Episode 2: Kota Bali

1133 Words
Bali menjadi salah satu destinasi wisata paling poluler di Indonesia karena banyak keunggulan di pulau Dewata itu. Membuat banyak wisatawan tertarik untuk mengunjungi. Di antaranya adalah keempat sahabat yang sudah sejak lama terjalin. Mereka semua berdiri di atas sebuah bukit karang dengan ketinggian sekitar sembilan puluh tujuh meter di atas permukaan laut. Semua pengunjung tidak hanya dapat menikmati suasana yang sakral dan religius, tetapi juga pemandangan yang indah serta unik dari atas sana. “Waow ini amazing banget … keren sumpah, demi apa pun, keren banget!” seru Anggelina sambil menyaksikan luasnya hamparan Samudra India, dengan ombak yang menghantam kaki tebing. Selain itu, mereka juga dapat menikmati indahnya pemandangan matahari terbenam tanpa adanya halangan yang menghalangi pemandangan sunset. “Coba aku datangnya sama calon suamiku, ya? Pasti lebih seru, suasananya bikin romantis.” Seorang gadis bernama Amara Meiysara 24 tahun, berkulit putih, berambut lurus panjang sepunggung, memakai kaca mata hitam bertengger di atas hidung menatap depan. Semburat kuning di langit menyapa saat senja. Amara berpakaian kaos berwarna putih dan celana panjang, selendang yang sudah disediakan oleh pengelola pariwasata diikat di pinggang. Begitupun teman-teman lainnya. “Salah lo sendiri, kenapa nggak ajak dia? Kalian kan udah mau nikah, masa jalan berdua aja nggak pernah?” timpal salah satu teman Amara bernama Selly memiliki rambut panjang kini di cempol di belakang kepala. “Iya loh keramat banget, masa jalan aja hampir nggak pernah. Makanya sekarang puas-puasin karena hidup lo sebentar lagi nggak akan sebebas ini, tau nggak?” Amara berfokus melihat deburan ombak di bawah sana. Ia menyunggingkan bibir, kedua tangannya memegang batu pembatas. “Sebenarnya bukan gitu … mas Kafeel calon suami gue itu, orangnya sibuk. Dia itu rajin kerja buat masa depan kami nanti setelah nikah,” jawab Amara santai. “Oh, ya? Lo beneran cinta sama dia? Maksud gue, kalian kan, mau nikah karena dijodohin. Ya secara gitu, hari gini masa masih ada yang begituan. Kuno banget tau nggak, sih?” Nindy yang sedari tadi diam kini ikut menimpali. “Selagi cowok yang dipilih buat gue baik-baik aja, kenapa harus repot? Lagian … gue juga udah deket selama ini sama mas Kafeel. Bukan deket sih, lebih tepatnya gue yang suka sama dia, ha ha ha.” Amara adalah seorang gadis berprofesi sebagai asisten dokter kecantikan. Sosoknya terlahir dari keluarga sederhana dan harmonis menjadikannya gadis periang dan pandai bergaul. Namun, semenjak Amara kuliah hingga ia lulus dari Universitas tidak pernah memiliki hubungan serius dengan para pria. Sebab, ia selama ini hanya disibukkan dengan cita-cita yang tinggal selangkah lagi menuju kesuksesan. Sebulan lagi ia akan menikah dengan seorang pria bernama Kafeel (karena pria itu adalah pria yang memiliki kepribadian sama seperti Rivki—ayahnya, penyayang dan bertanggungjawab pada suatu hubungan.) Amara menyetujui begitu saja tanpa banyak berpikir. “Dasar lo, Ra. Padahal pilihan sendiri kan lebih enak.” “Keren banget ya, pemandangan di sini, bikin betah.” Amara mengalihkan pembicaraan. Matahari mulai menyingsing, semburat kuning kian membuat warna langit keemasan. Amara, Anggelina, Selly dan Nindy duduk berkumpul dengan wisata lainnya, mau pun warga lokal atau asing. Untuk melihat pertunjukan tari kecak khas bali dengan pemandangan matahari tenggelam. Di ujung tebing penari kecak yang terdiri laki-laki sekitar lima puluh penari. Mereka secara bersamaan mengucapkan, “Cak … cak … cak ….” Para penari menari dengan menggunakan sarung hitam-putih secara serentak. Mereka berempat dan pengunjung asyik melihat keseruan pertunjukan. Amara memotret gambar diri teman-temannya secara bersamaan menggunakan kamera yang dia kalung kan ke leher. Amara juga memotret objek-objek lain. Seperti matahari di atas laut yang berkilauan seperti taburan kristal. Setelah mendapat gambar pas, Amara memotret wisatawan-wisatawan yang sedang duduk di sekitarnya. Ckrek! Satu kali ia menekan tombol pemotret itu seketika mendengus saat melihat hasil jepretannya di dalam kamera. “Kenapa, Ra?” tanya Anggelina saat melihat temannya itu mengerutkan dahi kesal. “Nih, lo lihat aja sendiri.” Amara memberikan kameranya pada Anggelina. “Waow … Arkha? Kenapa dia bisa di sini?” tanyanya. Sedangkan Amara hanya mengedikkan kedua pundak tak mau tahu. Teman-teman lainnya saat mendengar nama Arkha seketika menoleh mencari keberadaan cowok yang selama ini dikagumi selama di kampus dulu. “Itukan model yang lagi naik daun itu, kenapa juga dia nempel-nempel kayak gitu sama Arkha?” Nindy membulatkan mata lebar tak percaya. “Kayak tau aja lo.” Anggelina menimpali. “Eh, coba kalian lihat!” ucap Sally sambil menunjukkan ponsel pada taman-tamannya. Di layar terlihat seorang laki-laki berpenampilan modis memakai celana denim ditambah atasan sebuah kaos berwarna hitam. Laki-laki itu berpose di depan bandara Ngurah Rai Bali. Wajahnya tampan dibingkai dengan alis tebal hidungnya mancung sementara bibirnya tersenyum bagai racun. Membuat teman-teman Amara kegirangan. “Ini di akun sosial media caption dia lagi di Bali cari angin. Tapi bukannya seminggu lalu dia pacaran sama Nadia ya? Kenapa sekarang sama itu model?” imbuh Nindy. Amara memutar bola mata malas. Mending melihat para pria bule yang sedang duduk di seberangnya itu dari pada bahas Arkha yang selama ini ia benci sebab tingkahnya yang urakan. “Mending masukkan hp mu ke tas, deh, Sal. Gue kasihan kalau sampai di ambil monyet nanti.” Amara memotong keseruan teman-temannya yang sibuk scrolling foto-foto Arkha terbaru. Tidak kunjung didengarkan, justru teman-temannya itu semakin asyik membicarakan Arkha. Amara mendengus mengambil kamera dari tangan Anggelina lalu pergi meninggalkan lokasi tarian Kecak. Amara sibuk memotret objek objek lain. Hutan rimbun di sekeliling hingga tanpa sadar ia berjalan terlampau jauh dari teman-temannya. Amara menaiki tangga menuju pura. Melihat matahari dari atas sana terlihat begitu indah, hingga tak terasa hari sudah gelap. Merasa puas dengan hasil jepretannya gadis itu memilih turun untuk mencari teman-temannya. Akan tetapi saat ia ke lokasi awal di mana teman-temannya berkumpul, hanya ada orang lain di sana. Ke mana mereka semua? Amara semakin panik saat tau ternyata teman-temannya meninggalkan sendirian di sana. Amara langsung bergegas jalan keluar sambil mencoba menelepon salah satu dari mereka. Bulu-bulu kuduknya merinding saat melewati pinggir-pinggir pohon sebelah kanan jalan. “Aduh, mereka ini ke mana, sih? Nggak lucu tau, main tanggal-tanggal gue gitu aja.” Amara terus saja menggerutu sepanjang jalan menuju pintu keluar. “Ah, Astaghfirullah … hape gue. Aduh gimana ini? Hus … hus!” Ponsel yang dipakai Amara untuk menghubungi taman-tamannya tiba-tiba di ambil oleh seekor monyet. Dibawa lari ke dalam hutan. “Mana hape baru aja dibelikan Ayah lagi. Kalau sampai tau hilang, pasti langsung kena semprotan cabe tiga hari tiga malam nih.” Kini Amara hanya bisa memijat pelipisnya sambil satu tangannya berkacak pinggang. Mau kejar itu monyet pun sudah percuma. “Duh, gini amat deh nasib gue.” Ia sampai ke pintu keluar hanya tinggal membawa kamera yang menggantung di lehernya saja. Dan apesnya lagi, tas Amara ada bersama teman-temannya tadi. Dengan terpaksa Amara mengayunkan kaki ke pinggir jalan. Berharap bertemu dengan teman-temannya. Kini kemalangan gadis itu kian menjadi saat tiba-tiba rintik hujan mulai turun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD