[8]

1439 Words
Andrew tersenyum tipis. Langkahnya tertuju pada gadis cantik yang menjadi pusat perhatiannya kini. Sang gadis tengah duduk sendiri menikmati wine, menatapi langit dari jendela besar yang ada di lantai dua. Mungkin sengaja menghindari kerumunan lantaran sejak tadi, pasti ia kelelahan meladeni banyak orang. “Aku mengganggu?” tanya Andrew sembari menyeringai lebar. Terutama saat Giselle menoleh ke arahnya dan menatap kehadirannya dengan sorot lekat. Tak mungkin Giselle tak mengenali dirinya apalagi Andrew bukan sekadar pengunjung biasa di klub itu. “Tidak, Tuan,” kata Giselle sembari tersenyum. Mata gadis itu tak lagi menatap penuh telisik, tapi berusaha sekali untuk bersikap normal meski Andrew yakin, kehadirannya di sini sudah membuatnya terkejut. “Selamat atas terpilihnya dirimu menjadi brand ambassador The Bungos. Kau tahu, sukar memperoleh kepercayaan dari Helena.” “Anda mengenalnya?” tanya Giselle berusaha setenang mungkin. Jangan tanya bagaimana jantungnya bekerja, karena sejak ia mendapati sosok sang pria di dekatnya, ia benar-benar tak menyangka. Andrew yang dimaksud Justin disertai peringatan mengenai siapa sosok itu, merupakan tamu yang sering datang ke tempat yang tak ingin Giselle ingat. Bagaimana bisa Giselle melupakan tamu yang cukup loyal tiap kali dirinya tampil? Tak mungkin semudah membalik telapak tangan bukan? Di sisi lain, ia membutuhkan uang tersebut. Sisi lainnya, merasa jijik dan kotor karena menggunakan uang tersebut untuk menyambung hidupnya yang sekarat. Jikalau bukan Andrew sang tamu, mungkin Giselle masih bisa bersikap normal. Cukup bicara seperlunya saja tanpa perlu merasa ada kekhawatiran berlebih. Namun situasi yang ia hadapi ternyata tak sesimple apa yang dipikirkan. “Tentu. Siapa yang tak mengenal Helena?” Andrew tertawa. Ia pun menggoyang pelan gelas yang sejak tadi dibawa. Dalam sekali tenggak, isi cairan yang gelas barusan lenyap di dalam tenggorokan. Ia berdecap pelan. “Lumayan. Pemilik acara tahu cara menjamu tamu dengan baik.” Giselle tanggapi dengan senyum saja. Jangan sampai ia salah bicara dan berakhir dengan kerunyaman. Ia menyadari apa yang akan terjadi jika masa lalunya terkuak. Bukan hanya dirinya yang bisa hancur, tapi Justin. Dan ia tak ingin jika itu sampai terjadi. Sebelum ia benar-benar ada di puncak dan bisa memengaruhi banyak orang agar bisa mengamankan posisinya, Giselle harus benar-benar berhati-hati melangkah. “Ada sesuatu yang mengganggumu?” tanya Andrew dengan nada santai sekali. “Tidak ada.” Giselle menyesap sedikit anggurnya. “Senang bisa bertemu Anda di sini, Tuan. Kurasa aku harus kembali ke perjamuan. Waktu menyendiriku sudah usai.” Andrew tersenyum tipis. “Kau yakin?” Giselle menatap Andrew dengan kerutan tipis di antara alis. “Kenapa aku tak yakin? Aku baik-baik saja.” “Tak mungkin kau melupakanku, kan, Nami?” Gadis itu membeku. Pegangan pada gelas yang masih tersisa wine bagiannya, semakin mengetat. Tubuhnya tak bisa bereaksi banyak karena nama itu terlanjur diucap. Pun Andrew yang memang mengenalnya dengan sangat baik meski selama di klub, Giselle mengenakan topeng. Tidak. Pasti Jilly yang mengatakan siapa dirinya. Tangan lainnya mengepal kuat karena pemikiran barusan. tak mungkin Andrew semudah itu mengenalinya di tempat seperti ini kecuali ada yang membocorkan identitasnya. Dan satu-satunya orang yang bisa melakukan hal sampah seperti itu hanya Jilly Adams. “Kau akan menyesalinya, Nami.” Jilly menggeram kesal. “Tak banyak yang kuminta. Hanya sedikit sekali dari penghasilan yang kau dapat sekarang, kan? Jangan pernah lupa bantuan yang sering kuberi padamu, Nami!” Sebelum Giselle meninggalkan Jilly di restoran steak malam itu, ia tersenyum tipis sekali. Mengibas pelan pada rambutnya yang tergerai indah, ia pun berkata, “Aku tahu berapa banyak yang Justin sudah keluarkan untukmu. Belum permintaanmu yang menurutku sangat konyol tapi dipenuhi oleh Justin. Pun jangan pernah kau lupa, ini sudah ketiga kalinya kau menemuiku hanya untuk memenuhi keinginanmu. Jika aku membuat laporan pemerasan, kau bisa terkena pasal berlapis, Jilly.” Wajah Jilly merah padam. Rahangnya mengetat dengan sorot mata tak terima mengarah pada Giselle yang sudah berdiri dari kursinya. Bersiap untuk meninggalkan dirinya yang terlanjur marah karena penolakan akan permintaannya yang berbalut uang. “Jangan sampai bosku tahu apa yang kau lakukan padaku. Seperti sekarang misalnya. Meski terlihat baik dan tak ingin berlama-lama mengurus masalah, tapi kurasa marahnya seseorang yang cukup irit bicara dengan orang asing, bukankah bisa sangat menakutkan?” Apa ini yang Jilly lakukan sebagai pembalasan karena penolakannya beberapa waktu belakangan? Sialan! Kotor sekali caranya. Tapi mengingat ia berhubungan dengan Jilly, bukankah tak pernah ada jalur yang suci? “Melihat ekspresimu sekarang, aku yakin kau sudah ingat padamu.” Andrew terkekeh. Tangannya pun masuk ke dalam saku dan mulai melangkah mendekat. Pada gadis yang tampak terbeliak matanya lantaran langkah itu kian mengikis jarak di antara mereka. Embus angin malam yang mengiring kedekatan mereka sungguh membuai. Sampai Andrew merasa sang gadis tak lagi bisa bergerak—ia sudah menyudutkan Giselle pada sisi jendela yang terbuka ini tapi pada bagian luar. Selama menjadi tamu di seringnya acara pertunjukan gadis yang sudah memikat hatinya itu, Andrew hanya bisa puas memandangi wajah cantik yang berselimut topeng. Menggeram kesal karena bukan hanya dirinya yang menikmati tubuh meliuk indah menggoda di atas panggung. Inginnya marah tapi tak memiliki hak. Maunya menyeret gadis itu dan mengurungnya untuk dirinya sendiri tapi tak mungkin. Apalagi ia masih ada di titik merintis, bukan pewaris seperti kebanyakan pesaingnya di dunia bisnis. Jangan sampai karena tindakan gegabahnya, semua berantakan. “Cukup,” kata Giselle dengan nada tegas. Menggunakan tangannya yang bebas, ia pun menahan pergerakan Andrew yang terus mendesaknya. “Tolong ... jaga batas Anda.” Senyum Andrew jelas timbul. Inginnya ia tertawakan ucapan barusan tapi melihat sorot Giselle yang tampak terganggu dan menatapnya penuh rasa kesal, membuat Andrew memutuskan untuk berhenti. “Aku belum lupa kedekatanmu dengan banyak pria di sana.” Mata Giselle terpejam kuat. “Apa mau Anda, Tuan?” Andrew membasahi bibirnya. Ia pun mengukung Giselle dengan sebelah tangan, memiringkan wajah demi menatap sang gadis yang sampai detik ini masih menguasai hatinya. Tidak. bukan lagi menguasai, tapi sudah sanggup membuatnya kehilangan kewarasan. “Tidak ada,” sahutnya singkat. “Aku hanya ingin kita menjalin komunikasi yang lebih baik dari sebelumnya.” Meski jarak di antara mereka sudah begitu tipis, tapi Giselle tak bisa melepaskan diri begitu saja. Ada banyak pemikiran yang mengganggunya mengenai tujuan Andrew padanya. “Komunikasi seperti apa yang Anda inginkan?” Lagi-lagi senyum tipis Andrew timbul. Matanya yang sekelam malam, berniat menenggelamkan Giselle semakin dalam. Namun Giselle sepertinya tahu, cara bertahan dengan godaan pria seperti Andrew. Ah ... bukankah gadis ini memang terlatih untuk bisa terus berdiri dengan wajah menggoda di antara banyak pria yang mendekat? Biasanya jemari lentik berpemulas magenta milik Giselle, menyusuri satu demi satu wajah para pengunjung. Dan sentuhan itu berakhir dengan pundi uang yang terselip di pakaian yang Giselle kenakan. Tak tahu berapa jumlahnya tapi pasti bukan jumlah yang sedikit. “Ehm ... mungkin bertanya kabar satu sama lain?” Andrew semakin mendekatkan wajahnya. Sengaja. Tanpa perlu menyentuh Giselle, menggunakan embus napasnya yang hangat pun satu tiupan ia beri tepat di cuping telinga Giselle. “Jika kau setuju, aku memiliki penawaran yang bagus untukmu.” Tak tahukah Andrew jika Giselle benar-benar gelisah juga ketakutan? Bukan karena takut tubuhnya disentuh tanpa izin oleh pria yang ada di dekatnya ini, tapi mengenai apa yang berusaha sekali ditutupi. “Kembalilah.” Andrew tersenyum lebar sembari menepuk bahu Giselle pelan. Jarak di antara mereka kembali lebar. Hal itu tentu saja membuat Giselle menghela lega dan rasanya lucu sekali melihat wajah gadis itu merah padam. Pastinya bukan karena tersipu tapi ada kesal dan geram yang ditahan. Dan Andrew paham sekali situasi yang sangat menguntungkan ini. Kapan lagi dirinya bisa dekat dengan Giselle? “Kau pasti sudah ditunggu managermu?” Pertanyaan Andrew membuat Giselle mendongak dan memberi tatapan menghunus. “Hei-hei,” Andrew tertawa. “Jangan memasang wajah sangar seperti itu meski kuakui, itu sangat menggoda.” Tangan Giselle kembali terkepal. Ujung lidahnya sudah sangat ingin memberi makian banyak. Namun suara seseorang yang memanggilnya, membuat ia mengurungkan niat barusan. “Giselle!” Puji Tuhan! setidaknya Brina bisa membuat ia lepas dari pertemuan menyebalkan ini! Giselle pun memasang senyum lebar serta melambai heboh. Yang mana segera saja disambut kerutan bingung dari Brina. “Ke mana saja? Justin mengkhawatirkanmu.” Brina mendekat dan sepertinya paham situasi seperti apa yang tadi dihadapi Giselle. “Lain kali, kau harus bersamaku. Jangan sampai ada kejadian yang kurang menyenangkan untuk kau ingat.” Giselle terkekeh. “Ayo.” Ia pun menggamit tangan Brina segera. “Kami permisi, Tuan.” “Jika kau berubah pikiran, aku menunggumu di kantor. Penawaranku sangat menarik.” Kata-kata itu tak akan pernah Giselle gubris. Untuk apa? Tak ada gunanya. Lebih baik ia segera keluar dari tempat ini. Atau paling tidak, ia tak akan mau menjauh dari Justin apa pun yang terjadi. Bukan tak mungkin hal seperti ini tak menghampirinya lagi di masa depan, kan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD