12 - Bersantai Bersama

2136 Words
Awali weekend-mu dengan menatap pantai yang sangat indah dan menenangkan jiwa. Ditemani celotehan Chika yang sangat menggemaskan juga beberapa anak kecil yang mulai memenuhi pinggiran pantai. Sabtu terkadang menjadi momen paling meriah untuk pantai ini. Selalu ditunggu oleh para penjual agar bisa mendapatkan keuntungan yang sangat banyak. “Kakak Anin lapar?” menoleh menatapnya,ditangannya terdapat sepotong roti. “Tidak,makan saja.” balasku ramah. Walaupun aku membenci berinterakasi dengan orang-orang tapi anak kecil adalah pengecualian. Chika hanya membulatkan bibirnya tanda mengerti dan pergi meninggalkan meja kami,tinggalah aku dan Mba Jena yang sejak tadi membaca lembaran-lembaran kertas berisi kontrak Bersama penerbit. Setelah hampir lima menit menunggu,akhirnya Mba Jena menatapku juga. “Ini adalah nama-nama cast film nanti,kamu setuju?” ku intip sedikit,”gimana?” lanjutnya. “Menurut Mba,mereka sesuai dengan karakter ceritaku? Aku tidak pernah mnegandalkan ketenaran mereka tetapi totaliatas juga karakter mereka yang mendekati tokoh-tokoh ciptaanku. Mau di artis baru sekalipun aku akan tetap memilihnya asal sesuai dengan apa yang aku inginkan,” Panjang lebar aku mengatakannya, “Tokoh utamanya udah sesuai,perempuan buta kurasa sangat cocok di perankan oleh Kasadra. Kamu kenal dia kan? Dia lemah lembut dan mempunyai pemikiran terbuka.” Kuanggukkan kepalaku sekali,aku pernah melihatnya di wawancarai saat menjadi bintang tamu. “Memang tidak terlalu dikenal sih,tapi Pak Viktor tau kamu gimana. Kamu akan menolak persetujuan andaikan Pak Viktor hanya mengandalkan betapa terkenalnya mereka. Jadi saya anggap kamu setuju dengan semua cast ini kan?” mengangguk lagi,dia pun menyodorkan berkas itu padaku. “Apaan?” heranku, “Tanda tangan,Nin. Biar pas pertemuan rabu nanti engga bahas kontrak. Tapi cukup kamu jelasin bagaimana karakter khayalan kamu itu. Mereka perlu mendalami sebelum pembuatan film.” Kuterima pulpen yang Mba Jena sodorkan dan membubuhkan tanda tangan dimana telunjuknya berada,selesai. Sesekali dalam keadaan melamun Panjang,aku berpikir seperti ini. Aku tidak percaya ada karyaku yang bisa dijadikan film,banyak orang-orang begitu suka bagaimana sudut pandangku berbicara. Tapi pemikiran ini biasa terbantahkan saat aku menemukan beberapa komentar yang mengatakan ceritaku terlalu memuakkan. Aku mana mungkin memaksa mereka menyukaiku bukan? Banyak filsofi tentang ini dan aku tak mau memikirkannya. Kupandang Mba Jena yang ternyata sedang sibuk memperhatikan putrinya. Saat melihat Chika,aku merasa dunia semakin menua. Karena aku mengenal Mba jauh sebelum dia menikah tetapi kini telah memiliki anak bahkan sudah sebesar Chika. Sudah berapa jauh seorang Anindira berdiri dengan kakinya sendiri? Menciptakan dunianya sendiri dan tak mau berbaur dengan dunia memuakkan diluar sana. Ada berapa momen modern yang aku lewatkan selama ini? Mengingat aku hanya selalu duduk di kursi nyaman dan memainkan tanganku diatas keyboard. “Chika sangat aktif saat dibawa jalan-jalan,” keluhan seperti ini sudah sangat biasa aku dengarkan, “Sebenarnya Mba engga mau membawanya tapi dirumah siapa yang mau jaga? Kalau diingat-ingat sudah hampir sebulan Chika sibuk sekolah dan jarang liburan. Pantas saja dia sangat aktif dan bersenang-senang.” Aku menguap sekali,dengan mata malas membuka laptop yang memang sengaja kubawa. “Mas suami lagi nganterin mertuaa berobat,Nin.” Sembari menunggu laptop menyala aku menatapnya,”Kenapa Mba engga ikut?” responku,Mba Jena ini sudah sangat hapal dengan sikapku. Mau aku tidak menanggapinya dia akan tetap berbicara. “Suami tidak mau Chika kerumah sakit katanya engga baik anak kecil kesana. Mana mertua mendukung pula,yaudah setelah Mba ingat-ingat ada pembahasan penting sama kamu. Daripada bosen dirumah mending ajak kamui ketemu,bawa Chika jalan juga.” Mengangguk adalah respon terbaik,kubuka laman baru untuk mengetik. Disana masih kosong tanpa adanya huruf abjad didalamnya. Perlahan aku mulai memainkan jemariku. Kali ini masih membahas Aydira yang sangat malang,dia sudah bangun dari tidur panjangnya. Tetapi meminta dilepaskan dan menjauh dari si lelaki kaya. Ini adalah konflik pertamanya,tidak seru tidak menghadirkana konflik diantara mereka. Cerita akan sangat membosankan saat penulis hanya memberikan kegiatan sehari-hari tanpa adanya konflik yang seru. Sembari mengetik,sesekali aku akan mendongak menatap serunya Mba Jena yangs sedang merekam momen Chika. Aku pengen lepas dari kamu,aku pengen bebas dan punya jalanku sendiri. Jangan pergi ninggalin aku,Aydira. Kamu tau mengapa aku bertahan selama ini kan? Kamu yang paling mengerti aku. Hahaha,kamu pikir aku bertahan sama kamu karena perasaan? Kamu salah! Perasaan aku udah mati sejak lama,karena kamu sendiri! Aku pengen selesai,bebas dari kamu. Kumohon,Aydira. Ikuti kemauan keluarga kamu Dan lepaskan aku. Kamu pikir aku tidak tau mengapa aku bisa terbaring disini? Aku memang menyukai uang tetapi tidak dengan menumbalkan nyawaku. Aydira,aku akan membawamu pergi. Kita akan hidup disuatu tempat dimana keluargaku tak akan menemukanmu sama sekali. Kita akan hidup bahagia disana. Entah ada orang yang melihatku atau tidak,aku tertawa dihadapan laptop saat membaca kembali percakapan mereka berdua. Sepertinya penulisnya yang gila karena menciptakan tokoh yang begitu gila dan hubungan tak masuk akal ini. Tapi aku suka membawa pembaca berpikir,menduga dan menebak walaupun akan berbanding terbalik dengan apa yang aku publish nantinya. Mereka dan semua komentar mereka seakan menjadu penyemangat untukku untuk terus mengetik setiap harinya. Mungkin sampai saat ini aku masih baik-baik saja karena kamu tak pernah meninggalkanku sedetikpun,lalu bagaimana jika mereka tau kita masib bertahan? Kamu masih melarangku pergi hanya karena alasan kamu sangat mencintaiku? Aku akan mengatakan pada mereka untuk tidak menganggumu. Hahaha,kamu pikir mereka percaya? Kamu pikir mereka percaya? Kamu sudah selingkuh berulang kali bukan sekali. Bahkan sudah puluhan perempuan yang kamu sakiti. Kamu pikir mereka akan percaya bahwasanya hanya aku yang kamu cintai? Mereka hanyab akan menertawaimu. Kenapa mereka tidak akan percaya? Siapa yang akan percaya? KATAKAN PADAKU? SIAPA YANG AKAN PERCAYA HAH!!! Mataku mengerjap beberapa kali,apa tidak berlebihan ya? Tapikan kalau terus dipertahankan malah Aydira yang akan kehilangan hatinya. Aydira akan benar-benar lupa dengan yang Namanya jatuh cinta dan akhirnya tak punya nurani dan iba. Ayo berpikir Anindira,kamu harus menciptakan momen dimana lelaki mau melepaskan Aydira yang bodoh itu,aku berdecak kesal. Kenapa juga harus membuat karakter playboy sih? Kan cukup sekali selingkuh aja udah mendukung banget. “Nin,kamu jangan gila disini,” lamunanku tentang Aydira yang malang buyar. Ku tatap Mba Jena dengan bingung. “Orang-orang mungkin berpikir kamu sedang memikirkan hal serius atau sedang bertengkar dengan seseorang di laptopmu itu. Padahal aslinya kamu hanya sedang mengkhayal tentang tokoh-tokoh gilamu. Kenapa kamu memikirkannya nyata banget?” aku tertawa, “Mba engga tau aja bagaimana serunya memikirkan sesuatu dimana kita sendiri yang tau,kita sendiri yang bisa mengatur mereka akan bagaimana dan endingnya bagaimana. Seru dan menantang,menulis memang terkadang dianggap remeh oleh orang-orang tetapi siapa yang tau?” Mba Jena hanya menggelengkan kepalanya dan segera menghampiri putrinya lagi. Aku yang tadinya bersiap akan mengetik lagi malah tak sengaja melihat kertas lain,dan itu belum dibuka oleh Mba Jena sama sekali. Dia belum membahasnya denganku padahal itu pasri sangatlah penting. “Nin,ak- astagfirullah,Mba lupa bahas ini sama kamu.” Aku berdecak sebal,menyimpan hasil ketikanku di laptop tapi tak mematikannya. “Kamu sih ngajak debat terus,” ayo Anindira,jangan pedulikan apa yang Mba Jena katakan. Mba Jena duduk ditempatnya yang tadi,membuka berkas yang kulihat tadi. “Kamu kan sudah mengirimkan setengahnya,nah mereka sudah memberikan bayangan pada kita. Dan open order akan dimulai tanggal 31 bulan tiga nanti dan Mba sangat yakin semuanya sudah rampung disana. Covernya request-san kamu juga sudah selesai,” kuterima berkasnya. Benar,cover bayanganku sudah jadi dan sesuai dengan apa yang aku jelaskan pada pihak penerbitan kemarin. Cover pantai yang sangat cantic dan mengangumkan sekali. “Nin,kamu suka dengan yang itu? Kamu jangan lupa melanjutkan Qoutenya apalagi pihak penerbitan sudah mulai membocorkan kerjasama mereka selanjurnya adalah denganmu.” Terkadang aku berpikir begini,andaikan bukan Mba Jena editorku lalu apa kabar denganku? “Nin?” “Iya Mba,qoutenya hampir rampung kok. Tinggal beberapa lagi habis itu aku kirim ke mereka. Kapan sih aku engga total dalam mengerjakan sesuatu? Royalty yang mereka tawarkan menggiurkan Mba,aku mana mungkin sia-siain.” Dan aku mendengar dengusan Mba Jena dengan sangat jelas. “Aku benar-benar ingin memaksamu pindah rumah,Nin.” Pembahasan itu lagi,aku membenci bahasan tentang rumah. “Uang di rekenigmu mau kamu apain,Nin? Kamu mau numpukin terus? Setiap kali bertemu dengan editor lain mereka selalu heran kenapa katanya kamu engga pindah dari rumah itu?” “Itu bukan urusan mereka,Mba.” Jawabku kalem,mengembalikan berkas tadi pada tangannya. Setidaknya ada hiburan dengan melihat cover quote tadi,sesuai keinginanku. Mataku kembali menatap laptop yang masih menyala menampakkan wallpaper alam yang sangat menyejukkan mata,membuat pikiranku kembali fresh dengan melihat itu. Segala tumpukan kata untuk lanjutan cerita Aydira mulai menari dalam pikiranku. Kubuka kembali laman ketikan tadi,mulai mengetik tentang Aydira yang benar-benar meninggalkan Lelaki tersebut. Aku hanya ingin pembaca tau bagaimana rasanya meninggalkan dan ditinggalkan,aku ingin mereka melihat dari dua sisi bukan satu sisi. Diantara meninggalkan dan ditinggalkan ada kesakitan yang imbang.Aydira adalah perempuan yang sangat berani karena berhasil meninggalkan seseorang yang ia anggap sumber hidupnya. Ia akhirnya bisa bebas walaupun akan mengenang semuanya seumur hidupnya. Aku hanya ingin menunjukkan bagaimana ending ketika seseorang serakah dalam memiliki,tidak ada ending indah bagi mereka yang mempermainkan perasaan seseorang. Yang selalu menunggu akan Lelah dengan sendirinya,begitupun dengan Aydira yang malang. Lelah,muak dan bosan ada didalam diri setiap manusia,hanya saja mereka jarang menggunakannya. Akan mereka gunakan saat benar-benar tidak mempunyai pilihan lain,Aydira hanya tidak mempunyai pilihan selain meninggalkan seseorang yang sejak dulu enggan ia lepaskan. Perempuan akan jenuh saat akhirnya dijadikan game,mereka akan berubah menjadi sosok Tangguh saat sikap sebenarnya di tampakkan. Aydira akan ending dengan kisah alaminya,ia pergi dan mustahil kembali. Ini adalah sesuatu yang sulit diterima tapi malah tidak masuk akal jika mereka Bersama. Dengan membuat mereka Bersama malah membuat pembacaku berpikir bahwasanya kesempatan memang pantas ada. Dan aku tidak mau mereka berpikir demikian,tidak ada perselingkuhan happy ending. “Nin,dengarkan Mba dulu.” Tanganku terhenti di huruf G. Mendongak menatap Mba Jena. “Mba mau kamu mengadakan live di medsos kamu dan mempromosika bukumu yang sebentar lagi open Order.” Aku memandangnya aneh,live? Aku? Membalas komentar pembaca saja sangat jarang aku lakukan lalu apa tadi? “Kamu bisa menjelaskan pada mereka bagaimana kamu menulis quote tersebut,kenapa mengambil tema tentang pantai. Kamu bisa membeberkan beberapa penggalan kata juga. Gimana? Kamu mau kan?” aku dengan cepat menggeleng,ada apa dengan Mba Jena. Apa yang ada di pikirannya sebenarnya? “Anindira,Mba pengen kamu dekat dengan pembaca kamu. Selama ini kamu jarang dengan mereka,hanya senang membaca komentar mereka tanpa membalas respon mereka. Kamu akan seperti ini terus?” Ku tutup laptopku setelah menekan Ctrl+S,menatap Mba dengan jengah. “Mba,aku punya cara dekat dengan mereka. Mereka akan dekat denganku saat membaca kisahku,andaikan memang mereka tidak suka denganku maka aku tidak keberatan mereka pergi. Setiap penulis mempunyai cara mereka Mba,aku tidak suka menjadi komsumsi public,” tegasku,memadangnya tajam. “Anin,Mba hanya ma-“ “Mba,dunia kepenulisan adalah duniaku. Aku ingin berkarya dengan caraku bukan mengikuti sebagian orang. Aku menyukai pembacaku,mereka selalu menemaniku dan menerimaku dengan sangat istimewa,mereka begitu mengagumi semua karyaku. Mereka menyukai bagaimana seorang penulis Ombak bukan bagaimana rupa seorang Anindira,” Napasku berubah dengan cepat,ku teguk minuman dingin yang sejak tadi ku abaikan. Pembacaku adalah temanku,mereka akan mengerti dengan apa yang aku tampakkan. Aku tidak suka mencari buka. Ajang promosi adalah urusan penerbitan. “Mba tau,Nin. Mereka akan senang andaikan kamu mau dekat dengan mereka,” aku membalasnya dengan gumaman malas dan Mba Jena menyerah. “Aku hanya akan memposting saja,tidak lebih.” Dan Mba Jena membalasnya dengan anggukan,dia meninggalkanku sendirian di meja. Kulirik jam yang sudah mendekati waktu ashar,sebentar lagi Mba Jena akan pulang. “Kamu mengerti apa yang Mba maksud,Nin. Pikirkan lagi,Mba hanya mau sesekali kamu menyapa mereka dengan nyata bukan berkarya secara terus menerus. Mba tau mereka setia,tapi mereka senang saat kamu mengadakan live dan menjawab pertanyaannya satu per satu,” keningku berkerut bingung, Mba Jena sedang sibuk memasang jaket Chika padahal aku sangat yakin Chika bisa memakai jaket itu tanpa bantuan ibunya sama sekali,ku ketukkan jemariku diatas laptop pertanda sedang memikirkan apa yang sedang ku perdebatkan dengan Mba Jena sekarang. “Nin,kamu adalah manusia. Mba tau ada kesepian didalam sana tapi kamu berusaha menutupinya dengan sibuk bekerja. Mba hanya ingin kamu membebaskan kesepian itu dengan berbuar dengan pembacamu. Selama ini kamu selalu menghindari pertemuan dengan mereka,” benar juga, “Kamu sudah menghasilkan banyak buku,ada yang sudah menjadi film tapi kamu tidak pernah menampakkan diri didepan mereka. Kamu tidak menghadiri penayangan perdana lebih memilih merenung di pantai.” Benar lagi, “Sedikit saja,Nin. Sedikit saja bebaskan hatimu dari dinding beku itu. Hangatkan dengan mendekatkan diri dengan pembacamu walaupun hanya 0,1% saja itu sudah lebih dari cukup. Mba pamit,Alga juga sudah datang. Kalau kamu agak risih,minta Alga menemanimu melakukannya.” Mba Jena memelukku lalu Chika,setelahnya pergi. Mataku memejam, “Senja,kamu tak suka senja?” “Tidak,” “Tidak papa,asal kamu tetap mengarah padaku maka aku takkan pernah mempermasalahkan apapun yang kamu benci,Dira-ku.” Mataku terbuka kembali,disuguhkan dengan senyum Alga yang menatapku. Rambutnya tak diikat lagi. “Rambutnya,Alga.” Dan entah kenapa mendengar tawa Alga sekarang adalah obat paling terbaik. “Tenang,Anindira.” Aku tersenyum singkat dan mengalihkan pandanganku kearah lain. Kurasakan tanganku masih gemetar. “Anindira,it’s okay. You are a strong woman.” Dan aku mulai merasakan tanganku membaik dan kembali seperti semula. Dunia kadang aneh dan menyebalkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD