[6]

1331 Words
“Kau masih belum bisa menentukan pilihan?” tanya Brina dengan helaan napas yang entah sudah berapa kali dilakukan. Hampir seluruh isi lemari Giselle berantakan tak keruan hanya untuk menentukan mana dress yang tepat untuk menemani Justin gala dinner. “Aku bingung,” Giselle menghela pasrah. Duduk di tepian ranjang sembari mengacak rambutnya dengan setengah frustrasi. “Beberapa brand endorse yang menghadiahiku gaun, sudah kau keluarkan?” “Sudah.” Brina menggeleng heran. “Kau ingin mengikuti saranku?” Mata Giselle yang semula menatapi ujung kakinya, terangkat pelan. Meski sorotnya belum menyiratkan kegembiraan karena tawaran Brina barusan, setidaknya ia memiliki harapan. Kebingungannya mendapatkan jawaban. “Sebagai seorang model profesional, kau dituntut untuk bisa mengasah ketajaman memadukan warna serta potongan pakaian yang akan kau gunakan.” Ucapan barusan membuat Giselle menegakkan punggung. Sepertinya Giselle melupakan bagian jika Brina adalah orang yang cukup paham mengenai fashion. “Apa yang sering Nico katakan padamu?” Giselle mencoba mengingat apa yang sering pelatih gayanya katakan. “Tonjolkan bagian leherku yang jauh lebih menarik ketimbang dadaa?” Sebenarnya ia agak ragu juga tapi hal itu yang melintas di kepalanya. “Ada lagi yang lain?” Ingatan Giselle tak terlalu baik karena sesi latihan bersama Nico dan Brina itu luar biasa ekstra keras. Banyak sekali ucapan mereka berdua yang harus diingat meski ada beberapa yang penting, tapi karena Giselle adalah orang baru dalam dunia yang kini ia jalani. “Ehm ... bentuk pinggang?” Brina terkekeh. Ia pun mengambil salah satu dress berwarna biru pupus berbahan silk yang lembut juga mewah. Seperti biasanya, potongan dadaa pada pakaian tersebut rendah dan pasti menonjolkan tubuh indah yang Giselle miliki. Taburan manik-manik berbahan dasar kristal pun dijahit manual agar memiliki presisi yang indah untuk dipandangi. Juga kilaunya yang membuat siapa pun kala memandang, tak ingin melepaskan dengan cepat. Pada bagian lengan, dibuat seolah menyerupai kelopak yang bermekaran. Menambah kesan manis pada gaun yang akan Giselle kenakan. “Kau pasti menawan menggunakan ini.” Brina mengangkat hanger pakaian tadi. “Akan kucarikan yang cocok untuk aksesoris jika kau menyukai pilihanku.” Senyum Giselle terkembang lebar. “Padahal aku pikir tak akan cocok untukku serta tema gala dinner malam ini.” Brina memutar bola matanya sebal. “Andai tak sesuai tema, ingatlah satu hal. Kau bintang di sana. Tak akan mungkin mereka memandangimu dengan sorot aneh. Yang ada, kau lah pusat perhatiannya.” Ucapan itu jelas membuat Giselle terbahak tapi hanger baju tadi, ia terima dengan senang hati. Juga satu pesan yang Brina langsung tanggapi dengan dumelan panjang. “Tata rambutku juga, ya. Sayang sekali aku tak boleh memotong sedikit rambut panjangku ini, Brina. Aku pasrahkan diriku malam ini padamu.” “Musibah sekali untukku datang ke sini, Giselle!” Tak pelak, ucapan itu membuat Giselle tertawa sembari menutup pintu klosetnya. Tak seberapa lama, ia pun sudah bersiap untuk mengenakan make up serta beberapa aksesoris tambahan. Apa yang Brina pilihkan untuknya, semakin menambah keindahan atas apa yang Giselle punya. “Kau benar-benar bisa kuandalkan.” Giselle sekali lagi memutar tubuhnya di depan cermin. memastikan tak ada yang kurang dalam penampilannya malam ini. bukan tanpa sebab ia ingin tampil maksimal meski hanya pertemuan bisnis SEO seperti malam-malam sebelumnya. Ia ingin berterima kasih pada Justin karena mau mendengarkan keluhannya mengenai Yunesha. Hari terakhir sebelum pekerjaannya selesai, malah menjadi hari yang bisa dibilang menyenangkan. Proses pemotretan di beberapa titik berjalan sangat lancar dan pemilik Yunesha tak banyak membantah serta mengatur seperti sebelumnya. Kendati begitu, Giselle tetap harus mengulang sesi pemotretan yang kurang sesuai lantaran campur tangan Theo. Tak jadi masalah, selama tak direcoki menurut Giselle, justru jauh lebih cepat selesai. “Justin memberitahuku sudah sampai di lobby. Mungkin lima menit lagi ada di depan unitmu.” Brina pun tampak puas dengan hasil pilihannya. “Bersenang-senanglah, Giselle. Ingat pesanku, hindari cokelat. Kau sudah terlalu banyak cheating.” “Kapan aku melakukan hal itu?” tanya Giselle dengan raut wajah syok. Tak menyangka dirinya terkena tuduhan tak beralasan dari Brina. Padahal ia mematuhi semua yang Brina minta termasuk mengurangi masuknya penganan bebai cokelat ke dalam mulut. “Kau pikir aku tak tahu apa yang Justin beri saat kau berkunjung ke kantornya? Meski aku ada urusan lain di luar kantor, tapi mata dan telingaku banyak bersebaran di SEO.” Giselle membungkam mulutnya. Merasa bersalah tapi toh yang menyiapkan adalah Justin. Jadi kalau Brina ingin memarahi dirinya, bukankah akan lebih baik jika Justin yang terlebih dahulu terkena semburannya? Bertepatan dengan hal itu, bel di unitnya berbunyi cukup nyaring. Giselle mengerjap pelan. “Justin sudah datang rupanya.” Ia pun bergegas menyambar tas tangan yang sudah dipersiapkan sebelumnya. “Aku pergi dulu, Brina. Jika tak ingin menginap, kau bawa saja kuncinya. Aku memiliki kunci cadangan.” Brina hanya mengangguk sembari mengacungkan jempol. “Terima kasih juga bantuannya. Akan kuingat mengenai cokelat tapi tak bisa berjanji untuk menahan diri.” Brina menggeram kesal. “Giselle!” Suara tawa yang keluar dari mulut Giselle sebagai penutup pembicaraan mereka, pun awal menyapa Justin yang begitu Giselle buka pintunya, sudah berdiri dengan gagah. Lengkap dengan senyum tipis yang entahlah ... selalu berhasil membuat Giselle tersipu. “Kau cantik seperti biasanya, Giselle,” kata Justin sembari mengulurkan tangan. Dan saat tangan mereka bersentuhan, satu kecup pada punggung tangan Giselle diberikan oleh sang pria. “Seorang pria sejati akan memperlakukan wanitanya dengan lembut.” Giselle tersenyum saja. padahal jantungnya sudah tak baik-baik saja detaknya. “Kuharap suatu saat nanti, kau akan bertemu dengan pria tersebut. Aku hanya mencontohkan.” Senyum Giselle mulai pudar. “Kau sudah siap?” tanya Justin tanpa menyadari perubahan ekspresi Giselle yang begitu cepat. Tak ingin berlama-lama menyimpan kecewa, bukanlah lebih baik menikmati waktu yang ada di antara mereka? di saat Giselle menggamit lengan Justin, tak ia temui penolakan. Malah yang ada, ia bisa bebas bergelayut manja seolah Justin adalah pasangan yang begitu menyayangi kekasihnya. Sesekali mereka membicarakan pekerjaan yang tengah digeluti. Tapi lebih banyak Giselle yang bicara; mengeluh, tertawa karena bertemu teman baru, bekerja di bawah brand baru, atau masih suka terheran-heran dengan banyaknya fans yang ia punya. Belum lagi sikap para fans yang kadang membuat ia takut. Sementara sebagai pendengar yang baik, terkadang Justin memberi saran serta sesekali pula, rambut Giselle yang hanya diberi penjepit dari mutiara, diusap pelan. Sikap Justin ini lah yang tak bisa Giselle tolak. Sama sekali. “Sebelum kita berangkat menuju lokasi,” Justin sedikit mengurai kedekatan mereka. “Aku ingin kau mengetahui situasi yang nantinya akan kita hadapi.” Kening Giselle berkerut dalam. “Maksudnya?” Justin terkekeh melihat kerutan yang ada di dahi Giselle. “Tak perlu berusaha keras untuk berpikir. Kau cukup menampilkan wajah seperti apa yang kuminta sebagai branding atas dirimu.” “Aku paham akan hal itu, Justin. Tapi kenapa aku harus dijelaskan mengenai situasi nanti? Apa akan membuat masalah jika aku tak tahu?” Justin tersenyum lembut. “Tidak. Aku akan menyingkirkan tiap masalah yang akan datang untukmu.” “Lantas?” Giselle menatap Justin dengan sorot heran. “Gala dinner ini akan banyak dihadiri pemilik media massa terkenal. Semuanya pasti ingin memperebutkanmu sebagai topik utama. Aku tahu kau bisa bertindak seperti apa, aku percaya padamu. Hanya saja ... ada satu orang yang aku waspadai.” Giselle tak bicara. Ia menunggu Justin mengatakan siapa orang yang perlu ia hindari. “Pemilik Collage Media; Andrew Kingston.” “Oke, aku akan mengingat nama itu.” Giselle menyimpan nama itu dalam hatinya lekat-lekat. Bukan untuk diingat, tapi untuk menghindari agar dirinya tak mendapat masalah berlebih. Pun Justin bisa berkonsentrasi mengurus pekerjaan lain. bukan hanya dirinya yang terus menerus diurus. Giselle tahu diri jika SEO Fashion harus terus berjalan. Jangan sampai citra baik yang sudah ia bangun, tahu-tahu ambruk karena kesalahannya bertindak. Juga ... masa lalunya yang terkuak. “Mungkin pria itu hanya menginginkan uang dari banyak gosip yang bisa dikumpulkan oleh bawahannya, tapi satu hal yang belum lama kutahu dan ini cukup membuat aku khawatir.” “Kupikir aku hanya perlu menghindarinya saja?” Giselle kembali menatap Justin. “Andrew dekat dengan Jilly.” Justin terkekeh. “Kebetulan yang sialan, kan?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD