[10]

1386 Words
Si fotografer kali ini, menatap hasil jepretannya dengan sorot frustrasi. Ia sampai memijat pelipis demi menyingkirkan hal yang masih memenuhi matanya. Dari ekor matanya, ia melirik pada sosok Giselle yang duduk dengan wajah masam. Tangannya bersedekap, matanya berkilatan penuh emosi, tapi bukan pada kegiatannya hari ini. pasti ada sesuatu yang mengganggunya. Tapi apa? Nico menghela panjang. Lebih baik bicara dengan Giselle karena dia lah yang diminta untuk ada di cover depan majalah yang akan terbit dua minggu lagi. “Giselle,” panggilnya sembari menarik salah satu kursi. Merasa dipanggil rekan kerjanya, Giselle segera membuang perasaan yang tak menyenangkan ini. “Ya?” “Aku ingin bicara.” Giselle mengerjap heran tapi kemudian, matanya menatap pada kamera yang dibawa Nico. Dan karena itu juga, Giselle tampak bersalah. “Aku ...” “Kau menyadari kesalahanmu?” tanya Nico pelan. “Sepertinya.” Giselle menggigit bibir bawahnya. “Aku benar-benar merasa bersalah karena membuatmu repot.” Nico tersenyum tipis. “Ya ... kau tahu, jika kita mengulang dari awal, akan membuang waktu di hari ini. besok, kau masih ada jadwal yang lainnya, kan?” Giselle menunduk semakin dalam. “Aku ingin sekali ini kau berkonsentrasi. Aku mengulang di beberapa bagian saja. aku butuh keunikanmu untuk majalah ini. Kau seharusnya merasa beruntung karena aku yang diminta untuk mengarahkan kamera. Jika orang-orang dari majalah mereka yang turun langsung dan hasilnya seperti ini?” Giselle semakin dijatuhi rasa bersalah. Nico sebenarnya tak tega. Mengenal Giselle sejak beberapa bulan lalu, berlatih demikian giat agar pagelaran Justin sukses dan tak ada kendala, juga jarang sekali ada keluhan mengenai pekerjaan yang ia geluti. Meski sibuk, belum pernah ada keluhan datang dari mulut Giselle. “Ada masalah?” tanyanya dengan nada penuh simpati. “Tak ada.” Giselle tersenyum lebar. “Aku yang salah barusan. seharusnya tak kubawa urusan pribadi dalam pekerjaan.” Nico masih menatap Giselle dengan lekatnya. Yang membuat gadis itu tampak canggung dan ditutupi dengan tawa renyah. Pura-pura. Nico tahu itu. “Ayo ... di bagian yang mana yang harus kuulang? Aku sudah siap. Aku tak akan terganggu lagi.” Ia pun berdiri dan membenahi dress yang dikenakan. Memanggil Brina untuk merapikan sedikit penampilannya mulai dari make up sampai tatanan rambut. Meski tak banyak yang perlu Giselle khawatirkan tapi tetap saja, untuk pemotretan ulang ini ia tak mau sampai membuat banyak pihak merugi. Terutama Nico yang tadi memberinya peringatan. Lagi pula, kenapa Giselle sampai harus merasa kesal dan jengkel? Ck! Ini semua pasti karena buket bunga berikut dengan kartu yang terselip di sana. Bagaimana bisa pria itu tahu kediamannya? Tapi kalau Giselle pikir ulang, bukankah mudah untuk mendapatkan informasi mengenai dirinya sekarang? apalagi Giselle tahu siapa Andrew di dalam dunia pekerjaan yang bersinggungan ini? “Sial,” gerutunya pelan. Yang mana ucapan itu terdengar oleh Brina. Wanita itu menatap Giselle dengan herannya. “Kau ... ada masalah?” Giselle segera menutupinya dengan cengiran lebar. “Untuk apa aku menumpuk masalah?” tawanya pun segera ia keluarkan meski terdengar aneh. “Aku baik-baik saja.” Ia pun bersiap menuju tempat yang ditentukan oleh Nico. Kali ini jangan sampai ada kesalahan. Ia sudah menyatu dengan pekerjaan ini. jangan sampai membuat malaikat baik hati yang hadir di hidup nelangsanya kecewa. “Pria itu hanya angin lalu. Tak akan menggangguku,” kata Giselle penuh tekad. Butuh waktu satu jam lamanya untuk Giselle berpose seperti apa yang Nico inginkan. Kali ini, senyum Nico terkembang lebar. Hasilnya begitu memuaskan persis seperti apa yang ia inginkan dan Nico pun punya keyakinan, wajah Giselle yang akan tampil di majalah, pasti memukau dan banyak yang terkesan. Belum lagi isi seputar wawancara yang sudah lebih dulu dilakukan. Giselle Namiozuka memang diminta untuk mengisi salah satu ruang mengenai kesannya terhadap dunia fashion yang tengah bergeliat sekarang. Titik peluh yang ada di dahi Giselle, tak terlalu ia risaukan. Panas yang sesekali mengenai tubuhnya juga, tak terlalu ia gubris. Giselle tak ingin ada pengulangan lagi. malu hatinya jika sampai ia membuat Nico kecewa. “Nah, ini baru Giselle yang aku kenal.” Nico tertawa puas. Sesi pemotretan siang ini berakhir penuh kelegaan. Ia pun beberapa kali mengecek hasil foto terbarunya dan tak bisa menghilangkan keriangannya. “Kau benar-benar menampilkan yang terbaik.” Giselle segera menerima botol minum yang diberikan Brina. Panasnya udara di sekitar lokasi memang cepat membuat dahaganya datang. Beberapa teguk mampu mengenyahkan meski tak seluruhnya karena ia butuh ada di tempat yang lebih sejuk. Wajahnya tampak memerah tapi sungguh, ia merasa senang dan puas karena Nico sudah kembali ceria dengan hasil fotonya. Artinya, kerja keras menyingkirkan pengganggu yang muncul di kepala Giselle berhasil. Jangan kira hanya sekadar bunga yang ia takuti, tapi apa yang bisa Andrew lalukan andai ia salah melangkah. “Aku minta maaf karena kesalahan tadi. Untuk pemotretan esok, aku pastikan tak akan ada lagi Giselle yang bertindak aneh,” katanya dengan senyuman lebar. Disambut gelak heboh dari Nico. Katanya, “Aku senang kau bisa memilah mana batas profesional dan mana yang bukan. Justin menempamu dengan banyak jadwal bukan tanpa sebab, Giselle. Aku tahu, kau pasti kelelahan. Tak ada yang bisa memungkiri itu. tapi ketahuilah, semakin tinggi jam terbang, semakin baik kau mengelola ekspresi serta penekanan pada tiap pose yang akan diambil. Sudut terkecil pun harus bisa kau sesuaikan dengan fotografer yang ada di tim-mu nantinya.” Giselle mengangguk paham. “Kau dan Brina lebih baik beristirahat di dalam. Justin sebentar lagi sampai.” Brina segera menggamit Giselle. Membawakan tas sang model yang tak seberapa besar itu. pun meminta beberapa staf untuk merapikan perlengkapan yang tadi ia gunakan. “Tak ada cokelat untukku, Brina?” tanya Giselle tanpa rasa bersalah sedikit pun. “Tidak.” “Ayolah,” rengek Giselle segera. “Aku butuh untuk memperbaiki mood.” Brina diam saja sembari terus melangkah. “Beratku masih normal, Brina. Lagi pula pemotretan untuk ajang Miss World bukankah dilakukan dua minggu lagi? aku yakin, berat tubuhku tak ada masalah.” “Ajang itu tak sekadar pemotretan biasa. Kau butuh banyak pengalaman dan pengetahuan untuk bisa lolos. Sekadar mengikutinya saja, semua orang juga bisa,” decak Brina sembari mendorong pintu ruangan yang mereka tempati selama proses pemotretan berlangsung. Lebih privasi dan pastinya lebih bebas untuk Giselle melakukan apa pun di dalam sana. “Aku butuh banyak belajar pengetahuan umum, kan?” tanya Giselle yang sudah melepaskan tangannya dari Brina. Ia pun memilih duduk di kursi panjang dan bersandar nyaman. Udara pendingin yang mulai menerpa tubuhnya terasa sejuk dan membuai. “Sore nanti tak ada jadwal pemotretan lagi, kan?” “Tidak ada.” Brina tersenyum tipis. “Tapi ada undangan makan malam dari Duta Besar. Kau harus datang bersama Justin.” “Pantas saja sebelum kita take off kemarin, dia berpesan padaku untuk membawa gaun hitam. Apa dresscode-nya gaun hitam?” Brina menggeleng segera. “Bukan hanya gaun hitam. Tapi pesta topeng.” Mata Giselle terbeliak tak percaya. “Makan malam atau apa memangnya acara tersebut?” “Duta Besar menyukai pesta dengan nuansa abad pertengahan. Gaun hitam yang kau bawa pasti yang modelnya biasa saja. iya, kan?” Giselle merengut. “Aku sudah mengeceknya dan itu terkesan kuno, Giselle.” “Sembarangan! Aku dapatkan dari brand Hush on Girl. Kau tahu, dress yang sempat booming tahun lalu.” “Aku tahu,” kata Brina mengibas pelan. “Memang cantik dan kurasa pas dikenakan olehmu. Tapi pesta ini bukan sekadar pesta. Yang aku dengar, Duta Besar ingin mengumumkan pernikahan anaknya yang akan berlangsung di Dubai.” Giselle terperangah. “Dubai?” “Ya!” “Wah! Impian yang tak mungkin aku gapai sepertinya. Menikah di Dubai itu tak pernah terbayangkan dalam hidup tapi aku menginginkannya.” Brina tergelak. Heboh sekali. Membuat Giselle cemberut. “Kau ini hobi sekali menertawakan orang lain, Brina!” “Bukan itu,” kata Brina sembari memegangi perutnya. Berusaha menahan diri agar tak terlalu heboh tawanya. “Menikah di Dubai itu bisa terlaksana jika kau memiliki pasangan yang tepat. Misalnya pangeran dari negara Saudi yang memiliki banyak kilang minyak.” Makin jadilah Giselle merengut. Inginnya ia balas ucapan Brina dengan lemparan bantal sofa, tapi ia urungkan karena ada yang mengetuk pintunya. Giselle pikir, Justin sudah tiba di sana. Sekadar untuk mengajaknya ke tepian kota yang cukup menarik untuk dikelilingi. Nyatanya bukan. Saat Giselle membuka pintu, sosok yang beberapa malam lalu ia temui, ada di sana. Berdiri dengan senyum tipis mengandung banyak kepongahan. “Hai, Nami. Kita bertemu lagi.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD