11 - Pertemuan Mendadak

2295 Words
“Saya rasa kesuksesan film yang ini akan sama dengan film beberapa bulan yang lalu,siapa yang tidak akan berempati pada perempuan buta?” Rencana yang tadinya ingin membeli bahan makanan malah tertunda karena bertemu dengan orang ini,entah bagaimana caranya bisa berada di depan supermarket sampai menarikku kedalam restoran termasuk khusus kalangan atas. Sejak masuk mata mereka sesekali memandangku, mungkin agak heran mengapa seorang Anindira berpenampilan tidak biasanya. Hanya memakai daster polos berwarna coklat tua serta rambut gerai lurus dihiasi jedai kecil dibelakang sana. Tidak papa sebenarnya,Anindira jarang memperhatikan sekitar. “Benarkah? Anda sepertinya sangat yakin,Pak Viktor?” aku hampir lupa dia memulai pembicaraan tadi. Didepanku,ayah dari Alga sekaligus sutradara film ini tertawa,”Hahah.Feeling.” Feeling ya? Tapi ada beberapa tebakan seseorang yang mengikutinya malah salah besar. Mereka harus menanggung malu karena banyak berkoar padahal ujungnya m******t ludahnya sendiri. Aku menghela napas pelan,otakku makin tidak beres didalam sana. “Dimana pertemuan selanjutnya akan diadakan?” menunduk memperhatikan tanggal di ponsel. Tanggal 20 bulan kedua tahun ini,tepatnya hari jumat dimana seharusnya aku mengitari supermarket memilah mana yang harus kubeli. “Kamu tak suka keramaian kan? Bagaimana dengan vila? Akan ada para cast. Dimana ini diadakan secara tertutup agar tidak ketahuan media. Kalau tidak ingat,saya punya tempat yang bagus.” “Tempat bagus dalam artian?” “View-nya. Kamu akan sangat suka dan tidak menyesal kesana. Saya akan membahas lokasi ini dengan Bu Jena memastikan kalian berdua akan datang,” dia menyeruput kopi hitamnya,”Bagaimana? Setuju?” lanjutnya setelah menyimpan cangkirnya. “Anda sangat yakin kalau saya tertarik,Pak Viktor. Pertemuan kita sebelumnya beberapa bulan lalu malah membuat mood saya sangat kesal karena anda memilih tempat dimana sangat memuakkan. Cast yang anda pilih malah merendahkanku,” “Hahaha,itu karena dia tidak tau kamu penulisnya. Dia menganggapmu pelayan restorannya,tapi setelah dipikir kembali. Kamuj tidak berminat mengubah fashionmu,Anindira? Maksud saya kearah yang berkelas? Penulis terkenal dan sukses sepertimu mudah sekali membeli pakaian.” Aku berdecak kesal,sikapku yang begini sudah Pak Viktor hapal. Malahan dia akan kebingungan saat menemukanku kalem atau tidak mendesis kesal saat bertemu dengannya. “Saya tidak mau mengikuti zaman yang menggila,saya mempunyai dunia sendiri.” Terlihat dia mengangguk,sampai sekarang beberapa pengunjung masih memusatkan perhatiannya pada meja kami. Apa yang salah dengan baju terusan polos setengah lengan ini? Aku suka. Ada apa dengan rambutku yang tergerai bebas dihiasi jedai sebagai penopangnya? Apakah restoran mahal akan selalu identic dengan perempuan bergaun mencolok dan pria berjas? “Kamu sedikit terganggu dengan mereka?” “Bukan sedikit,banyak.” Dia tertawa lagi,anak sama bapa sama saja. suka tertawa saat berada di sekelilingku padahal aku bukanlah pelawak. Tapi seorang penulis romansa yang sangat disukai remaja karena ada beberapa yang sesuai dengan kisah mereka. “Kita bertemu lagi hari rabu nanti.” Dengan refleks aku menatap tanggal yang sejak tadi kubuka di ponselku. “Jadi lima hari lagi ya? Tanggal 25 berarti. Rabu kan ya?” mendongak menatapnya dan dia mengangguk. Pak Viktor termasuk sutradara gila juga pemilik entertainment gila yang pernah kukenal. Dia tidak akan berhenti mengejarku sebelum mendapatkan kontrak persetujuan pembuatan film atas semua karyaku. Diaa sangat menggilai semua karya yang kubuat selama menjadi penulis. “Saya hanya tidak ingin menyia-nyiakan sesuatu yang harusnya saya perkenalkan di khayalak ramai.” Ujarnya kala itu. “Iya hari rabu,kamu setuju dengan pertemuan Bersama cast kan? Aku memandangnya malas,”Anda mau saya mengatakan tidak?” dia menggeleng pertanda sudah tau jawabannya tapi bertanya juga. “Kamu tidak perlu khawatir,saya sudah memperkenalkan sosok kamu dan fotomu juga. Kamu sangat tertutup selama ini padahal kamu cantic,Anindira.” Dan seorang Anindira tidak pernah terusik dengan pujian cantic yang orang-orang berikan. Cantic hanyalah kata,buka jati diri seorang perempuan. Hanya kata kiasan yang sangat orang agungkan dan tidak penting sama sekali. Banyak disalah gunakan oleh sekelompok orang yang sangat tidak tau bercermin dengan benar. “Mereka sangat antusias,katanya suka dengan semua karya penulis Ombak.” Balasanku hanya gumaman malas tak jelas. Antusias ya? Jika mereka demikian maka mereka tidak akan terpilih bukan? Dan otomatis tidak bekerja kan? Beberapa artis di dunia memang suka demikian. Untungnya hanya beberapa. Karena dominan yang kukenal sangat ramah dan murni. Hanya sekitaran 10% saja sebenarnya yang penuh kepalsuan,tapi memikirkannya saja sudah membuat kepalaku mau pecah saja. “Lupakan tentang cast yang malah membuat moodmu rusak. Alga baik-baik saja kan?” oh masih ingat anak ternyata. “Ya gitulah.” Jawabku seadanya,tak lupa tersenyum tipis demi menghargainya. “Kamu coba jalan-jalan ke studio Alga. Siapa tau bisa membuat perempuan atau model disana kecewa. Saya bisa membayangkan bagaimana ekspresi wajah kecewa mereka saat Alga menyambutmu dengan senyuman manisnya dan mendadak menjadi patuh hanya Anindira,yang bisa melakukannya.”saran yang buruk,dunia Alga penuh beban. Aku jengah,”Malas,Pak.” Responku enggan. “Hahaha,bahagia juga bisa ketemu kamu,Anin.” Kugaruk pelipisku sekilas,jangan sampai orang berpikir aku dan Pak Viktor sedang ngedate mengingat kami bertemu hanya berdua. Tanpa ada orang lain berstatus bekerja. “Engga kok,tapi andanya yang terlalu serius menjalani hidup makanya jarang tertawa atau merasakan yang Namanya happy. Bagaimana kalau anda yang mengunjungi Alga?” kukembalikan sarannya yang tadi. “Kenapa kamu tidak ingin kesana? Kalian bertengkar?” aku refleks tertawa,bertengkar? Sejak kapan Alga meladeni sikapku yang menyebalkan? Alga tidak bisa meninggalkan seorang Anindira. Setelah memasang wajah biasa kembali,”Engga juga. Pagi tadi Alga anterin makanan.” Balasku,sekitar tiga hari lalu setelah debat kecil. Malamnya dia meneleponku dan meminta maaf. “Maaf Nin,aku kadang lepas kendali tiap bahas perasaan. Aku tau kamu engga marah atau bahkan terusik cuman akunya yang merasa bersalah. Tetap kayak biasanya Nin,aku tau bagaimana system yang kamu suka kok.”  Permintaan Maaf yang cukup mainstream juga sih. “Kamu belum pernah melihat Alga mode serius?” “Engga tertarik,Pak.” Dan seperti biasa,Pak Viktor akan tertawa lagi. Alga dalam mode seriusnya? Aku pernah melihatnya. Sangat berbanding terbalik saat berada di sekelilingku. Dia akan berubah menjadi lakilaki hangat penuh cinta sedang saat aku tidak ada? Aku tidak akan menjelaskan karena hanya akan menjadi beban. Itupun tak sengaja karena aku terpaksa menemuinya di Kawasan kerjanya,lumayan perbedaannya,80%. Tapi semua lakilaki kan memang begini,mereka akan memperlakukan orang yang dicintainya dengan sangat lembut. Sudahlah,aku malas memikirkan dunia Alga yang banyak itu. “Kamu memang terobsesi dengan diri sendiri,Anindira.” Mataku mengerjap sekali,obsesi ya? “Bukan terobsesi dengan diri sendiri,Pak. Tapi memperlihatkan bahwa tidak ada yang lebih penting dari kenyamanan dan ketentraman hidup.” Balasku santai,memperbaiki jedai yang ada dirambutku karena hampir saja jatuh. Akan sangat aneh rasanya saat jedai itu malah menggelinding di lantai restoran mahal ini,orang-orang akan memandangku aneh. Dimana-mana perempuan akan memakai perhiasan dan miliknya itu yang jatuh. Sedang Anindira? Malah menunduk memungut jedai? Harga lima ribuan itu? Aku menggeleng,otakku makin tidak beres disini. “Apa hubungannya dengan memintamu mendatangi Alga?” kenapa Pak Viktor mendadak jadi wartawan haus akan berita? “Ya,siapan tau ada sesuatu terjadi disana. Dan itu berarti menganggu kenyamanan yang selama ini kunikmati. Kenyamanan adalah yang utama bagiku,anda tau itu Pak Viktor.” Dia menggeleng menatapku dengan pandangan tak percayanya. “Kamu harus mencoba keluar dari sana,bukan bertahan.” Kupasang wajahku dalam mode serius,”Saya tidak mau,Pak.” “Hmm okay,itu hak kamu.” Balasnya tenang,dia baru saja akan membuka mulutnya tapi deringan ponselnya mendahuluinya meminta perhatian segera. Selagi Pak Viktor berbincang,aku memandang sekeliling dalam satu sapuan dan sangat cepat,beberapa dari mereka malah mengarahkan kameranya kemari. Apa yang menarik dari Anindira sebenarnya? Aku hanya seorang penulis biasa yang suka menyendiri padahal harusnya membuat meet and great dengan pembacaku,aku harusnya berbincang dengan mereka bukannya sibuk update saja. kuhela napas pelan,ayolah Anindira. Kenapa kamu semakin ngenes? “Maafkan saya,Anin. Mendadak ada panggilan padahal bentar lagi waktu shalat jumat. Semoga harimu menyenangkan sampai rabu nanti.” “Anda juga,Pak Viktor.” Kami saling berjabat tangan. Tak lupa membayar pesanan dan pergi,aku masih duduk ditempatku sejenak. “Kudengar dari yang lain kamu tidak keluar,kenapa? Tidak biasanya Anindira melewatkan nasi kuning kesukaannya.” “Rasanya aneh jika bukan kamu yang membelikan.” “Hahaha,kamu memang Dira-ku.” Kuambil tas selempangku dan segera keluar dari restoran,mobilku masih terparkir di seberang sana tak jauh dari supermarket. Dengan cepat aku menyebrang,beberapa pengendara menatapku kesal tapi tak kuhiraukan. Akan lebih baik masuk kedalam dan berbelanja. Mengambil troli mulai memilah apa saja yang akan Anindira beli kali ini,bulan kemarin menunya tak jauh dari sayur maka kali ini aku akan berusaha membeli bumbu instan. Hidup juga butuh keseimbangan bukan hanya tertuju pada makanan sehat bukan? Jarak supermarket ini dengan rumahku sangatlah dekat hanya 500m akan tetapi karena ada belanja bulanan maka membutuhkan mobil yang biasanya tinggal di garasi. Anindira pamdai mengendara hanya saja malas yang mendominasi,aku saja kadang tak habis pikir dengan malasku yang luar biasa ini. Bumbu nasi goreng,tempe,sup,tepung bakwan. Mari memilih yang instan setelah sebulan hidup dengan sangat sehat melebihi kaum diet diluar sana. “Anin!” aku tertawa dalam hati,kenapa dimana-mana orang selalu mengenalku? “Aku tidak tau kalau kamu keluar belanja juga,andai aku tau. Nebeng sama kamu aja.” Aku lupa Namanya,tapi dia termasuk seumuranku tapi sudah menikah. Sekarang sedang mengandung. Kalau tidak salah ingat,rumahnya dekat dengan rumahku. Sering bertemu denganku tiap pagi di taman kalau ada kesempatan. Aku hanya tidak bisa menghapal nama mereka satu persatu hanya mengingat wajahnya. Hanya wajahnya. Kuambil dua botol saos pedas memasukkannya kedalam troli. “Suamiku sampai mengomel,katanya seharusnya kami memakai jasa pembantu.” Dia mulai curhat,aku sangat membenci mengetahui kisah orang lain tapi ada saja momen yang membuatku harus tau. “Menurutmu bagaimana,Nin?” tanganku yang tadinya ingin mengambil indomie terhenti,jangan dulu. Indomie? Aku sudah memakan indomie bulan lalu dan sangat banyak. Kalau bulan ini terus berlanjut maka jerawatku akan naik satu persatu. Aku menggeleng,bodoamat. Indomie adalah makanan instan yang tidak boleh dilewatkan. Kuambil beberapa,10 bungkus rasa soto. “Jangan ya?” suara itu? Saking sibuknya memikirkan indomie aku lupa dengan curhatan ibu hamil ini. “Apa pertanyaanmu tadi?” tanyaku,memandangnya. “Hahah kamu tidak mendengarku? Pantes. Malahan aneh sih kalau kamu mendengar apa yang kukatakan. Kamu ingat namaku aja pasti engga kan? Terserah deh. Nama kadang dijadikan motif jahat,yang penting ingat wajah aja.” Kuhela napasku,kapan dia mengulang pertanyaannya? “Bosan banget itu muka. Aku tanya,menurut kamu… Aku ambil pembantu engga?” oh soal pembantu. “Usia kehamilanmu berapa?” “Jalan enam bulan,Nin.” “Ambil aja,uang kalian memadai. Rumah kalian lumayan.” “Thankyou,Nin. Lanjut gih,aku mau kesebelah sana.” Dia menunjuk rak perlengkapan bumbu dapur,segera meninggalkanku. Aku menghela napas lega,segera ku selesaikan acara belanjaku dengan antri Panjang di kasir. Sekitaran 20 menitan,aku baru keluar dari supermarket dengan menenteng dua kantong besar. Seingatku,hanya beli beberapa tapi kenapa jadi sebanyak ini? Segera menekan tombol di kunci mobil dan memasukkan semua belanjaan ini di jok belakang. Setelahnya duduk dibalik kemudi,berpikir keras. Biasanya Alga tertidur di studionya dan pernah sekali meninggalkan shalat jumat karena tidak ada yang membangunkannya. Itu adalah ceritanya 3 tahunan yang lalu. Setelah lama berpikir,akhirnya aku memutuskan mengunjunginya. Siapa tau Alga benar-benar tertidur dan malah melupakan kewajibannya sebagai pria muslim. Dengan tenang,ku lajukan mobilku menuju studio fotonya yang jaraknya lumayan jauh. Sesampainya di Kawasan studi fotonya,aku kembali berpikir keras. Apa aku kembali saja ya? Tapi kan sudah capek-capek kemari. Sangat bukan Anindira sekali bukan? Dengan gerakan malas,kuambil tas selempangku dan keluar. “Saya sudah mengatakan ribuan kali,jangan ceroboh! Kalian gila hah!” mataku mengerjap,memandang beberapa staf yang berbaris rapi didalam sana dan Alga yang memunggungiku. Ada satu orang yang mengenalku,segera kunaikkan tanganku memintanya diam. “Kalian pikir saya orang bodoh tidak melihat apa yang terjadi? Kalian memperlakukan klien dengan tidak benar?” merasa bosan,ku sandarkan punggungku di tembok. Memandang staff yang dimarahi dan dibentak abis-abisan. Suhu ruangan terasa dingin sekali. “KALIAN MENDENGARKAN SAYA?” beberapa staff tersentak,aku tertawa dalam hati. “Hubungi mereka dan minta maaf secepat mungkin. Mau mereka tidak sopan sekalipun saya membenci adanya hal seperti tadi. Minta maaf dengan berkelas bukan bersujud memohon ataupun mengemis maaf. Mengenai ketidaksopanan mereka biar aku yang mengurusnya,Kalian mengerti?” taka da sahutan. “KALIAN MENGERTI?” dari belakang,aku bisa melihat bagaimana emosinya Alga sekarang. “Mengerti,Pak.” Jawab staff serempak. “Bubar.” Dan mereka tentu dengan senang hati membubarkan diri,melewatiku dengan sekali pandangan lalu mereka. Staff yang mengenalku pun tak menyapa. Mereka ingin cepat-cepat pergi dari tempat gila ini. Alga membenci kegagalan. Menunggu semua staff keluar,barulah aku mendekat tanpa takut sama sekali. Dengan pelan aku mendekatinya dan berdiri memandangnya. Raut tak percaya terpancar jelas dari matanya saat mata kami bertemu,dalam sepersekian detik wajahnya berubah menjadi hangat. “Nin?” serunya tak percaya. Aku tersenyum,memberikan vitamin padanya. Tapi hanya beberapa saat setelahnya menjadi biasa saja,aku memilih menatap sekitar yang sepi. “Kapan sampai? Kenapa tidak memintaku menjemputmu? Aku senang kamu kemari.” Mendadak dia berubah menjadi Alga yang sangat mencintaiku. “Mereka salah apa?” kepoku,baru kali ini aku ingin tau. “Jangan membahasnya,mereka salah. Aku tau seorang Anindira paham bagaimana aku saat bekerja bukan?” aku mengangguk mengiyakan,Alga tak pernah menyembunyikan apapun dariku. “Kamu tidak terduga,Anindira.” Cekrek. Aku memandangnya cepat,suara kamera yang berbunyi membuatku kesal. Sejak kapan kamera itu ada di tangannya? Bukannya ruangannya ada didalam sana? Alga. “Merindukanku?” “Dalam mimpimu.” Dia tertawa di belakang sana,memeriksa hasil jepretannya, “Lalu? Atau tertarik dengan duniaku? Kamu tau kan,Nin? Saat kamu memutuskan masuk maka aku tidak akan pernah melepaskanmu.” Aku memandangnya aneh dan dia tertawa lagi. “Pak Viktor mengira aku tak tau bagaimana dinginnya kamu saat bekerja,Alga.” Dia mendekat,menyandarakan tubuhnya pada meja staff. “Papa tidak tau,4 tahun bukan waktu singkat. Aku ingat satu hal,jangan bilang kamu kemari mengingat cerita lamaku?” aku tak menjawab dan dia tertawa dengan keras. Sangat berbeda dengan yang tadi,dia Es yang telah mencair sejak pertama melihatku bertahun-tahun silang. Dia es yang berubah hangat hanya saat bersamaku saja,hanya bersamaku atau ada aku di sekelilingnya. Tanpa aku disampingnya ataupun jangkuan matanya,maka dia adalah es yang sangat dingin,sangat dan sangat dingin. Dan dia adalah Alga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD