Rose mengembungkan pipinya merasa malu. Dia menatap pantulan dirinya sendiri di cermin, rambutnya masih basah dengan tubuh yang terlilit handuk. “Malu maluin,” ucapnya sambil memejamkan mata dan mengingat bagaimana Arsen membantunya naik. Mana kolam ikan itu memiliki lumpur hingga kaki Rose jadi hitam tadi.
“Aduh, ini Non kenapa?”
“Jatuh dia, Arsen mau berangkat lagi, Bi.”
Teringat percakapan tadi, si pria berambut gondrong itu langsung pergi begitu saja karena ada urusan yang harus dia lakukan.
Ketukan pintu mengalihkan pandangan Rose, dia membukanya dan mendapati bibi pembantu di sana. “Ini pakaiannya, Non. Pasti muat di Non.”
“Makasih, Bi.”
“Non mau dibawain apa gitu? Camilan?”
“Enggak deh, nanti turun sendiri ke bawah.”
“Oke, jangan ragu ragu ya Non kalau mau nyuruh Bibi.”
“Hehehe, iya, Bi.” Bahkan dengan pembantunya, Rose sudah nyaman di sini. Rumah yang besar, orang orang yang baik dan juga masa depan yang cerah. Hell, bayangkan saja, Bunda Farah adalah seorang pengacara ternama, dan Ayahnya memiliki kantor notaris dimana mana.
“Nikah sama anak tunggal kaya raya bikin muda,” senandung Rose dengan nada naik kereta api, kakinya melangkah turun ke lantai bawah untuk mendapati beberapa camilan. Rumah yang besar, hanya dia yang jadi majikan di sini.
“Bibi,” panggil Rose.
Bukan hanya ada satu pelayan di sini, tapi yang akrab dan diyakini Rose sebagai kepala pelayannya ya orang yang sedang bicara dengannya.
“Iya, Non? Mau makan apa?”
“Mau dibikinin salad buah ya, Bi,” ucapnya sambil duduk dan menumpukan tangan di meja island hingga bisa melihat langsung prosesnya. Sesekali Rose membuka ponselnya, dia berharap Arsen mengabarinya atau melakukan sesuatu yang membuat mereka lebih dekat. Tapi nyatanya tidak, jadi hanya helaan napas yang keluar dari mulutnya.
Bibi pembantu menyadari dan tau siapa yang sedang ditunggu oleh Rose. “Den Arsen emang orangnya cuek, Non. Tapi dia care banget aslinya, Cuma ya kehalangan image nya aja. Kayak gimana ya…. Diem diem suka perhatiin gitu.”
Rose mengangkat alisnya, si Bibi tau aja apa yang ada di pikirannya. “Emang sibuk gitu ya, Bi?”
“Iya, suka banget berorganisasi, keseringan jadi pemimpin.”
“Belum pernah bawa pacarnya ke sini, Bi?”
“Boro boro punya pacar, Non.” Si Bibi malah tertawa. “Den Arsen temen cewek aja gak punya, paling kenalan aja. Dia sibuk, ketemu sama orang juga yang bener bener penting, kayak diskusi. Jarang banget punya temen nongkrong.”
“Apa dia gak bosen gitu?”
“Um, kayaknya emang habitatnya emang gitu. Tapi Den Arsen kalau ada waktu luang suka main music, dia pinter loh.”
Rose menghela napasnya dalam, dia malah mengenal Arsen dari orang orang disekelilingnya, bukan dari pria itu sendiri. “Gimana mau deket, orang itu anaknya juga kayak gak ada niatan buat deket.”
“Belum kali, Non. Tapi jamin, saya yakin Den Arsen bakalan perlakukan Non dengan sangat baik.”
“Kok bisa nyampe ke sana pemikirannya?”
“Soalnya Den Arsen itu sayang banget sama Bundanya, dia lakuin apa aja buat beliau. Intinya agak sabaran dikit kalau mau jadi pasangan Den Arsen mah.”
Rose tersenyum, pasangan Presiden Mahasiswa? Menggiurkan sekali everybody!
Berbicara dengan pembantu ini juga membuat Rose tau, kalau usia Bunda Farah memang sudah tua. Memasuki kepala lima sedangkan suaminya sudah memasuki kepala enam. Memang sudah cocok diberikan cucu.
***
Karena Rose mengantuk dan tidak memiliki hal yang harus dia kerjakan, jadi dia memilih untuk memejamkan matanya. Sebelumnya Bunda Farah menghubunginya untuk minta maaf karena pulang saat jam makan malam, yang harus menghancurkan rencana girls time mereka.
Namun Rose tidak marah sama sekali, dia sadar kalau mereka orang sibuk. Jadi dia tertidur terlentang seperti bintang laut, empuk sekali dan nyaman di sini. Saking nyamannya, dia tidak tau kalau waktu berputar begitu cepat.
Bunda Farah sudah pulang, dia bertanya pada pembantu tentang keberadaan Rose.
“Non Rose tadi abis makan camilan di sini, Bu, terus ke atas lagi. Kayaknya lagi bobo. Tadi juga ada Den Arsen ke sini.” Bibi pembantu menceritakan tentang kejadian kalau Rose terjatuh ke dalam kolam.
Dan itu jelas membuat Farah khawatir. “Terus? Dia luka nggak?”
“Nggak, Bu. Aman kok.”
“Arsen bantu?”
“Den Arsen langsung berangkat lagi.”
Bunda Farah sampai memutar bola matanya kesal. “Dasar anak gak peka,” ucapnya menghela napas dalam mencoba untuk sabar. Bunda Farah naik ke lantai dua untuk memeriksa Rose. Mengetuk pintu, tapi tidak dibuka sama sekali yang meyakinkan Bund Farah kalau Rose masih tidur.
Jadi Bunda Farah memutuskan untuk bersiap dan memasak makan malam. Karena suaminya masih berada di luar Pulau, Bunda Farah akan meminta Rose untuk menemaninya di sini sambil membujuk Arsen untuk semakin terbuka pada Rose.
“Ya Tuhan kaget!” teriak Bunda Farah saat berbalik dan mendapati Arsen yang sedang memakan apel di belakangnya. “Sejak kapan kamu di sana?”
“Baru aja pulang.”
“Gak keluar lagi kan?”
Arsen menggeleng. “Mau nugas di rumah,” ucapnya kemudian melangkah menuju lantai dua.
“Bangunin Rose sekalian kalau mau turun. Bilang kalau makan malam udah siap.”
Arsen menggangguk tanpa mengatakan apapun lagi, pria gondrong itu menyantap apel dengan santainya. Pergi ke kamar dan membersihkan diri. Baru keluar lagi. Langkahnya terhenti saat ingat harus membangunkan Rose. Satu satunya pintu yang tertutup adalah yang ada dihapananya sekarang.
Arsen mengetuk pintu berulang tanpa mengatakan apapun, tapi tidak ada jawaban sama sekali. Ragu membuka pintu, Arsen mengetahui kalau ternyata tidak dikunci. Dia membukanya dan kaget melihat Rose yang tidur terlentang seperti bintang laut dan mulut yang terbuka.
Penasaran, Arsen mendekat. Pikirannya bertanya Tanya, “Itu tenggorokan kering gak ya?”
Tangannya terulur hendak membangunkan, tapi kembali tertahan karena mengingat kejadian di kolam tadi. Jadi Arsen membalikan badannya dan berniat keluar. Tapi kakinya malah menginjak sapu tangan hingga Arsen terjatuh dan menimbulkan suara yang keras dan getaran yang membuat Rose bangun seketika.
“Gempa! Gempa!” teriak Rose sambil berlari keluar kamar meninggalkan Arsen yang keluar dari kamar. Dia lari secepat mungkin menuruni tangga. “Bun, keluar, Bun! Ada gempa!”
“Hah?” Bunda Farah bingung ketika tangannya ditarik hendak keluar.
“Ayo keluar, Bun! Ada gempa!”
“Gak ada, Nak. Gak ada gempa, kamu mimpi kayaknya.” Bunda Farah memegang kedua bahu Rose. “Tenang, Tarik napas dalam. Gak ada gempa sama sekali.”
“Tapi tadi ada, Bun.”
“Gak ada, Non.” Si pembantu meyakinkan dan membuat Rose menarik napasnya dalam.
“Gak ada, Bun?”
“Gak ada.”
“Tapi tadi di kamar ada getaran, nyampe ada barang jatuh juga.”
“Gak ada. Kamu mimpi kali.”
Di sisi lain, Arsen diam diam kembali ke kamarnya. Pinggangnya sakit.
***
“Kita jalan keluar yuk, nyari jajan ke alun alun,” ucap Bunda Farah saat mereka sedang makan.
“Gak bisa, Arsen punya banyak tugas.”
“Tugas apaan? Kamu itu ketua, harusnya bisa nyuruh nyuruh bawahan. Kenapa semuanya sama kamu?”
“Ini tugas kuliah, Bun. Delik delik khusus suruh analisis kasus.”
Rose seketika terdiam. “Emang ada tugas? Kan masuknya juga baru besok.”
“Minggu kemarin kamu gak masuk ‘kan?”
Yang membuat Rose tertampar, ternyata ada tugas. “Aku kok gak tau?” Tanya Rose dengan sedih.
Bunda Farah menyarankan. “Kalian ngerjain tugasnya bareng, kan sama ‘kan?”
Setelah makan malam, akhirnya Rose membuntuti Arsen karena dia butuh pria itu untuk membantunya dalam tugas. Berjalan di belakang pria itu tanpa berbicara apapun.
Saat Rose menoleh, matanya bertatapan dengan manik Bunda Farah yang memberinya isyarat untuk mengajak Arsen bicara.
“Arsen, itu Rose nya hati hati jatuh, suruh dia di depan kamu.”
Arsen hanya menoleh ke belakang dan berkata, “Bentar lagi nyampe.”
Hanya begitu, sangat dingin hingga Rose kesulitan berkata kata lagi. “Kita mau ngerjain tugasnya dimana?”
“Di sini aja,” ucapnya menunjuk ruang santai di lantai dua.
Rose mengangguk dan tetap mengikuti Arsen. Saat pria itu berhenti, Rose tidak sengaja menabrak tubuhnya. “Kenapa tiba tiba berhenti sih?”
“Kamu tunggu di sini, ngapain ikut saya?”
“Um, ngapain ya? Hehehe, gak jadi deng,” ucapnya melangkah mundur dan menunggu di ruangan itu.
Sepanjang mengerjakan tugas, Arsen hanya focus pada tugasnya sendiri. Dia menjawab jika ditanya saja, dan tidak ada pembicaraan lainnya. Rose ingin mengawali, tapi dia harus menyelesaikan tugas ini dulu. Begitu menyebalkan dan juga membosankan tanpa pembicaraan. Hanya terdengar suara mesin ketik berbunyi.
“Ahhh.. udah selesai,” ucap Rose menutup buku yang dia dapatkan dari Arsen. Dia tidak membawa buku, jadi meminta pada si pria itu. “Masih belum beres? Ada tugas yang lain?”
“Nggak, lagi ninjau ulang.”
“wah, teliti banget. Bagus juga tulisannya. Bahkan ada salinan soft file nya. Padahal tinggal difoto aja ini kertasnya.”
Arsen tidak menanggapi, dia hanya terdiam dan menatap Rose. “Saya gak focus kalau kamu ngomong terus.”
“Ya maaf, kan aku mau kenal kamu lebih jauh. Kita kan bentar lagi tunangan, emang kamu gak mau kenal sama calon kamu?”
Arsen tidak menanggapi dan itu membuat Rose benar benar kesal. Dia berpindah ke samping Arsen setelah memberanikan diri. Rose tidak sabar mendapatkan pria itu sebagai suaminya dan memamerkannya pada semua orang.
“Kenapa pindah?”
“Gak, mau liat aja hasil kerjaan kamu. Janji gak akan berisik kok,” ucapnya mengangkat tangan ke udara.
Dan di moment itu, Bunda Farah memotret keduanya kemudian mengirimkannya pada group yang terdiri darinya, sang suami dan kedua orangtua Rose dengan caption. “Perubahan rencana, Rose minta dinikahin langsung sama Arsen. Minggu depan kita ketemu ya?”
Karena Bunda Farah sudah melihat langsung bagaimana Rose yang menginginkan Arsen, terlihat dari matanya yang begitu berbinar. Dan Bunda farah yakin kalau Rose adalah perempuan terbaik mengingat Arsen tidah pernah dekat dengan perempuan manapun.
“Arsen kan pendiem, Rose aktif banget. Udah cocok banget mereka.”
Di sisi lain, Rose mendapatkan pesan dari Mamanya perihal pernyataan Bunda Farah. Dan Rose langsung membalas dengan kalimat, “Iya, Ma, aku udah yakin mau nikah langsung sama Arsen. Toh nunggu apalagi kan? Biar aku ada yang jaga di kampus, Ma.”
**
Alasan Rose ingin segera mengklaim Arsen sebagai miliknya adalah karena dirinya tidak tahan melihat kebersamaan Derry dan kekasihnya itu. sial sekali, fakultas hukum dan teknik bersebrangan.
Saat acara menginap, Rose tidak bisa berinteraksi lagi dengan Arsen karena pria itu langsung ke kamar. Saat pagi hari juga, Arsen berangkat lebih pagi karena dia harus pergi ke lembaga. Jadinya, Rose diantar oleh Bunda Farah kembali ke apartemen. Dengan percakapan Rose yang meyakinkan Bunda Farah kalau dia siap untuk menikah secara langsung dengan Arsen.
Rose butuh status yang pasti hingga dia tidak akan malu jika menggelayut manja pada tangan Arsen, dia tidak akan merasa malu jika nanti meminta Arsen mengantarnya atau merengek pada si Presiden Mahasiswa itu.
“Lu kenapa sih liatin mulu wakil presiden mahasiswa kita? Lu suka ya sama dia? Pantesan dulu nanya nanya tentang dia mulu. Jangan deh, itu udah ada pawangnya,” ucap Seline mengingatkan dengan panic.
Mereka sedang berada di kantin fakultas. Dan karena kantin fakultas berada di lantai dua, jadi mereka bisa melihat ke bawah tepat ke area fakultas teknik. “Rose?”
“Nggak, gue gak suka sama dia. Gue udah punya laki,” ucapnya dengan tangan yang mengepal. Rose marah dengan keadaan, dia juga ingin membalas dendam dengan bergandengan tangan bersama dengan Arsen yang melebihi Derry dalam segala hal.
Dan karena hal itu, Rose memutuskan untuk pulang ke Bandung dan menemui kedua orangtuanya setelah selesai kuliah. Kedatangan Rose membuat Esme dan Haris kaget, mereka bertanya Tanya kenapa sang anak datang.
“Loh, Rose kamu kapan datang? Kenapa gak bilang bilang?” Tanya Esme yang baru saja pulang bersama dengan sang suami.
“Sendirian, naik bus.”
“Anak Mama naik, Bus?” Esme kaget dan langsung memeluk anaknya itu. “Kamu naik, Bus? Kok Bisa? Pah! Anak kita naik, Bus.”
Rose menangis seketika dan itu membuat Esme semakin bingung. “Kamu kenapa, Nak?”
“Mau nikah sama Arsen, Maa! Mau nikah, mau jadi istrinya diaaa!” teriak Rose sambil menangis kencang.
Kedua orangtuanya bertatapan satu sama lain. Esme menghela napasnya dalam dan menggenggam tangan Rose kemudian membawanya ke kamar untuk bicara. Dia harus tau kenapa Rose sangat ingin menikahi Arsen.
“Bilang yang jujur sama Mama, kenapa kamu mau sama dia? Kenapa mau nikah sama dia? Gak mungkin kamu langsung suka sama dia kan?”
“Ya itu… kesempatan emas masa dilewatin gitu aja. Lagian Mama emang gak setuju kalau aku nikah sama Arsen?” Tanya Rose sambil menyeka air matanya.
“Mama setuju pake banget. Mama tau gimana karakter Arsen yang baik dan bisa jaga kamu. Tapi Mama takut kamu yang salah langkah, nikah buru buru. Kamu pikir itu bisa bikin Mama tenang? Kamu itu anak manja.”
“Dan Rose mau kehidupan yang baru, dengan Arsen dan mau berubah jadi sosok perempuan yang lebih dewasa.”
“Tapi….,” ucapan Esme terhenti karena anaknya sudah berkaca kaca. Tidak lama kemudian, Rose kembali menangis dengan kaki yang menghentak hentak udara karena dia ingin menikah dengan Arsen. “Udah dong jangan nangis.”
“Mau nikah sama Arsen, mau nikah sama dia pokoknya, Mama!”
“Iya iya, nanti Mama ngomong lagi sama Mbak Farah ya. Udah jangan nangis, iya kita nikahin kalian.”
“Di bulan ini.”