CD 5

2462 Words
"Nonna," panggil Alenza, sedikit berteriak ke sang nenek yang merentangkan tangannya menyambut Alenza. 'Nonna,' batin Debbina. Dia menatap wanita paruh baya itu dengan batin bertanya-tanya. Masa iya sang atasan mempunyai istri yang lebih pantas disebut mama daripada istrinya. Bahkan dengan mamanya saja, tua wanita itu. Memang masih kelihatan cantik meskipun usianya tidak bisa dibohongi. Dari jarak yang lumayan jauh saja, bisa terlihat ada beberapa kerutan di wajahnya. "Alenza beli apa?" tanya Bu Haryati, ke sang cucu. Wanita berkerudung itu memang terkadang datang ke tempat anak bungsunya. Beliau datang ingin menjemput sang cucu, sekaligus ingin bertemu dengan sekertaris baru anaknya. "Beli es krim, Nonna," jawab Alenza dengan senyuman lebar, menampilkan gigi-giginya yang putih dan lucu. "Ya ampun ... Papi izinkan Alenza beli es krim, ya?" Alenza mengangguk polos. Bu Haryati berdecak kecil, "Axel itu gimana, sih ... ponakannya baru sembuh dari sakit, malah diizinkan beli es krim. Awas aja anak itu!" Bu Haryati berbalik badan sembari membawa tangan mungil Alenza. Beliau ingin sekali memarahi anak bungsunya sekarang. Kening Debbina mengernyit, 'ponakan' apa dia tidak salah dengar tadi? Jadi Alenza bukan anak Axel? Syukurlah kalau begitu. Loh kok? Kenapa dia mendesah lega, saat tahu Alenza bukan anak Axel. "Nonna, Aunty Debbina ketinggalan." Alenza mencegah sang nenek pergi. Sebab Debbina masih berdiri di belakang mereka. Dan sang nenek belum menyadarinya. Bu Haryati menghentikan langkahnya. Kemudian menoleh ke belakang. Ke arah gadis yang masih berdiri dengan tangan saling bertautan. Bu Haryati memindai Debbina dari atas ke bawah, "Kamu siapa?" Tubuh Debbina mendadak kaku. Bingung mau jawab apa. Apalagi wanita paruh baya yang bersama Alenza, menatapnya dengan tatapan menyelidik. "Sa---" "Madre." Dari arah belakang Bu Haryati, Axel memanggil sedikit berlari memanggil sang ibu. Axel sedikit khawatir karena Debbina dan Alenza sedikit lama waktu beli es krim, makanya dia turun ke bawah untuk menyusul mereka. Tak disangka ternyata ada sang ibu juga di situ. Mungkin sudah datang dan ingin menjemput sang ponakan. Bu Haryati dan Alenza menoleh ke Axel yang sedang berjalan menghampiri mereka bertiga. "Axel, Nak, itu siapa? Kenapa dia bersama Alenza?" tanya Bu Haryati. Beliau memang sangat hati-hati terhadap orang baru yang belum dikenalnya, apalagi kalau menyangkut Alenza. Jelas beliau tidak mau memberikan sang cucu ke sembarangan orang. "Owh dia." Axel menunjuk Debbina, "Dia sekretaris baru aku, Ma." Bu Haryati memindai Debbina sekali lagi. Sementara Debbina diam-diam deg-degan, karena baru bertemu dengan orangtua Axel. Debbina jadi tahu kalau wanita berkerudung itu ternyata ibu sang atasan. Pantas saja tadi dia sempat heran dengan perbedaan usia mereka kalau statusnya suami-istri. Belum lagi dia mendengar Alenza ponakan Axel. Jadi kesimpulannya adalah, Alenza ponakan Axel dan gadis cantik itu cucu dari wanita berkerudung itu. Fyuh ... terjawab sudah berbagai pertanyaan yang ada di otaknya. Tidak lama kemudian, bibir Bu Haryati melengkung ke atas membentuk sebuah senyuman, "Jadi kamu sekretaris Axel? Gadis yang direkomendasikan oleh Aiza?" Debbina tersenyum kaku, kemudian mengangguk kecil, "Iya, Bu, saya orangnya." Sekali lagi Bu Haryati memindai penampilan Debbina. Kemudian beliau kembali tersenyum, "Kamu gadis yang unik. Perkenalkan, saya Bu Haryati, ibunya Axel. Terima kasih telah bersedia menjadi sekretaris Axel. Dia itu susah sekali bekerja dengan orang baru. Saya harap, kamu bisa bekerjasama dengannya." Debbina melirik Axel, yang sedang cemberut. Mungkin karena ucapan sang ibu. Memang jauh berbeda sekali kepribadiannya dengan sang atasan. Axel mah sudah seperti 'Grim Reaper' alias malaikat maut. Cuma ketutup dengan tampangnya yang tampan. "Baik, Bu." Debbina sedikit memunggukkan badan ke Bu Haryati. "Nonna," panggil Alenza, menarik tangan sang nenek. Bu Haryati menunduk ke bawah melihat sang cucu, "Iya, Sayang, kenapa?" Sebenarnya beliau lebih memilih dipanggil 'nenek' daripada 'nonna'. Panggilan nonna untuk nenek di Indonesia masih terasa asing sekali, bahkan mungkin sangat jarang sekali. Namun karena kemauan sang suami, jadi beliau menurut saja. Alfred Baldwin, sang suami memang orang Italia asli, makanya lebih suka dipanggil seperti itu. "Alenza pengen ke ruangan Papi." "Ya udah, ayok, sama Papi." Axel mengulurkan tangan ke Alenza, dan bocah kecil itu langsung mengambil uluran tangan sang paman. Mereka pun berjalan menuju ruangan Axel. Alenza menoleh ke belakang, "Aunty Debbina, terima kasih ya." Debbina tersenyum ceria, "Sama-sama, Alenza." Bu Haryati masih tersenyum, kemudian menatap Debbina, "Jadi nama kamu Debbina?" "Iya, Bu, nama saya Debbina," jawab Debbina dengan seulas senyum. Bu Haryati menganggukkan kepalanya, "Nama yang cantik, sesuai dengan wajahmu." Debbina tersenyum kikuk. Padahal cantik dari mana. Orang penampilannya saja seperti preman jalanan. "Kalau begitu, saya menyusul mereka dulu ya, Debbina." "Silahkan, Bu." Bu Haryati berbalik badan lalu berjalan menyusul anak dan cucunya ke ruangan Axel. Sementara Debbina mengekor di belakang Bu Haryati. Pergi ke tempatnya. Selama mencatat semua yang sang atasan beritahu, Debbina sesekali melirik ke ruangan Axel. Di sana, Bu Haryati sedang duduk di kursi kebesaran Axel, dan sang atasan berdiri di samping beliau. Dari cara dan yang terlihat. Sepertinya Bu Haryati sedang memarahi Axel. Sebab, Axel tidak membuka mulut, hanya mengangguk-anggukan kepalanya seperti seorang anak yang sedang diceramahi orangtuanya. Diam-diam Debbina tersenyum. Ternyata dibalik sifat Axel yang irritating alias menyebalkan, sang atasan mempunyai sifat lain. Yaitu mengormati dan patuh terhadap sang ibu. Kemudian Debbina menggelengkan kepalanya. Sebagai seorang anak, bukannya harus seperti itu bukan? 'Jangan memujinya, Bii. Ingat! Si Engsel setan bersikap seperti itu hanya pada orang-orang yang menurutnya penting saja. Sedangkan lo? Jangan berharap terlalu banyak, ok? Pokoknya, mulai saat ini lo harus menyiapkan stok sabar. Kalau bisa bergudang-gudang untuk menghadapi Axel,' batin Debbina, membentengi diri sendiri. Debbina kembali mengerjakan soal daripada nanti dimarahi Axel. Hampir tiga jam Bu Haryati di tempat Axel. Akhirnya wanita paruh baya dengan badan mungil itu keluar dari ruangan sang anak. Debbina beranjak berdiri dari duduknya, lalu memasang senyum terbaik. "Debbina saya pulang dulu ya." Kening Debbina mengernyit, karena tidak ada Alenza di samping Bu Haryati, "Alenza?" "Owh, Alenza. Dia masih ingin bermain dengan pamannya." Kening Debbina berkerut, "Paman?" 'Eh, tunggu dulu, Bii ... kenapa lo bertanya dan ingin tahu.' Dalam hati Debbina merutuki dirinya yang Kepo alias ingin tahu apapun. "Maaf, Bu, maksud saya bu---" Bu Haryati terkekeh kecil, "Tidak apa-apa. Axel itu pamannya Alenza. Alenza itu anak kakaknya Axel yang pertama." Debbina tersenyum kaku, lalu mengangguk. Setelah berpamitan, Bu Haryati pulang ke rumah diantar supir keluarga. Alenza akan diantar Axel ke rumah, sekalian pria blasteran Italia itu pulang ke rumah karena ada sesuatu yang ingin dibicarakan dengan sang ayah. Sore hari... Debbina mulai merapikan pekerjaan. Yang belum selesai akan dia lanjutkan besok saja. "Ehm!" Debbina terlonjak kaget, setelah mendengarkan deheman Axel yang sedang berdiri di depan ruangannya. "Bapak---" Axel meletakkan jari telunjuk ke bibirnya. Memberi isyarat, agar Debbina tidak berbicara. Debbina mengatupkan bibirnya seketika. Kemudian mengangkat dagu, bertanya ke Axel. "Alenza tertidur. Saya mau minta tolong sama kamu," ucap Axel berbisik. Beberapa detik kemudian, Debbina mengangguk. Dia mengikuti Axel yang sudah masuk ke dalam ruangan. Melihat pose tidur Alenza yang sangat menggemaskan, membuat bibir Debbina tanpa tertarik ke atas. Aw, ya ampun ... cute banget. "Saya akan menggendong Alenza. Kamu ikuti saya sampai ke mobil." Sebenarnya Axel tidak enak dengan Debbina karena ini sudah waktunya jam pulang, namun malah dimintai tolong. Tapi mau bagaimana lagi, Edward masih ada urusan di luar. Jadi sudahlah ... ini juga alasan Axel butuh sekretaris agar dia bisa sedikit dibantu di saat tidak ada Edward di sampingnya. "Biar saya saja yang gendong, Pak." Axel yang sedang membereskan barang bawaannya, menoleh ke arah Debbina. "Kamu yakin mau bawa Alenza?" tanya Axel dalam nada bicaranya, sedikit mencemooh Debbina. Debbina berdecak kecil, "Tolong jangan remehkan seorang gadis. Apalagi saya, Pak. Saya tidak mau menyombongkan diri, tapi gini-gini saya pernah menjadi juara taekwondo tingkat nasional, loh...." Axel memutar bola matanya jengah. Tapi diam-diam mengagumi Debbina yang bilang bisa taekwondo. Padahal seorang gadis. Pantas saja, beberapa kali bertemu dengan gadis maskulin itu, Debbina tampak tangguh dan pemberani. Seperti tidak takut apapun. "Baiklah, kalau begitu. Badan saya juga terasa capek sekarang." Axel menggerakkan bahunya pelan. Dengan gerakan hati-hati, Debbina mulai mengangkat Alenza. Menggemaskan sekali mendengar dengkuran halus beraturan milik gadis dengan rambut pirang itu. Selama perjalanan, mereka sudah seperti sepasang suami-istri. Banyak pasang mata yang penasaran. Siapa gadis yang sedang menggendong ponakan sang atasan. Mereka memang belum terlalu tahu bahwa Debbina bekerja di perusahaan Axel. Sebab Debbina baru dua kali datang ke Baldwin Entertainment, ditambah mereka belum pernah melihat ibu dari Alenza. Tidak mungkin kan, itu ibu Alenza. Apalagi dengan penampilan Debbina yang jauh dari kriteria seorang wanita minimal seorang yang punya jabatan seperti keluarga sang atasan. Tapi, tidak di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin, bukan? Setelah sampai di depan gedung Baldwin Entertainment, ternyata banyak emak-emak yang sedang berkumpul. Mungkin sedang duduk di kafe, karena kebetulan perusahaan milik Axel berdekatan dengan sebuah kafe. Banyak yang mengomentari Axel dan Debbina, bukan sekedar bisik-bisik, tapi mereka berbicara sangat keras. Axel sampai mengeram, sebab mereka bilang 'Kasihan ya, padahal suaminya tampak gagah begitu. Tapi anak mereka yang gendong si istri', ada yang bilang 'Percuma tampan dan gagah kalau tidak bisa membantu istrinya' dan masih banyak lagi omongan mereka. Sekuat tenaga Debbina menahan tawanya karena mendengar obrolan para emak-emak. Apalagi melihat wajah kekesalan sang atasan. Saat Debbina akan meletakkan Alenza di kursi belakang, tangan mungil gadis itu semakin mengerat di leher Debbina. Membuat Debbina cukup kesulitan. "Pak, ini Alenza nggak mau melepaskan tangannya," ucap Debbina berbisik. Axel menarik napas pelan, "Kalau begitu, bisakah kamu temani Alenza? Dia akan ngambek kalau tidurnya terganggu atau tidak nyenyak. Eh, kamu pulang naik apa?" "Pagi tadi saya diantar Abang saya, Pak." "Ya sudah kalau begitu, kamu ikut saya saja, nanti saya antar kamu pulang. Tapi kamu bantu saya dulu." "Eh, saya mau bantu Bapak, tapi nggak usah antar saya pulang, Pak. Saya bisa naik taksi nanti." Axel berdecak, "Sudahlah, nanti saja kita pikirkan. Kamu masuk dulu, kasihan Alenza." "Baik, Pak." Debbina masuk mobil Axel, duduk di kursi belakang sambil memangku Alenza. Sementara Axel di depan menyetir mobilnya pulang ke rumah utama. Alenza memang tinggal bersama kedua orangtuanya, sebab sang kakak sudah tidak punya istri, alias duda. Kakak iparnya meninggal tiga hari saat melahirkan Alenza. Selama perjalanan, Axel fokus menyetir dan Debbina lebih memilih menatap ke luar. Andai saja tidak memangku Alenza, dia ingin sekali tidur karena matanya mulai terasa pedas. "Maaf karena telah merepotkanmu." Debbina menoleh menatap ke kaca spion, "It's okay, Pak. Kebetulan saya memang menyukai anak kecil terutama cewek. Apalagi Alenza ini sangat cantik dan imut." Diam-diam Axel tersenyum, "Kamu benar, Ale-Ale memang sangat cantik, karena daddy mommy-nya juga seperti itu." Debbina berdehem canggung, "Sebenarnya ya, Pak, sebelum saya tahu Anda paman Alenza, saya berpikir Anda bapaknya, dan ibu Anda ibunya." Axel memiringkan kepalanya sedikit, mencoba mencerna apa yang diucapkan Debbina. Kemudian geleng-geleng kepala. "Ngaco kamu! Maksudnya saya dan ibu saya, orangtua Alenza, begitu kan?" Debbina menyengir sedikit, "Kan saya tadinya tidak tahu, Pak." "Makanya jangan sok tahu!" Bibir Debbina langsung cemberut, "Terserah Anda deh, Pak." Debbina kembali menatap ke luar jendela. Salah juga karena meladeni Axel. Sudah tahu Axel menyebalkan. Hiks Axel melirik Debbina lewat kaca mobil, kemudian menaikkan sudut bibirnya. Akhirnya mobil hitam milik Axel sampai di rumah mewah berlantai dua yang letaknya di kawasan elit Kota Jakarta. Axel membuka pintu belakang, lalu mengambil alih Alenza dari pangkuan Debbina. Sementara Debbina ikut keluar dari mobil. Debbina ternganga karena melihat begitu mewahnya rumah orangtua Axel. Selama kenal dengan Aiza, dia belum pernah atau tidak mau diajak Aiza pergi ke keluarga Baldwin. Buat apa. Toh, dia bukan siapa-siapanya Aiza. Hanya seorang teman adik iparnya. Si Linzi. Axel mengintruksikan Debbina mengikuti dirinya dari belakang. Dan Debbina hanya mengangguk saja, karena terlarut mengagumi rumah mewah Axel. "Axel." Suara berat serta datar memanggil Axel membuat Debbina sedikit terkejut. Di sana seorang pria tampan berbadan tegap dan atletis sedang berdiri dengan kedua tangan di saku celana bahannya. "Alenza tidur?" tanyanya melihat sang putri tercinta di gendongan Axel. "Iya, Big, Ale tertidur." "Terima kasih, Xel, biar Big yang bawa Alenza ke dalam." Axton Xavier Baldwin, kakak pertama Axel mengangkat tubuh putri tunggalnya masuk ke dalam rumah. "Lap dulu ilernya, segitunya lihat cowok tampan." Axel mengusap wajah Debbina sedikit kasar karena masih ternganga melihat Axton, "Saya mau ganti baju dulu, nanti saya antar kamu pulang." "Iih ... Pak Axel menyebalkan," gerutu Debbina menatap punggung Axel yang berjalan masuk ke dalam rumah. Debbina duduk dengan gelisah di kursi depan rumah Axel. Dia ingin pulang, tapi Axel belum menemuinya. Sebenarnya Debbina bisa pulang sendiri, tapi setidaknya dia harus berpamitan dulu dengan sang atasan. "Kamu siapa?" Debbina beranjak dari duduk setelah melihat seseorang yang berdiri tegak dihadapannya. Meskipun sudah berumur, tapi wajahnya masih tampak memancarkan aura kewibawaan. Wajah Debbina menunduk, tidak berani menatap pria itu, "Saya---" "Debbina." Panggil seseorang dari dalam. Debbina menoleh sebentar, lalu kembali menunduk. Di situ Bu Haryati yang memanggil dirinya. Bu Haryati melirik sang suami sebentar, "Ini Debbina, Padre, sekretaris Axel yang baru. Dia tadi bantu Axel karena Alenza tertidur." "Owh." Alfred Baldwin langsung pergi dari situ setelah memindai penampilan Debbina. Beliau baru pulang dari bermain golf bersama sang besan, Rifat Sudjono. Bu Haryati memang sudah tidak heran lagi dengan sifat dan sikap sang suami. Terlihat acuh dan cuek, namun aslinya baik dan penuh perhatian. "Ayo masuk, kayanya Axel lupa ada kamu, karena sedang mengobrol dengan sang kakak." "Tapi, Bu---" "Sudah, ayok. Nggak baik loh ... nolak kebaikan seseorang." Dengan sedikit canggung akhirnya Debbina masuk ke dalam rumah mewah Baldwin. Debbina duduk di ruang tamu bersama Bu Haryati. Dalam hati pantas saja Aiza mendapatkan Libra Sudjono seorang CEO dari Sudjono GROUP. Orang keluarganya saja kaya raya seperti ini. Beda dengan dirinya. Ternyata sebelum makan malam, Aiza dan Libra datang ke rumah Baldwin. Aiza tersenyum lebar melihat gadis yang sudah dianggap adik sendiri ada di rumah orangtuanya. Sementara Libra memasang wajah datar saat bertemu Debbina, padahal dalam hati ingin tahu kenapa Debbina bisa di rumah mertuanya. Aiza yang sadar Debbina sangat canggung, membantunya mengambil makanan di meja. Kebetulan Debbina duduk di samping Aiza, dan dia berhadapan langsung dengan Axel. Setelah makan malam, Debbina disuruh Axel untuk menunggu sebentar karena ada barang yang harus dia bawa ke rumah. Tanpa sepengetahuan Debbina, ada mata tua yang sedang menatapnya dari lantai dua kamarnya. Bahkan interaksi antara Axel dan Debbina tidak luput dari beliau. Axel harus datang lagi ke rumah Baldwin karena sang ayah ingin berbicara dengannya. Alfred Baldwin duduk di ruangan kerjanya menunggu Axel datang sembari memeriksa berkas-berkas perusahaan yang dipimpin Axton. Putra sulungnya. "Silahkan duduk, Xel," perintah Pak Alfred setelah putra bungsunya sudah ada di ruangan. Dengan raut wajah malas, Axel duduk di hadapan sang ayah. Sebenarnya Axel dari dulu sangat menghormati sang ayah. Tapi semenjak memaksa dirinya untuk menerima Irish sebagai calon istri, dia sedikit malas berhadapan dengan sang ayah. "Padre tidak tahu kamu ada hubungan apa dengan sekertaris kamu. Tapi untuk ke depannya, kalau kamu ada sesuatu dengan gadis itu, Padre tidak akan diam saja, Axel Xavier Baldwin. Ingat! Kamu adalah calon suaminya Irish. Dan kalau sampai Irish terluka, dia adalah orang pertama yang akan Padre salahkan," ucap Pak Alfred santai, tanpa tahu tangan Axel mengepal kuat di pahanya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD