Bagian 14 - Kesepakatan

1337 Words
Arvyn menghembuskan napasnya kasar begitu melihat Airyn yang tiba-tiba berubah saat melihat kedatangannya. Airyn masih menyimpan ketakutan begitu ingin dia dekati. Dia mengerti. Mungkin tragedi malam itu, menyisakan sedikit trauma untuk Airyn. Namun, perbuatan Airyn yang menipunya dengan berpura-pura gila, sangat membuatnya sakit hati. Bik Lani sudah pergi. Kini, hanya ada dirinya dan Airyn berdua di dalam kamar Airyn yang temaram. Arvyn memantapkan langkahnya. Dia tidak akan mundur lagi untuk mendekati Airyn, walaupun Airyn ketakutan saat dirinya dekati. Jawaban bik Lani tadi, sudah cukup memberitahunya, jika selama ini Airyn hanya berpura-pura saja. Arvyn menarik kursi dan secepat kilat, duduk di depan Airyn yang masih setia menyembunyikan wajahnya. Entahlah, dia tidak bisa memaksa. Airyn terlalu berharga untuk dia sakiti lebih dalam. “Bagaimana kabarmu?” Arvyn memecah keheningan dengan suaranya. Memberikan Airyn pertanyaan setelah sekian lama mereka tak saling bertegur sapa. Airyn meremas tangannya dengan kuat. Dia bingung, harus menyikapi Arvyn bagaimana. Tapi, terus menerus menghindar seperti ini, akan membuatnya semakin merasa bersalah karena membebani Arvyn terlalu banyak. “Baik,” jawab Airyn dengan pelan. Berusaha dengan kuat untuk melawan ketakutannya. “kabar kamu bagaimana?” lanjutnya. Sungguh, dia ingin menanyakan pertanyaan itu setiap hari. Melihat Arvyn pulang kerja, memasakkan makanan, dan memberikan Arvyn ucapan selamat malam kemudian menyaksikan bagaimana Arvyn membuka mata di pagi hari dan memberikannya kecupan sayang. Tapi kenapa semua mimpi itu harus direnggut darinya? Arvyn menarik ujung bibirnya ke atas. Rupanya benar. Selama ini, Airyn hanya mengecohnya. “Apa kamu senang karena sudah berhasil menipuku sangat lama, Airyn?” tegas Arvyn. Entah kenapa, perbuatan Airyn membuat rasa terluka juga marahnya ingin dia curahkan. Seharusnya, Airyn tak menambah perasaan terlukanya dengan berpura-pura gila. Jika Airyn bisa melawan perasaan takutnya, maka dengan senang hati dirinya akan merangkul Airyn dan melewati kesedihan itu bersama-sama. Namun, cara Airyn? Benar-benar membuatnya kecewa. Airyn menelan salivanya dengan kuat. Kenapa Arvyn harus mempertanyakan pertanyaan itu sekarang? Apa yang harus dia katakan? Dia takut membuat pria itu marah. “Maaf,” cicit Airyn nyaris tak terdengar. Sepertinya, Arvyn akan meledakkan kemarahannya setelah ini. “Selamat, Airyn. Kamu berhasil membuatku merasa menjadi pecundang!” Arvyn bangkit dari duduknya. Semua harapannya, hancur berantakan. Seharusnya, Airyn tak melakukan semua itu. Seharusnya, tidak ada jarak yang Airyn ciptakan untuk memisahkan hubungan mereka. “Aku tidak mau menjadi sampah dalam hidupmu. Salahkah aku, jika aku ingin membuatmu bahagia?! Hiks!” Tangis Airyn pecah. Bahkan, Airyn tak lagi berdiam di atas ranjangnya. Airyn bangkit dan menatap punggung Arvyn yang berniat untuk pergi meninggalkannya setelah mengatakan kata-kata yang menunjukkan jika Arvyn saat marah dan kecewa atas perbuatannya. Sungguh, dia tidak bisa tahan jika melihat Arvyn terluka. “Aku memang hancur, Arvyn. Dan aku akan merasa lebih hancur, jika aku bertahan di sini. Berada di posisi yang sangat tidak pantas untuk wanita kotor sepertiku. Hiks ... hiks. Kamu berhak bahagia. Kamu tidak perlu merasa bersalah atau merasa gagal. Di sini, takdirku lah yang salah. Aku hanya pembawa sial dalam hidupmu. Kamu seharusnya menceraikanku dan membiarkanku menikmati kematianku sendiri! Hiks ... hiks!” Airyn terjatuh di lantai bertumpukan lututnya seiring air matanya yang berderai. Airyn menangis sejadi-jadinya di atas lantai yang selalu menjadi saksi bagaimana dirinya terluka dan menangis semalaman. Ada rasa lega. Saat dirinya bisa mengungkapkan semuanya. Semua isi hati yang ingin Arvyn dengar. Bisakah Airyn melepaskannya dengan mudah? Tanpa merasa bersalah atau apa pun, karena dirinya sudah bangkit dan mulai membenahi kehidupannya yang baru? “Aku tidak pantas berada di sisimu, Arvyn. Lepaskan aku. Aku ingin membawa rasa sakit ini sendiri. Ku mohon, hiks ... hiks.” Arvyn membatu. Rasa kecewanya tadi, menguap menjadi rasa bersalah. Seharusnya, dia tidak mengatakan kata-kata kasar yang membuat Airyn terluka. Seharusnya dia bisa merasakan bagaimana perasaan Airyn. Airyn melakukan semua itu, adalah untuk membuat dirinya lepas dan bebas dari hubungan mereka. Airyn ingin membuat dirinya bahagia walaupun Airyn akan terluka—sendirian. Arvyn berbalik arah. Secepat kilat, membawa wanita rapuh itu ke dalam pelukan besarnya. Seharusnya sejak dulu dia melakukan ini. Memberikan Airyn tempat untuk bersandar, semangat untuk tetap bertahan, perasaan dilindungi dan memahami bagaimana perasaan Airyn. Bukan malah, membuat Airyn sendiri dan semakin terpuruk oleh tragedi kelam itu. “Maafkan aku, Airyn. Aku menyesal.” Arvyn tak bisa berkata-kata lagi. Dia salah. Dia sudah membuat Airyn terluka untuk ke sekian kali. Tapi, bagaimana bisa Airyn memintanya untuk melepaskan Airyn yang artinya hubungan sakral ini? Dia sangat mencintai wanita itu. Tak peduli bagaimana tragedi kelam itu merenggut apa yang sudah menjadi miliknya. “Maaf, jangan pernah memintaku untuk melepaskanmu. Aku mencintaimu, Airyn. Sangat mencintaimu.” Airyn menelan isakannya. Dia melepaskan tubuhnya dari pelukan hangat Arvyn yang sangat dia rindukan. Ingin rasanya, dia lebih lama bertahan di posisi itu tetapi, dia sadar diri apa yang dilakukannya sama sekali bukan hak nya lagi. “Ada yang lebih berhak mendapatkan cintamu di banding aku,” ucap Airyn. Kali ini, dia mencoba lebih berani dengan menatap mata Arvyn langsung. “Della. Dia wanita yang sempurna Arvyn. Della juga sangat mencintaimu. Kalian akan menjadi pasangan yang serasi.” Lanjut Airyn membuat Arvyn menggeleng kuat. Arvyn menggapai wajah Airyn dalam genggaman tangannya yang besar. Manik matanya yang tajam, menatap Airyn dengan pandangan yang sulit untuk di artikan. “Tidak. Aku tidak mencintai Della. Kami hanya teman, Airyn. Aku hanya mencintaimu. Mencintaimu seorang,” ucap Arvyn dengan tulus. “Tapi, aku tidak bisa. Aku terlalu tidak pantas untukmu lagi!” Tegas Airyn dengan air matanya yang mengalir deras. “Lalu, apa yang kamu mau?” “Kamu melepasku dan aku pergi. Itu saja.” “Tidak! Aku tidak mau!” kali ini, Arvyn yang menolak permintaan Airyn. “Lalu bagaimana, Arvyn? Aku benar-benar tidak bisa. Aku ingin melupakan semuanya dan menata hidupku mulai dari awal. Aku ingin melupakan semua masa laluku. Ini semua terlalu berat dan terlalu pahit, Arvyn.” Arvyn mengambil tangan Airyn dan menggenggamnya dengan erat.” Apa aku juga masa lalu yang ingin kamu lupakan? Begitu?” tanya Arvyn dan Airyn mengangguk sebagai jawaban. “Kamu orang baru tetapi, sudah lama singgah di hidupku. Adanya dirimu, hanya akan membuatku semakin terpuruk.” Arvyn terdiam. Dia tau maksud Airyn yang sebenarnya. Airyn mengatakan itu, hanya demi membuatnya melepaskan Airyn dengan mudah. Tapi, tidak. Airyn tak akan lagi bisa menipunya dengan mudah. “Maukah kamu membuat kesepakatan denganku?” tanya Arvyn dan tentu saja membuat Airyn mengernyitkan sebelah alisnya yang tajam. Arvyn yang dia kenal akan melakukan apa pun yang dia mau walaupun harus menggunakan kelicikan. “Mencobalah untuk bisa menerima posisimu sebagai istriku. Jangan buat adanya diriku membuatmu terpuruk tetapi buatlah aku menjadi kekuatanmu. Airyn, mari mulai semuanya dari awal—bersamaku. Jika aku orang baru yang sudah lama singgah. Maka hari ini, aku akan menjadi orang baru yang selalu singgah.” “Semuanya tidak akan sama lagi, Arvyn. Aku tidak—“ “Teman,” potong Arvyn dengan cepat. “kita bisa memulai hubungan ini dengan menjadi teman. Jangan anggap aku suamimu jika hal itu membuatmu lemah. Anggap aku sebagai temanmu, sahabatmu yang bisa kamu jadikan tempat untuk berkeluh kesah. Bagaimana?” Airyn membisu. Meruntuhkan pertahanan seorang Arvyn rupanya tak semudah membalikkan telapak tangan. Pria itu terlalu pintar bermain kata-kata dan memenangkan sebuah perdebatan. Dan akhirnya, apakah dirinya harus menyerah? Yang artinya, mencoba bertahan di sisi Arvyn lewat kesepakatan yang bisa dibilang aneh untuk hubungan mereka? “Apa aku bisa melakukannya?” tanya Airyn dengan ragu. Manik matanya yang penuh kekosongan dan penderitaan, menatap Arvyn penuh harap. Setidaknya, jika hubungan mereka tak lagi berhasil menjadi pasangan suami istri, Airyn tidak akan merasa bersalah karena sudah mencoba cara yang Arvyn buat dan melakukan tugasnya dengan baik. Arvyn mengangguk. Dengan penuh keyakinan, dia pun berkata, “Kita bisa melakukannya, Airyn. Semuanya akan baik-baik saja. Tapi, jika pada saatnya salah satu dari kita sudah lelah bertahan dan ingin menyerah, maka kita harus merelakannya dengan lapang dada.” Airyn tersenyum tipis. Sepertinya, cara yang akan dia coba ini akan membuatnya lebih terluka lagi di lain hari. Tapi tak apa. Arvyn yang memintanya, maka Arvyn juga yang harus siap melepaskannya. Ya, aku siap untuk semua rasa sakit ini. *** To be continue
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD