahan Yudha yang mendadak sekitar tiga minggu yang lalu.
"Oh iya. Bolehkah saya bertemu?"
Kebetulan dia bisa kenalan dengan istrinya Yudha. Ingin tahu seperti apa rupa wajah gadis desa yang dijodohkan dengan Barata Yudha.
"Kalau begitu tunggu sebentar saya panggil Mbak Alin. Masnya mau minum apa? Kopi, teh anget atau teh tawar?"
"Apa saja Mbak."
"Tunggu sebentar Mas." Yanti meminta pada Sari untuk membuatkan minuman sementara dia sendiri memilih masuk ke dalam rumah mencari Alina.
Pria bernama Wildan Abdullah, memutar kepala ke kiri dan ke kanan memperhatikan sekitar. Lingkungan di kampung cukup nyaman karena masih asri. Di sore hari seperti ini terasa sejuk dan dingin. Lain dengan di kota besar yang panas dan gerah.
"Abdul! Ngapain lu ada di sini?"
Kepala si pria memutar dan membulat matanya melihat kedatangan seseorang. Senyuman lebar dia berikan sembari beranjak berdiri menyambut kehadiran sosok yang dicarinya.
"Enggak ada panggilan lain apa. Kenapa harus Abdul!" protesnya tidak terima.
Namun, Yudha hanya mencebikkan bibirnya. "Harusnya elu bersyukur udah punya nama bagus begitu. Malah protes!"
"Ya jangan Abdul juga. Nama depan gue lebih keren buat dijadiin panggilan."
Yudha menarik lengan Wildan begitu menyadari jika kehadiran pemuda itu pasti akan menimbulkan masalah baru baginya.
"Elu ngapain ada di sini sih!"
"Dapat perintah dari Pak Surya buat nyariin elu lah. Apalagi memangnya. Kalau bukan karena titah bos besar, enggak mungkin juga gue mau capek-capek nyasar ke kampung yang jauhnya kebangetan."
"Ya elu kan bisa langsung datang ke rumah Kakek. Ngapain malah ke sini?"
"Mana gue tahu rumah kakek Guna. Elu nggak pernah ngasih tau."
"Eh, Mas Yudha sudah datang. Oh iya ini teh hangatnya saya letakkan di meja sini ya?"
Sari tiba-tiba nongol membuat Yudha langsung membungkam mulutnya jika tidak ingin gadis itu mendengar obrolannya dengan Wildan.
"Iya Mbak. Terima kasih," jawab Wildan memilih kembali duduk di kursinya yang tadi mengabaikan Yudha yang berdecak kesal.
Wildan tak tau saja jika Yudha harus mencari alasan jika semisal Alina dan ibunya bertanya tentang keberadaan Wildan. Dan benar saja apa yang sedang Yudha pikirkan.
Alina muncul bersama Yanti. Perempuan itu mengulas senyuman yang teramat manis untuk sang suami.
"Mas Yudha sudah pulang?"
Yudha mengangguk menghampiri Alina. "Iya barusan."
"Kata Yanti ada tamu yang nyari Mas Yudha?"
Yanti yang berdiri di belakang Alina menjawab sembari menunjuk sosok lelaki yang duduk sendirian tengah menyeruput teh hangat dari gelas.
"Itu loh Mbak, Mas-mas yang nyariin Mas Yudha."
Alina menolehkan kepalanya pada arah tunjuk Yanti. Tepat di saat Wildan juga sedang mendongak menatap pada Alina. Pria tampan itu tersenyum, menatap tak berkedip pada sosok Alina yang di matanya tampak cantik sekali.
"Itu temannya Mas Yudha?"
"Bukan." Yudha menjawab cepat.
Pun halnya dengan Wildan yang juga menjawab secara berbarengan dengan Yudha. "Iya, Mbak."
Alina kebingungan menatap bergantian pada Yudha dan Wildan.
Yudha mendelik sebal pada Wildan. Akan tetapi Wildan justru tersenyum lebar. Beranjak berdiri mendekati Alina. Mengulurkan tangan berniat untuk berkenalan.
"Saya Wildan. Teman Yudha dari kota."
"Oh, teman Mas Yudha, to. Saya Alina. Istrinya Mas Yudha." Alina menerima uluran tangan Wildan dan pria itu dengan senang hati menggenggam erat tangan wanita cantik itu.
Yudha yang melihat Wildan cengar cengir memandangi Alina dengan tatapan memuja, jelas cemburu dibuatnya. Ia pun melepas paksa tangan keduanya yang masih saling bertaut.
"Jangan menggoda istri orang."
Alina yang tersadar lekas menarik tangannya. "Eum ... Ya, sudah. Karena Mas Yudhanya sudah datang, saya tinggal ke dalam ya? Mau masak untuk makan malam. Oh ya. Mas Wildan mau nginap atau ...." Belum juga Alina menyelesaikan pertanyaannya, Yudha lekas menyela.
"Dia langsung balik kota kok."
Wildan protes. "Tega bener lu. Mana ada tenaga gue langsung balik kota lagi. Kasih gue tumpangan nginep barang sehari dua hari."
"Iya ish Mas Yudha jangan pelit gitu sama temannya. Biar saja Mas Wildannya nginap. Nanti saya bersihkan kamar tamunya." Alina malah berpihak pada Wildan.
"Eh, nggak usah. Biar dia nginap di rumah Nenek saja," putus Yudha.
"Ya sudah kalau begitu nanti Mas Wildan ikut makan malam saja di sini. Saya tinggal dulu. Silahkan kalau mau ngobrol berdua."
Dengan senyuman semanis gulali, lagi-lagi Wildan hanya mampu cengar cengir sendiri. Bisa-bisa dia terpesona pada istri temannya yang notabene adalah gadis desa.
"Aduh!" ringisan disertai dengan usapan yang Wildan lakukan pada lengannya yang terasa panas lantaran pukulan Yudha, membuatnya meringis. "Sadis lu!"
"Urusan lu di sini apa? Bukan buat godain istri gue kan?"
"Cie~ bisa juga elu cemburu."