CD 6

1415 Words
Padahal Debbina baru saja turun dari mobil sang abang di depan gedung tiga lantai Baldwin Entertainment, tapi belum sampai sepuluh menit terus-menerus menarik napas, lalu hembuskan. Seperti itu terus, dan kalau dia tidak sadar bekerja di situ, lebih baik pesan taxy putar balik, lalu pergi ke Toko kue sahabatnya. "Haish ... ingat, Bii. meskipun lo bungsu, tapi nggak mungkin selamanya lo jadi beban keluarga," gerutu Debbina, sembari berkacak pinggang. Masalahnya kalian tahu kan siapa yang akan berhadapan dengannya di saat ada di kantor. Axel Xavier Baldwin. Bos sinting yang belum apa-apa sudah mengancamnya dengan tuntutan karena dia mengumpat saat pertama kali bertemu. Bukan salahnya kok, salahkan saja mulutnya yang keseleo. Dia sudah biasa menghadapi berbagai macam pria, termasuk abangnya sendiri, tapi dia tidak bisa melawan Axel karena kalian tahu sendiri kan, bagaimana nasibnya nanti. Lagi-lagi Debbina mendesah panjang. Dia mengangkat satu kotak bekal yang sudah disiapkan oleh sang mama dengan penuh sukacita dan semangat empat lima. Mungkin, dalam hati beliau bersyukur karena putri bungsunya bukan menjadi pengacara lagi. Pengangguran banyak acara. Belum lagi sang abang tadi bilang, dia tunggu traktiran gaji pertamanya. Sialan! Derry tidak tahu saja, adiknya bakalan menghadapi makhluk seperti Axel di perusahaan ini. Tak lain dan tak bukan adalah atasannya. "Ok, demi mama, Bii. Lo harus bertahan di neraka dunia ini." Setelah mengatakan itu Debbina pergi masuk ke dalam perusahaan. Meskipun Axel kemarin berbaik hati mau mengantarkannya pulang, tapi itu tidak gratis every body ... kalau saja bukan karena Alenza, dia ogah datang ke rumah Axel, dan pulang bersamanya. Tidak sudi! Ah, anggap saja Alenza yang dia ambil sisi baiknya. Plus ... banyak aktor dan aktris yang terkenal di naungan si engsel itu. Debbina menyapa beberapa karyawan Axel, yang berhadapan atau berpapasan dengannya. Untuk karyawati, rata-rata dari mereka berpakaian, rapi dan dandan yang cantik. Kadang dia suka heran, mereka seperti adu kecantikan disini. "Memangnya Pak Engsel akan melirik mereka?" gumam Debbina, matanya mengikuti dua karyawati itu pergi setelah mereka berpapasan tadi. Debbina menggelengkan kepalanya seketika. "Bukan urusan lo, Bii. Mau Engsel itu melirik, tertarik atau apa, bukan urusan lo, Bii." Kemudian dia mempercepat langkahnya untuk sampai ke tempat kerja yang berhadapan langsung dengan ruangan Axel. Setelah sampai di tempat kerjanya, Debbina meletakkan kotak bekal di meja secara kasar. Mungkin kalau sang mama tahu, beliau akan menceramahi dirinya tujuh hari tujuh malam. Debbina melongok ke ruangan Axel, apakah sang atasan sudah berangkat atau sudah ada di ruangan apa belum. Kalau belum datang kan, dia masih santai alias nonton drama Korea sebelum bekerja. Ada drama terbaru, dan tidak boleh lewatkan atau dia tidak akan tidur nyenyak nanti. "Kenapa kamu mengintip ruangan orang seperti seorang pencuri?" "Omo, chung-gyeog!!" Debbina mendadak mengelus dadanya pelan, setelah dikagetkan oleh suara datar dan dingin, siapa lagi kalau bukan suara sang atasan dan kemunculannya yang tiba-tiba saja ada di situ. Axel memang baru tiba di situ, dan sedikit curiga karena Debbina mengintip ruangannya dengan cara mengendap-endap. "Ngapain kamu mengintip ruangan saya?!" tanya Axel sedikit ketus. Debbina seketika nyengir ke arah sang atasan. "Saya hanya ingin tahu saja, Pak. Apa Bapak sudah datang." "Meskipun saya belum datang, bukan berarti tidak datang. Nanti siapa yang akan kasih pekerjaan ke kamu, kalau saya tidak ada?" jawab Axel masih dengan nada ketus, tanpa senyuman atau yang lainnya. Debbina mendengus kecil, please ini masih pagi untuk berdebat dengan atasannya. Tunggu dulu rada siang, baru dengan senang hati dia ladenin sifat menyebalkan Axel. "Lagipula, daripada kamu mengintip seperti itu, lebih baik cari kerjaan yang berfaedah, misal beres-beres atau membersihkan tempat yang kotor," lanjut Axel malah membuat Debbina melongo tidak percaya. Dulu dia tidak percaya ada seorang pria yang cerewet terkecuali Derry, sang kakak. Nyatanya ada yang lebih parah dari Derry, yaitu sang atasan. "Tarik napas, lalu keluarkan pelan-pelan, Bii. Lakukan itu berulang kali, sampai iblis di dalam diri lo hilang perlahan," gumam Debbina dengan gerakan tangan naik turun dan mata terpejam. Pokoknya dia harus bisa menahan diri agar tidak kesal ke sang atasan. Sementara Axel keningnya mendadak berkerut setelah melihat sang sekretaris. Aneh bin ajaib. Dia kan hanya kasih saran saja, yang bermanfaat apa salahnya. "Pak," panggil Debbina dengan suara rendah. "Bukankah lebih baik Bapak masuk ke ruangan saja, daripada pagi-pagi berdebat dengan saya?" lanjut Debbina masih dengan suara rendah. Tangan Debbina juga seperti seorang pramuniaga yang menyuruh pelanggan masuk ke dalam toko. Bedanya tidak ada senyuman, dan malah menahan wajah kesal. "Lagipula siapa juga yang mau berdebat dengan kamu? Jangan kepedean kamu!" Axel berjalan menuju ruangannya setelah mengatakan itu. Debbina kembali mendengus, tangannya meninju-ninju udara seakan-akan dia sedang meninju wajah sang atasan. Debbina tidak sadar Axel tahu lewat pantulan kaca. Axel biarkan saja, suka-suka Debbina. Toh, disini yang bos-nya adalah dia. Bye the way ... benar kata Debbina, ini masih pagi, jadi jangan membuat gadis tomboi itu kesal dulu. Dia tertawa jahat dalam hati. Axel mengambil note kecil yang ada di laci. Dia mulai menuliskan apa saja kerjaan untuk harus dikerjakan Debbina, dalam tanda kutip 'kerjaan yang nyeleneh' ya. Dia tidak mungkin memberikan gadis tomboi itu pekerjaan yang semestinya. Ya, anggap saja dia iblis yang ingin membalas dendam pada sekretarisnya. Pasti Debbina akan semakin kesal, apalagi tadi saat dia akan masuk ke dalam ruangan, meninju-ninju dari belakang. "Hah! Pasti dia sambil mengumpat dalam hati tadi!" gerutu Axel kesal, masih mencoba memikirkan pekerjaan alias hukuman apa yang akan dia kasih ke gadis itu. Kemarin dia belum sempat menuliskan semua itu karena ada beberapa sisa kerjaan dan ada Alenza juga di ruangannya. Belum lagi ada sang mama datang ke kantor. Dia tidak memikirkan jadwal para artis malah mencari jadwal untuk Debbina. Ya, buat apa juga memikirkan jadwal artis atau aktornya, toh mereka sudah mempunyai manager masing-masing. Sementara Debbina karena belum tahu pasti kerjaannya apa, dia sedikit sedikit melongok ke arah Axel yang sedang duduk dengan kursi menyamping. Kemudian dia merinding seketika saat di dalam sana Axel tertawa, seperti ada yang lucu. Lebih heran lagi setelah tertawa malah mengangguk-anggukkan kepalanya. Bulu kuduk mendadak berdiri sendiri setelah melihat sang atasan tertawa lagi. Debbina memiringkan kepalanya sedikit. "Apa sekretaris yang sebelumnya juga merasakan apa yang gue rasakan? Takut melihat atasannya tampan, tapi tertawa sendiri seperti tidak waras?" Debbina kembali mengintip Axel, tapi sepertinya salah karena dia langsung merinding. "Hi ... dia benar-benar creepy sekali." Debbina bergidik ngeri, seraya memeluk tubuhnya sendiri. "Bye the way, Bii ... apa lo harus mencari jimat penangkal, buat berjaga-jaga nanti? Kali saja kan, suatu saat atasan lo kesurupan?" gumam Debbina, entah kenapa pikirannya lari kemana-mana. "Astaghfirullah, lama-lama lo ikutan gila. Sudahlah, lagipula percaya jimat itu musyrik. Dilarang Tuhan." Daripada dia memikirkan Axel dengan segala keanehannya, lebih baik dia kerjakan apa yang mesti dikerjakan, meskipun itu tidak berguna sama sekali. Di ruangan Axel. "Astaga ... ternyata berpikir cara mengerjakan seseorang itu tidak semudah yang aku bayangkan. Apalagi yang dikerjain semacam gadis tomboi itu yang tidak takut apapun. Ward, bagaimana pendapatmu?" "Ward," panggil Axel, karena tidak ada jawaban akhirnya dia memindai isi ruangan ternyata tidak ada Edward di situ. "Lah kemana dia?" Axel mengambil ponsel yang ditaruh di atas meja tidak jauh dari posisinya. Pas membuka ponsel, ternyata ada notifikasi dari beberapa orang, yang paling atas ada nama Irish Lana Soetanto dan bawahnya ada Edward si'Alan. Wajah Axel langsung serius setelah membaca pesan dari Irish. Gadis itu menanyakan apa benar dia sudah mempunyai sekretaris baru. Namun Axel tidak menjawabnya. Ini pasti sang papa yang bilang ke Irish. Wajahnya semakin bertambah kesal sebab hari ini Edward cuti, karena ada jadwal sidang. "Ah, si'Alan!" Axel melempar ponsel begitu saja di atas meja, tidak peduli akan lecet atau retak. Bicara soal sang papa, jadi ingat pembicaraan semalam. 'Padre tidak tahu kamu ada hubungan apa dengan sekertaris kamu. Tapi untuk ke depannya, kalau kamu ada sesuatu dengan gadis itu, Padre tidak akan diam saja, Axel Xavier Baldwin. Ingat! Kamu adalah calon suaminya Irish. Dan kalau sampai Irish terluka, dia adalah orang pertama yang akan Padre salahkan.' "Hah!! Kenapa sih Pak Tua itu hobby banget ngurusin kehidupan anak-anaknya!" Waktu sudah jam setengah dua belas. Otomatis ini sudah waktunya makan siang. Debbina mengeluarkan kotak makan siangnya, dengan bibir sumringah. Ini sudah waktu makan, dimana perutnya sudah keroncongan sedari tadi. Percayalah kalau di rumah, atau di tempat Linzi akan makan pengganjal perut dulu sebelum makan siang. Ini? Boro-boro, yang ada makan hati tadi pagi. Ayam goreng dimasak saos lada hitam. Kesukaannya!! "Sisi baik dari gue bekerja, Bii. Mama jadi semakin perhatian ke putri bungsunya." "Apa Axel ada di ruangannya?" Debbina mendongak ke seseorang yang berdiri tepat di depannya dan bertanya sang atasan. Tanpa sadar bibirnya terbuka sedikit karena melihat pria itu. Terpesona. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD