“Kenapa?” Tanya Rose berdehem sambil melepaskan tangannya yang tadi merangkul Arsen. Mereka kini ada pinggir pasca sarjana, jarang sekali orang yang lewat di sini.
“Ayo ke sana dulu, ke mobil,” ucap Arsen.
“Kamu mau bawa aku kemana? Bilang dulu mau ngapain?”
“Mau ngukur baju buat nikahan kita.”
“Oh,” ucap Rose kemudian matanya kembali berbinar, dia kembali merangkul Arsen yang mana membuat pria itu mengangkat alisnya bingung. “Emangnya kenapa? Lagian lambat laun juga bakalan kayak gini kan?”
Arsen masih bingung dan enggan melangkah, membuat Rose yang hendak menarik tubuh Arsen malah kembali terjungkal ke belakang. “Ih ayok, kenapa kamu malah diem?”
“Mau rangkulan kayak gini?”
“Nanti aku jelasin di mobil, emangnya masalah ya? Lagian kan kita mau nikah. Please ayo kita jalan,” ucap Rose dengan tatapan memelas, dia malas menjelaskan.
Akhirnya Arsen membiarkan Rose merangkul tangannya dan mereka melangkah menuju parkiran. “Kamu bawa motor apa mobil?”
“Mobil.”
“Ouh, padahal keren bawa motor yang waktu kemaren. Kenapa gak bawa motor lagi?” Tanya Rose beruntun. Sebenarnya dia malu pada Arsen karena harus merangkul tangannya, kemudian bersikap seolah olah mereka berdua itu sangat dekat. Mungkin dia sudah di cap menjadi perempuan tidak tau malu di dalam otak sang calon suami. Tapi untuk di kampus, Rose memilih bodo amat, dia tidak ingin terlihat kalau mereka berdua menikah karena terpaksa.
Apalagi saat orang orang menatapnya penuh iri, Rose semakin menjadi jadi. Dia merangkul Arsen dan bermanja padanya seolah mereka memang sudah berpacaran lama.
“Orang Arsen ganteng, tinggi, keren, presiden mahasiswa lagi. Jadi gak malu buat ditengteng kayak gini,” ucap batin Rose seperti itu.
Setelah masuk ke dalam mobil, Rose masih membuka pembicaraan dengan menanyakan hal hal sederhana seperti. “Kamu sukanya apa? Makanan favorite? Sambil ngisi waktu luang kita bisa saling mengenal kan? Bisa gak?”
Namun, ponsel Arsen lebih dulu berbunyi. Pria itu memakai earpiece kemudian mengangkat panggilan. “Hallo? Gimana?”
Rose mengembungkan pipinya merasa kesal karena diabaikan.
“Udah koordinasi sama pihak lembaga? Coba tekan lagi, paparkan yang jelas,, gak usah pake tenaga kalau apa apa.”
Ternyata membicarakan organisasi. Dan itu berakhir sampai mobil berhenti di salah satu tempat pembuatan gaun pernikahan.
“Sini,” ucap Arsen menarik bahu Rose saat melihat perempuan itu melamun, dan tidak sadar di depannya ada saluran air.
“Rose!” teriak Bunda Farah langsung exited ketika Rose datang ke sana. dia memeluk calon menantunya. “Maaf ya mendadak, soalnya kita dikejar waktu ini. Seminggu lagi loh, bayangin.”
Rose tersenyum, dia menghabiskan waktu dengan mengukur tubuhnya. Entah berapa yang dikeluarkan oleh keluarga Arsen untuk biaya pernikahan ini. Karena dari undangan saja, Rose sudah tau kalau pernikahannya akan sangat mewah.
“Bun, nanti boleh ikut liat persiapan di hotelnya? Sama yang lainnya?”
“Gak usah, kamu taunya selesai aja. Tapi….”
“Tapia pa, Bun?”
“Kamu jangan masuk kuliah ya, izin aja nanti Arsen yang urusin. Seminggu lagi kan kamu nikah, kamu harus perawatan, terus jaga diri di rumah. Nanti kamu diemnya di rumah Bunda Farah ya, biar gak ketemu juga sama Arsen.”
Rose kaget. “Kan Arsen tinggal sama Bunda.”
“Enggak, Arsen baru aja dikasih apartemen sama Ayahnya, dia bakalan tinggal di sana dulu. Jadi kalian gak ketemu. Bunda khawatir kalau kamu pulang ke Bandung, nanti kamu gak ada yang urus, kan Mama sama Papa kamu lagi sibuk.”
Rose mengangguk. Jika yang terbaik seperti itu, maka dia akan melakukannya. Kemudian tatapan Bunda Farah beralih pada Arsen. “Kamu jangan pulang ke rumah kecuali di suruh sama Bunda ya, Kak. Tapi di apartemen kamu juga bakalan diawasin.”
Seperti biasa, Arsen lebih dulu mengangkat telpon sebelum menjawab pertanyaan Bundanya. “Udah tembus ke lembaga?” Tanya Arsen sambil melangkah pergi dari sana.
Dan itu membuat Bunda Farah tersenyum kemudian menatap Rose. “Kamu harus terbiasa sama hal hal kayak gitu ya, Nak. Intinya nanti kamu buat dia bucin biar nempel terus sama kamu. Oke?”
***
Disinilah Rose sekarang, di kamar yang dulu dia tempati. Senang sekali karena mendapatkan perlakuan baik dari keluarga calon mertuanya. Terlebih lagi, Arsen juga beberapa kali mengiriminya pesan tentang tugas kuliah. Meskipun tentang tugas, membuat Rose cukup senang. Dia berharap Arsen dan dirinya terlihat sangat natural saat bersama supaya tidak ada pertanyaan dan spekulasi aneh dari orang orang.
“Rose, makan ayok.”
Rose langsung membuka matanya, pekerjaannya di sini hanya tidur, menonton dan makan. Sesekali berjalan jalan di luar rumah ini. Karena Bunda Farah dan suaminya selalu pulang larut malam dan berangkat pagi hari.
“Kata Bibi kamu belajar masak ya hari ini?” Tanya Irwan membuka percakapan.
“Iya, Yah. Gak belajar sih sebenarnya, Cuma liatin doang.”
“Gak papa, bagus itu. nanti kalau udah nikah, kamu maunya pisah rumah atau di sini?” tanyaa Irwan lagi.
Namun Bunda Farah segera menjawab. “Ya di sini aja dong, Yah, biar Bunda bisa tetep rawat dan bantu mereka.”
“Bantu buat apa? Bunda fikir apa tujuan Ayyah beliin Arsen apartemen?”
“Jadi nanti mereka terpisah sama kita gitu?” Tanya Bunda Farah terlihat sedih.
“Ayah maunya gitu, soalnya kan yang nikah mereka, biarin lah mereka bebas berdua dulu di sana tanpa ada campur tangan kita. Biar gak kaku juga, sambil perkenalan satu sama lain. Dulu bunda juga pas nikah gak mau nyatu sama mertua kan? Maunya pisah meski rumahnya kecil.”
Bunda Farah menatap Rose dengan wajahnya yang sedih. “Emang gak papa kalau nanti kalian tinggal terpisah dari Bunda sama Ayah?”
“Kalau Rose sih gak masalah, kayak kata Ayah biar lebih leluasa perkenalannya. Tapi kalau di sini juga gak masalah, Rose sih ikut Arsen aja.”
Selepas makan malam dan menutup percakapan itu, Rose kembali naik ke lantai dua untuk berbaring. Dia melihat kalender, hanya tinggal hitungan hari saja.
Sebelum tidur, Rose bertukar pesan dulu bersama Seline, dia selalu tertawa oleh teman satu fandomnya itu yang mengatakan kalau dia masih tidak percaya kalau dirinya akan menikah dengan Arsen.
Sampai room chatnya harus terhalang karena ada panggilan masuk, itu dari sang Mama. “Hallo? Ya ampun Mama ganggu aja.”
Esme terlihat kesal di sana. “Heh! Sejak kapan kamu durhaka kayak gini huh?”
“Heheh, maaf, Ma. Ini lagi mau tidur soalnya.”
“Mama mau ke Jakarta besok. Nanti kamu tinggal sama Mama di apartemen sekalian perawatan biar kamu gak burik. Malu Mama kalau ngasih kamu yang burik.”
Begitulah, Rose terus diputar dan dikendalikan dua keluarga. Karena setelah kedua orangtuanya tiba, dia kembali tinggal di apartemennya dan di sana dia melakukan banyak perawatan. Kulitnya menjadi lebih bersinar, rambutnya sengaja diberi warna gelap supaya kontras dengan warna kulitnya.
Rose benar benar disiapkan untuk hal ini. Sampai sebuah pesan membuat euphorianya hilang seketika, saat Derry mengiriminya pesan dengan kalimat pertanyaan, “Kamu beneran mau nikah sama Arsen ya? Gimana bisa?”
Senyumannya langsung pudar, dipenuhi amarah dan Rose langsung memblokir nomor itu. dia menarik napasnya dalam, lihat saja dia akan membuat Derry menderita.
Arsen adalah presiden mahasiswa, jadi semua yang diperintahkan Arsen pasti akan dituruti oleh bawahannya. Rose akan melakukan hal hal yang tidak pernah dilakukan bersama dengan Derry. Dia akan membuat pria itu menyesal karena telah berselingkuh darinya hanya karena alasan jarak saja.
***
Hari itu akhirnya tiba, Rose dibawa ke sebuah gedung hotel dimana pesta berlangsung. Rose dipersiapkan oleh beberapa orang hingga dia menatap dirinya sendiri dengan takjub. Bagaimana bisa dia menjadi secantik ini, layaknya boneka Barbie.
Dan saat dirinya sudah siap, kedua orangtuanya masuk dan menangis, memeluk Rose. “Mama gak percaya kamu udah mau nikah aja, padahal umur kamu baru 20 tahun.”
“Udah, Ma. Kita udah ngomongin ini,” ucap Haris mencoba menenangkan sang istri. “Lagian Papah seneng kamu nikah, soalnya sekarang kamu ada yang jaga. Papah sama Mama gak akan khawatir lagi ninggalin kamu di sini sendirian.”
Rose tersenyum mendengarnya, dia membiarkan kedua orangtuanya mengagumi dirinya. Sampai seseorang datang dan mengatakan kalau semuanya sudah siap, Esme keluar lebih dulu meninggalkan Haris dan anaknya. Pria itu menggenggam tangan Rose. “Kamu bakalan punya suami, dan kamu harus berbakti sama dia. Jadi istri yang penurut ya, dan cintai dia segenap hati kamu. Ini pilihan kamu nerima perjodohan ini, kamu harus siap dengan segala konsekuensinya. Tapi yang Ayah tau, Arsen itu kandidat terbaik yang Ayah punya buat kamu.”
Rose mengangguk, dia memeluk Ayahnya dan mengatakan banyak terima kasih untuk semua yang dia lakukan.
“Udah jangan nangis, nanti make up kamu luntur. Sekarang ayo.”
Detik itu tiba, dimana Rose berdiri di depan pintu yang tertutup. Saat pintu terbuka, dia melihat karpet yang membentang menuju altar, dimana di sana ada seorang pria yang berdiri dengan gagah dan juga tampannya menunggu kedatangannya.
Semakin dekat, semakin Rose melihat bagaimana pesona Arsen yang begitu kuat. Bagaimana pria itu sangat berkharisma dengan rambutnya yang gondrong, rapi dan juga sangat sangat tampan.
Tidak sia sia Rose mendapatkan yang lebih baik dari Derry, karena kenyataannya Arsen lebih unggul dari segala aspek.
“Jaga anak saya ya, Arsen.”
“Dengan segenap hati,” ucap Arsen yang membuat Rose gugup saat mendengarnya.
Mereke berhadapan dengan tangan yang saling bertaut, mata yang saling mengunci satu sama lain hingga akhirnya tiba untuk pengucapan janji suci.
“Saya Arsen Kusuma Atmadja, mengambil engkau Roseanne Anindya menjadi istri saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya. Saat susah maupun senang, pada waktu sehat ataupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai sampai maut memisahkan kita.”
Dan ketika giliran Rose, bibirnya bergetar. Namun dia merasakan genggaman Arsen menguat, membuatnya tenang kemudian dia mulai mengucapkan bagiannya. Hingga pastor mempersilahkan keduanya untuk berciuman.
Rose memejamkan matanya saat Arsen mendekat, berdebar akan mendapatkan ciuman. Namun beberapa detik setelahnya, Rose merasakan keningnya yang terasa hangat. Ketika dia membuka matanya dan bertatapan dengan Arsen, kaki Rose terasa tidak bertulang hingga dia hampir jatuh.
“Astaga!” teriak semua orang kaget. Untung saja Arsen dengan sigap memegang pinggang Rose sehingga perempuan itu tidak jatuh.
“Kamu kenapa?” Tanya Arsen bingung.
“Kamu ganteng banget,” ucapnya sambil cekikikan sebelum akhirnya kembali berdiri dan mengatakan pada semua orang kalau dia baik baik saja. “Iam okay guys,” ucapnya dengan penuh rasa senang kemudian merangkul Arsen. “Kita suami istri.”
Yang membuat semua orang tertawa karenanya. Arsen menggelengkan kepalanya.
Hari ini, Rose menjadi dirinya seorang ratu yang banyak membuat orang lain iri karenanya. Apalagi saat Derry dan Hani datang, juga teman teman Ormawa BEM Universitas yang melihat Arsen dengan tatapan tidak percaya kalau sang pemimpin mahasiswa itu telah menikah.
Dan karena itu pula, Rose menjadi dikenal oleh dosen yang datang. Bukan sekedar dosen, rector pun datang dan mengajaknya bercanda dengan kalimat, “Tolong kalau udah nikah, buat Arsen lebih giat lagi ya, jangan dipeluk terus di kamar. Universitas masih butuh dia sebagai presidennya.”
Yang membuat Rose tersenyum. Kini, siapa yang tidak mengenalnya? Dia adalah pasangan dari seorang Presiden Mahasiswa.
***
Acara tersebut berlangsung dengan sangat baik. Meskipun tidak mungkin semua mahasiswa datang ke sini, tapi setidaknya orang orang penting kepengurusan BEM UNiversitas Galuh mengetahui siapa dirinya dan hal itu sudah cukup.
Selama sisa waktu, banyak sekali ucaapan selamat berdatangan salah satunya dari anggota paara ketua BEM fakultas.
“Selamat, Pak Presma, nanti makin betah dong di kamar.”
“Duh, nanti harus semangat ke kampus ya, jangan diem di kamer mulu.”
Begitu goda mereka pada Arsen, hingga akhirrnya tiba datang anggota BEM Arsen sendiri. “Selamat, Pak Boss.”
“Hai, selamat ya. Tolong nanti ke depannya jangan bikin Arsen betah di kamar ya.”
Mereka menggoda, meskipun terlihat jelas ada maata iri yang menatapnya. Dan dengan beraninya Derry menuju ke arahnya, membuat Rose langsung merangkul tangan Arsen.
“Pak, selamat ya,” ucap Derry yang dibalas jabatan tangan oleh Arsen. “Gak nyangka bakalan secepet ini nikah, padahal perasaan gak deket sama siapapun.”
“Thanks,” ucap Arsen. “Yang proposal udah tembus kan ke lembaga?”
“Ekhem!” Rose berdehem dan menatap Arsen. “Jangan bawa bawa organisasi kenapa ih inikan hari nikahan kita.”
Arsen tertawa, dan itu adalah tawa pertama yang dilihat Rose. Dia baru sadar kalau Arsen memiliki lesung pipi yang dalam. “Iya, maaf,” ucapnya sambil merangkul Rose dan membuat perempuan itu tersipu malu.
Derry juga merasakan kalau dirinya pengganggu, jadi dia undur diri pergi dari sana. Arsen memang tidak mengajaknya dalam sebuah percakapan, tapi pria itu memperhatikannya dengan memberinya air saat Rose terlihat lelah.
“Capek?” sambil memberikan air.
“Makasih,” ucap Rose menerimanya.
Arsen bahkan membantu Rose menyeka keringat Rose di dahi dengan menggunakan tissue. Perlakuan manis yang membuat Rose bertanya Tanya, apa pria itu sedang acting atau bagaimana?
Namun teralihkan karena pernikahannya yang begitu mewah. Tidak terbayangkan berapa biaya yang dikeluarkan oleh keluarganya dan juga keluarga Arsen.
Hingga acara selesai, Rose benar benar lelah. Bunda Farah meminta mereka untuk menginap di hotel. Namun Arsen menolak karena dia ingin langsung pulang ke apartemen.
Ya, sesuai kesepakatan kalau mereka akan tinggal dia apartemen mengingat Arsen butuh waktu untuk beradaptasi dengan statusnya yang baru tanpa ada campur tangan orang lain.
Dan sekarang, Rose baru sadar dan menelan salivanya kasar. Dia hanya berdua bersama dengan Arsen di dalam mobil, lalu nanti di dalam apartemen, lalu nanti di dalam kamar. Apa dia benar benar harus melakukan kegiatan malam pertama?
“Ayo keluar, kenapa malah diem?” Tanya Arsen saat mobil sejak tadi sudah berhenti.
Rose menelan salivanya kasar. Semua sarafnya seolah berhenti berfungsi. Begitu masuk ke apartemen, Rose mengerutkan keningnya karena apartemen ini tidak jauh beda seperti miliknya hanya saja memiliki sedikit kemewahan.
“Dimana kamarnya?” Tanya Rose, dan saat menoleh dia sudah melihat Arsen yang melangkah lebih dulu. Dia segera mengikuti Arsen masuk ke dalam kamar itu.
“Wah.” Kamar yang didominasi warna hitam dengan aroma maskulin.
“Langsung aja ya.”
“Hah?” Tanya Rose bingung.
“Langsung aja, nanti juga keringetan gak usah mandi dulu.”
“Maksudnya gimana?” Tanya Rose.
“Bikin anak,” ucap Arsen dengan suara yang berat membuat Rose merinding.
“Um, tunggu… kan kita baru nikah… anu…”
“Emangnya kenapa? Lagian lambat laun juga bakalan kayak gini kan?”
Sialan, Arsen membalikan kata katanya.