Episode 1: Batal

1102 Words
“Ayah, Bunda, aku mau pernikahanku dengan mas Kafeel, batal!” Gadis memiliki kulit putih itu mengepal. Bola matanya terus saja berputar tak tentu arah. Ketika mengatur degup jantung yang dilanda kegugupan luar biasa. Dia Amara Maysara 24 tahun baru saja datang berlibur dari Bali bersama teman-temannya merayakan masa lajangnya yang sebentar lagi akan berakhir. Kini ia tertunduk seperti orang yang belum mengerjakan tugas sekolah di hadapan guru. Bukan hanya sekedar itu, Amara bahkan terlihat begitu amat takut. Tentu saja hal membuat kedua orang tuanya merasa bingung. Sebab putrinya itu sangat berbeda daripada ketika keluar dari rumah sebelum berlibur. Pria berusia 52 tahun bernama Rivky Saksono—Ayah Amara itu mengerutkan dahi sambil menatap istrinya bingung. Pun dengan Zana—ibu Amara tak kalah bingungnya dengan sang suami. “Sebenarnya … ada apa ini, Mara? Kamu pikir ayah sama ibumu ini anak kecil, yang bisa kamu ajak bercanda seenaknya begitu saja, iya?” timpal ayah Rivki. “Anak muda jaman sekarang, suka … apa bun, namanya yang di yutup-yutup itu?” “Prank, Yah ….” “Ah, iya prank. Kamu pasti mau prank kami, kan? Percuma Mara, gak akan mempan.” “Tapi Amara serius, Ayah. Ini bukan prank.” “Kamu nggak biasa-biasnya seperti ini loh. Coba bersih-bersih dulu, siapa tau nggak ngelantur gitu ngomongnya.” Putrinya itu terlihat pucat dan lesu. Bibirnya seperti ingin bergerak-gerak namun tidak mengatakan apa pun. “Bener kata ayahmu, Ra. Mungkin kamu butuh bersih-bersih dulu, kan biasanya dari luar banyak mahkluk astral nempel di badan kita. Udah ayo gih, cepat mandi habis itu sholat terus istirahat.” Bunda Amara menghampiri menggandeng tangan putri kesayangannya itu. Namun, Amara mematung, masih dalam pendirian ingin mengatakan yang sebenarnya pada Ayah dan bundanya. “Saya nggak mau, Bun. Kalian harus dengerin mau saya sekarang juga.” Kali ini tatapan ayah Rivky mulai menajam menatap Amara yang sedang mengumpulkan seluruh keberaniannya. Mereka semua kini duduk di sofa ruang tamu secara bersamaan. Amara duduk sendiri menghadap kedua orang tuanya. Keringatnya terus saja membanjiri pelipis sebelum bicara. Sampai ia menggunakan kedua lengannya untuk membersihkan cairan yang keluar dari tubuhnya itu. “Saya benar-benar sudah memutuskan soal hubungan pernikahan dengan mas Kafeel. Batal.” “AMARA!!” Seketika Amara terperanjat kaget, mulutnya tertutup rapat. Tangan gadis itu saling bertaut di pangkuannya. Ia sama sekali tidak berani menatap mata kedua orang tuanya. "Mimpi apa sih, gue kemari malam, sampai sekarang ada di situasi ini?" “Apa kamu pikir ini mainan? Apa acara lamaran yang sudah diadakan sama mbak Calista Cuma sandiwara semata? Sebelum bilang seperti ini kamu harusnya mikir dulu!” bentak Ayah tidak terima. “Ayahmu benar, Ra. Lagian … bukannya kamu sendiri yang bilang kalau kamu sangat setuju dengan perjodohan ini? Karena kamu sudah mencintai nak Kafeel sejak lama? Tapi sekarang kenapa kamu ngomong seperti itu?” “Karena saya sebenarnya nggak cinta sama mas Kefeel, Bun. Saya pura-pura suka sama dia, karena nggak mau lihat kalian sedih kalau nolak. Tapi sekarang, setelah saya pikir-pikir sepertinya enggak bagus kalau perjodohan ini dilanjutkan.” Amara terus saja bicara sambil menunduk. Memang seperti inilah, Amara. Dia adalah yang sering dibilang penurut tidak pernah membantah sekalipun jika sedang diperintah oleh orang tua. Tapi kini gadis itu berbanding 180 derajat dari biasanya. Zana, ibu Amara seketika lemas setelah mendengarkan pernyataan dari putrinya itu. Ia hanya berpegangan pada lengan sang suami. “Sebenarnya ada apa ini? Kenapa tiba-tiba kamu bilang batal seenaknya gitu? Undangan sudah jadi, katering pun sudah siap. Mau ditaruh mana muka Bunda kalau keluarga besar kita, kalau mereka tau hal ini?” Bunda Zana memijat pangkal hidung. Seketika kepalanya terasa pening mengetahui permintaan Amara. Keluarga mereka baik-baik saja … selalu menjadi bahan ejekan, apa lagi jika salah satu dari mereka mendengar kalau Amara membatalkan pernikahan. “Seharusnya kalau kamu nggak mau, bilang dari awal. Jadi ayah bisa bilang ke Calista semua pasti bisa diatur. Sekarang gimana aku hadapi semua. Bahkan seluruh tabungan ayahmu sudah habis buat mempersiapkan pernikahan kamu yang sebentar lagi.” Amara benar-benar tertunduk tidak berani mengangkat wajahnya. Ia tahu jika ekspresi wajah ayahnya seperti itu sudah dalam fase marah besar. “Aku nggak nyangka, anak yang kita banggakan selama ini seperti sekarang, Bun. Masih mending Amira, walau dia membangkang tapi nggak pernah bikin orang tuanya malu seperti sekarang.” “Maafkan Amara, Ayah. Saya tau ini salah, tapi … percayalah, Amara ngelakuin ini demi kalian.” “Nggak ada yang baik selama kamu masih bersikukuh mau batalin pernikahan ini, Ra. Bun, tolong buatkan teh untuk Ayah. Bawa ke kamar.” “Ayah, saya mau bilang ke Tante Calista. Biar saya yang minta maaf ke keluarga mereka.” Namun, tampaknya ayah Amara tidak peduli lagi. Pria itu beranjak dari tempat duduknya. Tanpa menoleh atau atau bersuara pergi meninggalkan ruangan untuk ke kamar. “Bun—“ Bunda pun menggeleng tanpa mau membalas Amara. “Jangan bicara apa pun buat sekarang, karena situasi masih panas.” Lalu pergi berjalan ke arah dapur untuk membuat teh untuk Ayah. Tidak hanya kedua orang tua Amara saja yang merasa sedih karena pembatalan pernikahan. Tapi juga dengan Kafeel calon suami Amara. * Di restoran ternama di kota Jakarta Kafeel duduk dengan tenang. Mengenakan kemeja putih dibalut jas berwarna navy. Rambut pria itu juga tertata rapi, membuat wajahnya memiliki alis tebal semakin terlihat tegas. Dari kejauhan lelaki itu tersenyum saat menatap Amara berjalan menghampirinya. Dia segera berdiri menyambut Amara, tatapannya seolah terkesima melihat penampilan gadis itu yang memakai dress warna hitam dengan rambut lurusnya tergerai rapi. "Apa kabar?" tanya Kafeel sambil menarik kursi ke belakang mempersilahkan Amara duduk. Sedangkan Amara sendiri tidak bisa menutupi ekspresi kegugupannya. Wajahnya tegang ia terlihat menahan napas sesekali, tersenyum canggung saat Kafeel menatapnya. "Ketika aku dapat kabar, kalau kamu sudah pulang dari Bali langsung cepat-cepat dari Singapure, lagian ada benarnya juga, pernikahan kita sudah beberapa Minggu lagi," ucap Kafeel. Melihat raut wajah lelaki itu benar membuat Amara tidak tega akan mengatakan keputusannya. "Gimana liburannya? Are you happy?" "Ya... i'm happy." Amara dengan tepaksa berkata seperti itu. Setelah kemudian suasana keduanya kembali menjadi sunyi. “Maafkan aku, Kak. Sebenarnya aku nggak mau ini terjadi, tapi….” Ini semua gara-gara cowok itu. Andai saja Amara tidak bertemu dengan dia, pasti semua baik-baik saja. Sekarang kalau sudah begini apa yang harus Amara lakukan? Amara meneguk saliva berkali-kali menandakan kegelisahannya. Ia menarik kedua sudut bibirnya dengan terpaksa. Siapa sangka di balik senyum itu tersemat rasa bersalah yang mendalam. “Kak, aku ngerasa enggak enak banget sekarang. Ada yang ingin ku sampaikan tapi aku nggak tau mulai dari mana." Kafeel mengerutkan dahi, wajahnya tampak serius memperhatikan Amara. "Apa yang mau omongkan? Apa ada hal yang sangat penting?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD