8 - Ananta

2173 Words
Setiap tanggal 20 perbulannya,maka kami akan bertemu. Bercerita apapun yang sebulan lamanya dilalui. “Anindira,muka kamu masih nyebelin kayak biasanya,” dan aku? Tentu saja membalasnya. “Dan kamu makin tidak jelas setelah menjanda.” Dan balasannya? Hanya tawa kecil sembari membuka buku menu. “Setelah mengalaminya sendiri,ternyata menjadi janda bukan masalah besar sih dalam versiku. Mungkib perempuan lain akan berbeda kali ya? Tapi kalau aku? Tidak buruk juga. Palingan yang beda hanya kebiasaan.” Aku ikut membuka buku menu,”Jadwal kita bertemu bukan untuk membahas perasaan kamu setelah menjadi janda,Anan.” Tawanya menggema membuat beberapa pengunjung restoran menatap meja kami,segera kulempar wajahnya dengan buku menu yang kupegang bukannya meredakan tawanya ia malah menjadi-jadi. Untungnya semenit kemudian dia menyerah,memesan makanan bersamaan denganku. “Sebulan ini aku focus ke anak sih,Nin. Paling mantan suami masih kejer seperti biasa,untung anakku masih kecil jadi engga terlalu paham.” Aku menatapnya serius. “Ananta,” “Ya? Kenapa?” “Seorang anak,mau dia sekecil apapun akan merasakan yang Namanya perubahan. Mungkin aku engga paham karena kamu yang mengalaminya sendiri,tapi Anan. Anak kamu akan paham seiring waktu,kamu engga takut dia akan membencimu suatu hari ini?” Ananta,Namanya hampir mirip denganku. Perempuan karier yang tumbuh bersamaku di panti asuhan,dia orangnya gigih dan tak mengenal yang Namanya menyerah. Menikah muda dan kini memilki anak berumur 4 tahun seorang putra. Sudah bercerai dengan suaminya,katanya ingin bebas dan tak terikat dengan pernikahan. Aku cukup lama bermain dengan Ananta,yang selalu identic dengan jilbab pashminanya juga pakaian kantornya. Dia suka kebebasan,ingin terbang tanpa larangan juga paksaan,kami sengaja menjadwalkan ketemu hanya sekali sebulan mengingat pekerjaan yang cukup banyak. “Aku udah mikirin resikonya kok,Nin. Mau tak mau aku harus hadepin itu tapi aku juga pengen mentingin diriku bukan kepentingan anak dong. Dia lakilaki Nin,aku yakin dia akan kuat dan percaya kalau aku mengambil ini memang yang terbaik,” aku tak percaya dengan filsofi itu. “Jangan berpatokan dengan dia adalah lakilaki,Anan. Kamu engga takut? Bukannya karena dia lakialki dendamnya malah lebih besar?” bukannya berpikir Ananta yang gila ini malah tertawa,apa dia gila setelah menggugat cerai suaminya. “Kamu lupa ya? Anak lakilaki kan biasanya dekat sama mamanya bukan papanya.” Aku menatapnya sebal,dan bersyukur makanan kami akhirnya datang. Pertama-tama sepetrti bulan-bulan sebelumnya,saat makanan datang maka kami akan sibuk dengan makanan masing-masing. Menghabiskannya hingga tak tersisa tanpa adanya pembahasan apapun atau perbincangan random. Gunanya? Untuk menghargai makanan karena aku dan Ananta pernah merasakan bagaimana susahnya mendapatkan sesuap nasi,hidup di panti asuhan tak selamanya nyaman. Mau sebanyak apapun donator aka nada momen yang membuat anak-anak bosan dan jenuh di waktu yang bersamaan. Ananta. Kami berada di sekolah yang sama juga dari panti asuhan yang sama. Berpisah saat dia akhirnya memilih menikah dengan teman SMA di usia muda,cantic dan tidak pernah meninggalkan peringkat pertama di setiap semester. Ananta adalah kesayangan semua guru disekolah selama 12 tahun lamanya. Ananta dan Anindira,seringkali orang mengira kami adalah kembar karena nama yang mirip padahal tidak. Ibu panti sengaja memberikan nama yang mirip dengan namaku padanya,karena datang dihari yang sama. “Nin,akhir-akhir ini aku sibuk banget. Mana bos kayaknya suka banget ngasi kerjaan biar lembur. Anak aku tiap pagi merengek engga mau ditinggal.” Aku menatapnya aneh,”An,kamu kepikiran bawa dia ke panti? Yakin?” Dia membalasku dengan tatapan tajamnya,”gila aja,Nin. Aku tau bagaimana kehidupan di panti asuhan. Aku mana mungkin biarin anak aku menjalani kehidupan kayak gitu,cukup mamanya jangan dia.” Tolaknya. Di panti,kehidupannya sangat bagus,nyaman dan fasilitasnya memadai. Tapi aku dan Ananta tidak nyaman dengan kehidupan menonton dimana selalu bersikap baik pada orang-orang naif. Mereka sengaja bersikap baik dan menjadi donator tetap demi mendapatkan perhatian masyarakat sekitar,sangat memuakkan. “Kamu nyaman di kantor itu?” “Nyaman kok,Nin. Gajiku lumayan banget. Kemarin aku udah DP rumah dan mewah nanti aku kirimin alamatnya supaya kalau kamu butuh pelarian atau tempat sembunyi lari aja kesana. Kamu kan masih dikejar sama Alga-Alga itu kan? Nah kalau enek lari aja kerumahku.” Mataku mengerjap beberapa kali,”Bisa dipertimbangkan.” “Aku jadi manager keuangan,agak beresiko sih takutnya malah dikira penggelapan dana apalagi ada beberapa dewan direksi yang gila pada uang. Untungnya ya,aku punya tim yang engga gila sama uang. Mau berapa ikat uang merah didepannya mereka engga heboh.” Kupandang Ananta,ya ini memang keputusan terbaiknya. Tujuan kami bertemu setiap bulannya hanyalah membahas pekerjaan yang tidak bisa dibahas dengan orang lain,kami sama-sama terbuka dan hanya kami berdua yang tau faktanya. “Kemarin Nin,ada karyawan yang mau gelapin uang untungnya aku dengan sigap menemukan kesalahan dalam pelaporan uangnya. Awalnya dia mau sogok aku,satu miliyar. Siapa yang tidak tergiur? Tapi balik lagi. Aku tidak tergiur dengan uang,” aku mengangguk beberapa kali, Mantan suami Ananta itu orang kaya,melihat uang banyak sudah ia rasakam sejak muda. Mau sebanyak apapun uang yang orang tawarkan dia tidak akan mau. “Aku sempat ketemu privasi dengan bos besar,awalnya dia engga percaya katanya aku sengaja. Iyasih susah percaya kan aku baru masuk setengah tahunan ini sedang karyawan itu lama banget. Tapi setelah kupaparkan buktinya dia keliatan kecewa banget. Dalam hati aku cuman bilang mampos.” Aku ikut tertawa,benar-benar tertawa. “Pantas aja manager keuangan sebelumnya memundurkan diri,bosnya aja engga percayaan. Masa lebih percaya sama anak buahnya daripada managernya,aneh kan?” Aku menopang dagu,”Ananta,kalau dari sisi kepercayaan itu engga pandang status tapi berapa lama mereka saling kenal. Tapi memang sih,beberapa orang mau kenalan berapa lama tetap aja main rahasian tapi aku percaya dengan satu filsofi.” Ananta menunggu, “Kepercayaan seseorang tidak akan pernah abadi,” “Kenapa begitu? Terus apa kabar dengan mereka yang sudah menikah puluh tahunan?” “Iyasih,ada yang saling percaya bahkan sampai punya cicit sekalian. Tapi kamu engga liat? Tetap aja ada fase pertengkaran dipicu dari kepercayaan yang mulai memudar atau kebohongannya makin diluar nalar. Tapi Ananta…” “Tapi?” “Mereka berhasil memperbaikinya dengan sama-sama memberikan ruang berbicara,sama-sama mendengarkan setiap sisinya bukan hanya satu sisi. Itu yang Namanya keberhasilan dalam rumah tangga alias pernikahan. Bukan cuman modal gossip terus minta cerai,aneh kan?” “Kalau engga aneh,bukan pernikahan Namanya Nin.” Aku mengangguk,iya juga sih. Pernikahan itu aneh dan akan selalu aneh. Ada ya Namanya berpisah baik-baik seperti yang Ananta lakukan? Tapi kalau memang berpisah baik-baik lalu kenapa mantan suaminya masih mengejarnya sampai sekarang,terus meminta kembali. “Mikirin apa kamu?” “Mantan suami kamu,kalau memang kalian berpisah secara baik-baik terus kenapa dia masih mengejar?” dan Ananta tertawa dengan kerasnya membuatku harus melemparnya dengan tissue,sangat memalukan sekali. “Ananta.” Tegurku saat Tawanya tak juga mereda. Ananta tipikal orang yang dekat dengan agama,buktinya dia memakai jilbab sejak masuk sekolah. Alasannya sangat sederhana dan masih kupikirkan hingga sekarang. Ini adalah tanda terimakasihku pada Allah karena dia mau membawaku bertemu denganmu. Aneh kan? Sejak dulu Ananta memang selalu aneh tapi yang lebih aneh adalah aku karena satu-satunya anak panti yang kuterima adalah Ananta saja. banyak yang dekat tapi tidak sedekat aku dan Ananta,entah kenapa Bersama Ananta adalah kenyamanan. “Sekarang giliranmu,kerjaan gimana? Sempat liat di medsos sih sama pembicaraan karyawan magang di kantor. Kabar angina katanya penulis ombak akan menjadikan cerita pendeknya film. Benar ya?” aku mengangguk. “Akan dijadikan film dan sutradaranya masih sama,Pak Viktor. Skiripnya masih dalam proses cuman aku udah iyain. Tapi akhir-akhir ini banyak karya yang aku revisi dan sangat menyebalkan sekali. Istirahatku baru berapa hari tapi lanjut lagi.” “Tau engga Nin,Ada anak magang yang pengen ketemu langsung sama kamu terus aku cek tanggal dan bentar lagi ketemu kamu kan?” aku mengangguk,”Nah,aku bilang sama dia aku bisa mempertemukan dia sama penulis ombak terus dia malah ketawain aku. Katanya jangan bercanda.” Aku memasang wajah bingung, “Kenapa? Kenapa engga percaya?” tanyaku “Katanya yang dekat sama penulis ombak hanyalah editornya sama Alga. Terus aku bilang,aku dekat juga. Anak magangnya engga mau percaya Nin,Minta liatin foto kamu sam aku tapi aku engga punya. Nyimpen foto buat apaan coba?” Mataku mengerjap beberapa kali,”Memangnya aku sepenting apasih? Kenapa dia tidak percaya?” Ananta berdiri dan duduk di kursi sampingku,”Aku sengaja kasi tau dia kalau kamu ketemu aku hari ini,sejak tadi dia duduk tak jauh dari kita. Hahaha,aku yakin setelah ini dia akan nempel terus sama aku karena tau kita dekat.” Aku menatap Ananta,tawanya tulus sekali. Ananta kembali duduk ditempatnya,”Project novelku sekarang engga jauh dari cinta-cintaan sih,cuman ini agak beda. Untuk filmnya masih lama,cast pemainnya aja belum aku tau sama sekali katanya nanti ada jadwalnya sendiri. Terus kemarin,aku sempat tanda tangan buku quote tentang pantai.” “Pantai?” “Iya pantai,bagus kan?” “Kamu tidak merasa ini ada yang janggal? Kok bisa ada pihak penerbit yang mau menjadikan pantai sebagai tema? Ini quote Nin,pasarnya engga seramai n****+. Terus mereka kok kayak percaya diri banget kalau akan booming?” aku berpikir keras,iya juga ya? Kenapa aku tidak berpikir kesana? Kukibaskan tanganku ke udara pertanda jangan kepikiran. “Tapi kamu tidak kepi-“ “Jangan dibahas,Ananta.” Ananta langsung diam dan tertawa,dia adalah orang periang dan gampang bergaul dengan orang sekitar. Jika ada yang melihatnya mereka akan kurang percaya dengan kenyataan bahwasanya Ananta adalah seorang janda satu anak. Umurnya sama denganku,25 tahun. “Anindira,” dan aku tau,saat Ananta mengatakan namaku dengan lengkap maka perbincangannya akan mulai serius. “Kamu tidak ada niatan menerima Alga? Mencari pasangan?” aku menopang dagu menatapnya. “Maksud aku,kamu kan sudah lama sendiri sejak dulu malahan. Pasangan penting Nin,kamu harus punya tempat pulang yang nyaman dan tetap.” “Pantai adalah tempat pulang aku yang paling nyaman dan tetap,Ananta.” Kusebutkan Namanya dengan lengkap membuat Ananta menghela napas. “Memangnya kenapa kalau hidup tanpa pasangan? Banyak orang diluar sana yang bisa hidup demikian.” Ananta menatapku dengan sorot kesedihannya,”Nin,kamu jangan berpatokan kesana.” “Kamu jangan negur aku,rumah tangga kamu aja gagal Ananta.” Dia tertawa miris, “Nin,aku yang mau mengusaikan bukan mantan suamiku yang menuntut,perbedaannya jauh dengan apa yang kamu jadikan patokan. Aku yang mau bebas,Nin.” Aku menatapnya serius hingga mata kami saling menatap lama. “Maka dari itu aku pengen bebas kayak kamu bukan terikat,udah ya jangan dibahas lagi.” Ananta menunduk,aku bisa mendengar helaan napasnya berkali-kali. Aku hanya tidak ingin menjadi beban seseorang kok,lagian benar kan? Menikah dan mempunyai pasangan bukanlah masalah besar dalam hidup. “Tapi kamu kesepian Nin,kamu akan merasa hampa.” “Ananta,itu memang kehidupanku sejak dulu. Pasangan bukan jawaban atas kesepian seseorang,banyak orang sudah memilki pasangan tapi mereka tetap merasakan kesepian. Udah ya Ananta,aku tau kamu khawatir tapi kamu tau bagaimana keras kepalanya aku.” Mata kami bertemu kembali,”oke,bulan depan akan kubahas lagi.” Ananta dan Ananta. Dia adalah tipikal orang yang tidak akan menyerah dalam merayuku untuk memilih pasangan hidup,menurutnya gagalnya rumah tangganya tidak ada hubungannya dengan keinginanku yang tak mau menikah seumur hidupku. Ya,memang benar. Memang tidak ada hubungannya sama sekali tapi dengan gagalnya rumah tangga Ananta membuatku semakin yakin tidak ada hubungan antar manusia yang berjalan abadi,jika tak dijemput dengan kematian maka akan dipisahkan dengan obsesi tiap pasangan. Aku kadang berpikir bagaimana masa tuaku nanti,siapa yang akan merawat seorang Anindira sedangkan dia memutuskan tidak akan mempunyai pasangan? Alga mana mungkin mau merawatku selama itu bukan? “Nin,anak aku bentar lagi masuk TK.” Ya,pembahasan kami tentang keputusanku hanya sampai disana saja. “Mau dimasukin kemana? TK yang agamanya dominan gitu ya? Yang memang belajar dasar-dasar agama 70% sedang umum hanya 30%. Gitu?” Ananta dengan cepat mengangguk,salah satu obsesinya adalah menginginkan anaknya menjadi pemuka agama,mengarahkannya kearah yang benar. “Mantan suami kamu setuju?” “Nin,Bercerai aja dia setuju lalu apa kabar dengan keputusan anak? Anak sepenuhnya milik aku jadi semuanya mengikuti keinginan aku.” “Anak kamu memang maunya kesana,Ananta? Bagaimana kalau sejak awal ini bukan keinginannya? Bukannya aku tidak suka anak kamu belajar agama tapi aku tau bagaimana jadinya seorang anak jika sejak kecil sudah dipaksa.” Ananta menatapku.”Dia akan menjadi membangkang karena itu bukan keinginanya? Melainkan cita-cita ibunya yang dibebankan pada anaknya. Jangan jadikan anak kamu alat,Ananta. Kamu masih bisa mencapai mimpimu,cukup dia yang berkorban harus tumbuh tanpa orangtua yang lengkap. Jangan menambahkannya lagi,” lanjutku, “Tapi Nin,agama tidak ada tandingannya.” “Ananta,aku tidak mengatakan jangan membawanya ke sekolah agama. Tapi kasi tau anak kamu,beritahu dia sedini mungkin dan ajarkan nilai-nilai yang kamu tau,jadilah guru pertamanya lalu bisa membawanya ke guru kedua,ketiga,keempat dan seterusnya.” Ananta memandangku dengan tatapan harunya. “Buat anak kamu yakin,belajar agama adalah mimpinya sejak awal bukan sekedar keinginan kamu semata. Saat seorang anak tau apa yang dia mau,Ananta. Kamu sendiri akan tercengang dengan obsesinya itu.” Dia kembali berpindah tempat dan memelukku dengan sangat erat. Aku tidak membalas pelukannya atau mungkin mengatakan sesuatu,ini adalah pelukan sepihak. Tapi Ananta sangat mengerti aku dan dia tidak akan keberatan dengan apa yang aku lakukan sekarang ini. “Jangan tinggal di sana,Nin.” Aku dengan cepat melepaskan pelukannya,”Aku akan menganggap kamu tidak mengatakan apapun,Ananta.” Ujarku dengan cepat dan Ananta tertegun. Kudengar gumamannya meminta maaf tapi tidak kupedulikan. Kupilih membahas ceritaku yang akan di filmkan nantinya. Anindira dan Ananta tak mempunyai rahasia apapun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD