19. Ketika Alina Bercerita

1075 Words
"Alien, bisa elo jelasin siapa wanita tadi? Kenapa terlihat sekali jika wanita tadi tidak suka banget sama elo. Kalian musuhan atau gimana? Kok, gue enggak pernah kenal sebelumnya sama itu wanita." Pertanyaan itu terlontar dari mulut Ergi. Tidak hanya Ergi, Fika pun sama penasarannya. Wanita itu juga sedang menunggu jawaban dari Alina. Alina sendiri membuang napas kasar. Menenggak minuman dingin yang baru saja Ergi berikan. "Dia adik ipar gue," jawab Alina enteng. Tentu saja hal itu mengejutkan Ergi dan Fika. Hingga keduanya menjawab bersamaan. "Apa!" "Apa?" "Iya. Dia adik perempuan satu-satunya suami gue. Dan emang sih sejak pertemuan pertama dengan dia ... udah kelihatan enggak suka ke gue." "Ya tapi bisa-bisanya dia ngatain lo kampungan lah. Nggak punya duit lah. Kok sepertinya lo dianggap miskin sekali sama dia. Padahal dia adik ipar lo. Heran gue. Bukankah lo bilang suami lo hanya buruh pabrik? Jadi yang lebih miskin siapa coba? Elo atau suami lo dan keluarganya?" Alina mengedikkan bahunya. "Ya, mungkin karena Berlian enggak tau siapa gue, Ergi!" "Hah!" "Iya. Seperti yang kalian tahu. Mas Yudha tidak ngerti apa-apa tentang karir gue. Taunya dia ... gue ini hanya gadis desa yang hidup sederhana dan pas-pasan keuangannya. Hanya mengandalkan dari hasil warung saja." "What? Parah lo! Pantes aja adik ipar lo sampai berani ngehina dan ngerendahin lo begitu. Tapi, ya. Seharusnya lo tunjukin aja tuh sebanyak apa duit lo. Kok bisa-bisanya dia malah ngira lo yang bakal ngabisin duit kakaknya. Nggak mungkin kan dia enggak tau apa kerjaan kakaknya." "Gue juga enggak paham, Fik. Ketemu Berlian baru dua kali ini setelah yang pertama ketemu saat kawinan dulu." "Jadi lo juga belum kenal baik sama keluarga suami lo?" Kepala Alina mengangguk. "Gue hanya tau keluarga nenek dan kakeknya Mas Yudha. Mereka orang pindahan juga sekitar setaun yang lalu. Pasangan suami istri pensiunan yang memilih hidup di desa. Dan Mas Yudha itu cucu mereka. Datang ke desa juga baru beberapa bulan. Kerja di pabrik tekstil dekat rumah gue. Katanya sih hanya jadi buruh pabrik biasa. Tapi kenyataannya gimana gue juga mana tau. Kan gue juga enggak pernah masuk ke dalam pabrik. Cuma ya dari gaji yang dikasih ke gue ... gue yakin seratus persen kalau Mas Yudha memang hanya karyawan biasa." "Terus lo enggak curiga saat adik ipar lo nuduh lo ngabisin duit kakaknya, seolah-olah kakaknya orang kaya yang punya banyak duit." "Ya itu gue juga bingung. Coba lah nanti aku tanya ke Mas Yudha. Kira-kira apa Mas Yudha bohong ke adiknya dan malu mengakui tentang pekerjaannya sampai Berlian enggak tahu jika gaji Mas Yudha saja hanya dua juta." "Apa, Cyn. dua juta? Itu mah cuma habis buat idup lo sehari doang!" cibir Ergi menggeleng-gelengkan kepalanya. Alina menggeplak lengan besar Ergi. "Gue enggak seboros itu ya? Asal kalian tau aja. Saat hidup di desa, gue cuma butuh ngeluarin duit seratus ribu saja buat biaya hidup sehari-hari." "Seratus ribu?" "Iya. Gue bener-bener hidup sederhana di sana sampai-sampai Mas Yudha juga cuma nganggap gue gadis desa yang kuper." "Astaga, gue jadi penasaran sama laki lo kayak apa sampai elo mau dijodohin dan dinikahin sama dia." "Meski nggak banyak duitnya, dia ganteng, Gi!" "Heran gue. Bisa-bisanya elo punya suami mokondo!" Ergi lagi-lagi mengatai. "Yang penting dia baik dan bertanggung jawab." Fika tiba-tiba menimpali. "By the way ... enak nggak punya suami ganteng?" "Enak apanya?" "Servisnya." Fika menaik-turunkan alisnya menggoda membuat pipi Alina langsung bersemu karenanya. "Elo pikir sendiri saja. Setidaknya kalau punya suami ganteng, enggak akan bosen ngeliat wajah tampannya." "Meski hanya buruh pabrik?" "Itu hanya profesi doang, Fika!" "Iya juga. Kapan lo bawa kita kenalan sama dia?" "Kapan-kapan." "Cih, pelit lo!" Alina hanya menjulurkan lidahnya. "Makan yuk! Laper gue." "Let's go!" Ajakan Alina langsung ditanggapi oleh Fika dan Ergi. ••• Di ruang kerjanya, Yudha yang sedang fokus meneliti berkas-berkas dikejutkan dengan ponselnya yang bergetar di atas meja. Pria itu sontak meraih alat komunikasinya karena kepikiran dengan Alina. Jujur, pikiran Yudha sedikit tidak tenang karena meninggalkan Alina sendirian di rumah. Tapi saat tadi dia mengirim pesan, istrinya mengatakan sedang ada di jalan ingin menemui temannya. Kening Yudha mengernyit karena yang menelpon bukanlah istrinya, tapi Berlian. "Kak Bara! Kamu di mana?" Suara melengking adiknya membuat Yudha langsung menjauhkan ponsel dari telinga. "Apa sih teriak-teriak. Bicara yang wajar saja Berlian. Telingaku tidak budeg!" gerutu Yudha memprotes sikap adiknya yang bar-bar. "Lagian Kak Bara udah balik kota malah nggak pulang. Tinggal di mana kamu sekarang Kak? Di apartemen? Sama perempuan kampungan itu?" "Berlian!" bentak Yudha memperingati karena dia tidak suka adiknya bersikap tidak sopan pada istrinya. "Kak! Harus kakak tau ya! Istri kakak yang kampungan itu sedang pergi jalan-jalan ngabisin duitmu. Sementara kamu harus kerja keras banting tulang. Apa kakak tau itu? Kelihatannya gadis kampung, tapi begitu ditinggal suaminya kerja malah kelayapan dengan pria!" Sengaja Berlian membesar-besarkan apa yang tadi dilihatnya. Jujur, ada rasa tidak percaya ketika pegawai butik mengatakan jika Alina adalah temannya Ergi. Mana mungkin seorang gadis kampung bisa berteman baik dengan seorang desainer terkenal. "Berlian. Tolong jaga bicaramu. Alina itu kakak ipar kamu. Jangan mengatainya sembarangan." "Kak! Kamu belain dia?" "Kakak hanya ingin kamu menghormati dia sebagai kakak ipar yang lebih tua dari kamu. Lagian kenapa kamu bisa tau jika Alina menghabiskan uangku dan pergi dengan pria? Kakak memang sengaja kasih dia duit buat belanja. Kamu ketemu dia memangnya?" "Iya. Dia kelayapan di butik mahal. Mending kakak cek deh berapa banyak duit yang sudah dia habiskan. Lagian ya Kak. Jangan asal percaya sama wanita kampungan begitu. Buktinya dia berani keluyuran di saat kakak sedang kerja." "Tapi Alina tadi memang sudah pamit ke kakak kalau dia mau ketemu sama teman-temannya. Sudah ya Berlian. Aku lagi sibuk. Jika tidak ada yang penting aku tutup teleponnya." Berlian yang kesal mematikan sambungan telponnya begitu saja membuat Yudha mendesah panjang. Ia pun sedikit terpengaruh dengan ucapan adiknya lalu mengirim pesan pada istrinya. [Lagi di mana? Masih di luar atau sudah pulang?] Setelah mengirim pesan tersebut pada istrinya, Yudha mengecek m-banking. Melihat mutasi di rekeningnya. Tidak ada transaksi apa-apa. Yang artinya Alina tidak menggunakan kartu yang diberikan. Lantas, kenapa bisa adiknya menuduh Alina menghabiskan uangnya. Apa mungkin Berlian tadi melihat Alina sedang berbelanja. Lalu, kenapa uang yang dia berikan masih utuh saja. Ah, memikirkannya Yudha sangat tidak tenang. Pria itu membereskan meja kerjanya. Lalu beranjak berdiri dan meninggalkan ruang kerjanya. "Wildan!" Sang asisten yang dipanggil namanya mendongak. "Iya, bos?" "Gue keluar dulu. Kalau ada apa-apa telepon saja." "Bos mau ke mana memangnya?" "Nyusul Alina!" "Dih, ada yang mulai bucin," lirih Wildan memandangi kepergian sang atasan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD