04 | Kesedihan Zahara

1519 Words
Zulfikar melangkah cepat dan membuka pagar yang tidak terkunci. Ia berlari kecil mendekati Ainun dan membantunya berdiri. "Kamu gak apa-apa?" tanya Zulfikar cemas. Mereka masih sama-sama belum menyadari kedekatan di antara mereka. Bahkan Zulfikar menyentuh lengan Ainun ketika membantunya berdiri dari jatuh tadi. Karena tanah basah, jadi tanpa sengaja Ainun terpeleset jatuh saat akan membuang sampah yang telah ia kumpulkan tadi. Sontak saja bokongnya mendarat indah di tanah basah. Alhasil, kini baju daster panjangnya kotor terkena becek. Zulfikar membantu Ainun berjalan ke arah bangku dan mendudukkannya di sana. "Kamu duduk aja di sini, sisanya biar aku yang kerjakan," pinta Zulfikar lembut. Merasa tidak enak hati, Ainun pun meminta maaf dan mengucapkan terimakasih berkali-kali karena Zulfikar sudah membantunya menyelesaikan urusan sampah-sampah tadi. Meskipun sampah-sampah tadi hanya berupa dedaunan saja, tapi Ainun tetap merasa tidak enak hati karena laki-laki yang ia tahu memiliki perasaan untuknya, berbaik hati mengumpulkan kembali dan membuangnya ke tong sampah. Setelah semuanya selesai, Zulfikar berbalik dan mendekat ke arah Ainun. "Di mana yang terasa sakit?" Masih ada nada cemas di sana. "Gak ada, aku hanya terpeleset bukan terkilir. Sekali lagi makasih, ya, udah nolongin aku." Ainun tidak mungkin mengatakan pada Zulfikar kalau pantatnya yang sakit, bukan? Ainun masih punya rasa malu, apalagi laki-laki itu bukan mahramnya. "Kalau tidak apa-apa, aku permisi dulu, lain kali kamu harus hati-hati, apalagi sekarang kayaknya udah musim hujan, jalanan becek biasanya licin." Setelah memberi petuah dadakan, Zulfikar pun undur diri dan berlalu dari sana. Lima menit setelah kepergian Zulfikar, Ainun yang belum beranjak dari sana kembali mengingat kejadian tadi. Begitu ia sadar bahwa Zulfikar menyentuh lengannya dan memapahnya duduk di bangku, seketika rasa malu dan degup jantung kembali menghampiri. Ainun berulang kali beristighfar di dalam hati. Dan sesekali helaan napas berat terdengar keluar dari hidung dan mulutnya. Ainun meraup wajahnya lalu bangkit dan masuk kembali ke dalam rumah. Mencuci kaki dan tangan, kemudian Ainun masuk ke kamar. Mengambil handuk dan kain sarung, Ainun berjalan ke kamar mandi. Membersihkan diri karena sudah kotor akibat terjatuh tadi. Setelah mandi, Ainun merebahkan diri di atas kasur. Menatap langit-langit kamar dan perlahan-lahan matanya mulai terpejam. Sementara di pasar, Zulfikar sedang memilih-milih berbagai macam sayuran, ikan, dan rempah-rempah yang diperlukan. Hari pertama bulan puasa, pasar masih terlihat ramai. Para pembeli dan penjual tidak memanjakan diri bergelung di bawah selimut, ada yang lebih mereka butuhkan daripada hanya sekedar melanjutkan tidur. Si penjual yang mencari rezeki buat anak istri, dan si pembeli yang memerlukan bahan dapur untuk mengisi perut keluarganya waktu berbuka nanti. Sama-sama saling membutuhkan. "Bang Joel pagi-pagi udah ke pasar aja, mau beli apa, Bang?" Sapa salah seorang penjual ikan yang kebetulan mengenal Zulfikar. "Beli apa yang patut dibeli," jawabnya sambil mengangkat beberapa kantong plastik yang sudah terisi berbagai macam sayur dan rempah-rempah kepada penjual tadi. "Gak sekalian ikannya, Bang?" "Ada ikan apa aja?" Zulfikar mendekat dan melihat-lihat ikan yang akan ia beli nanti. "Banyak, Bang! Abang pilih aja mau yang mana." Zulfikar akhirnya memilih ikan mujair dan udang. Setelahnya ia kembali ke tukang rempah-rempah untuk membeli patarana. Dalam bahasa Aceh disebut dengan pliek. Patarana ini sendiri terbuat dari kelapa yang telah dibusukkan terlebih dahulu, kemudian dikukur dan dijemur. Setelah selesai berbelanja, Zulfikar kembali pulang ke rumah. Kembali ia melewati jalan depan rumah Ainun, tetapi gadis yang tadi pagi sempat bertegur sapa dengannya tidak terlihat lagi batang hidungnya. Zulfikar tersenyum kecil mengingat interaksi mereka tadi pagi. Gadis itu telah banyak berubah. "Ini yang Kak Leha pesan tadi." Zulfikar menyerahkan belanjaannya kepada Zulaikha, sang kakak yang selama ini mengasuhnya setelah kedua orang tua mereka tiada. Zulaikha mengambil barang belanjaan di tangan Zulfikar lalu memilah-milah antara sayur dengan ikan. "Kamu beli ikan Mujair juga, Joel?" tanya Zulaikha heran karena ia tidak memesan ikan Mujair. "Iya, tadi aku liat ikan itu tiba-tiba ingin dibuatin kuah pliek untuk berbuka nanti." Zulfikar menjawab sambil mencuci kedua tangan dan kakinya di selang air yang ada di samping kamar mandi. "Gak ikut buka puasa bersama di Masjid?" "Enggak, nanti sore aku harus jualan es kelapa muda. Lagipula ini baru hari pertama puasa, biasanya buka puasa bersama dimulai pada hari ketiga puasa." Setelah menjawab, Zulfikar masuk ke kamar. Berganti baju kemeja dengan kaos oblong dan celana dengan kain sarung, Zulfikar merebahkan diri di atas kasur. Rasa lelah kini menghampirinya. ***** Ainun terbangun tepat pukul setengah satu. Beberapa menit lagi waktu Dzuhur akan tiba. Bergegas ia bangun dan beranjak ke kamar mandi. Namun langkahnya terhenti karena mendengar suara percikan air di kamar mandi. Ainun berbalik dan duduk menunggu di ruang tengah sambil tidur-tiduran. Matanya terpejam, rasa kantuk masih menghujam matanya. Lima menit kemudian wangi sabun memenuhi penciumannya. Perlahan ia buka mata dan melihat abangnya tengah menatapnya lama. "Kenapa tidur di sini?" "Nungguin Abang keluar dari kamar mandi," jawab Ainun seraya melentangkan kedua tangannya minta ditarik. Syamsul yang mengerti maksud adiknya lantas menarik Ainun hingga berdiri tepat di depannya. "Manjanya Adek Abang!" Syamsul mencubit pipi Ainun gemas. Ainun menyengir, lalu meninggalkan Syamsul yang masih berdiri melihat kepergian Ainun ke kamar mandi. Ia teringat percakapannya dengan Zulfikar semalam. Bisakah ia mempercayakan Ainun kepada Zulfikar? Syamsul berharap yang terbaik untuk adiknya. Setelah putus tunangan dengan Raina, membuat Syamsul berhati-hati memilih pasangan untuk adiknya. Ia tidak mau kisahnya terulang kembali kepada Ainun. Karena waktu Dzuhur tidak lama lagi, Syamsul bergegas masuk ke kamar dan bersiap-siap untuk ke masjid. Syamsul keluar bertepatan dengan Hanum. "Mau ke mana?" "Ke Masjid, Mak," jawab Syamsul. Dengan baju teluk belanga warna navy dan sarung tenun warna hitam serta peci putih menghiasi kepalanya, membuat ketampanan Syamsul makin bersinar. Hanum tersenyum. Sungguh anak laki-lakinya itu serupa dengan almarhum Rasyid, suaminya, ayah dari anak-anaknya. "Mak, Abang pergi dulu, ya." Hanum mengangguk. "Hati-hati!" Seru Hanum. Syamsul segera mengeluarkan sepeda motor dan melaju menuju masjid. Dalam perjalanan, ia berpapasan dengan Rais yang hendak ke Masjid. Ainun yang baru keluar dari kamar mandi terlihat lebih segar daripada tadi saat ia baru bangun tidur. Mengambil mukena dan menggelar sajadah, Ainun bersiap untuk mendirikan shalat. "Assalamu'alaikum...!" Suara salam terdengar dari luar. "Wa'alaikumsalam...!" Gegas Ainun keluar kamar dan melihat siapa yang datang. Seketika Ainun tersenyum melihat sosok Zahara. "Masuk Zahra," ajak Ainun. Zahara masuk. Wajahnya tampak pias. Memendam perasaan tidak membuat hatinya tenang, mungkin dengan mencurahkan pada sang sahabat bisa mengurangi rasa sesak di dadanya. Itu yang dipikirkan oleh Zahara. Keduanya kini duduk di kursi ruang tamu. "Nun, aku ganggu gak?" Mendengar nada sendu dari bibir Zahara membuat Ainun bertanya-tanya. "Ada apa, Ra? Kamu lagi ada masalah?" Zahara mengangguk dengan tatapan mata yang berkaca-kaca. "Hatiku sakit, dadaku sesak, Nun," ucapnya lirih. "Kenapa?" "Jujur aku menyukai seseorang, tapi...," "Tapi apa?" tanya Ainun tidak sabar. "Tapi kayaknya dia gak menyukaiku." "Boleh aku tau siapa dia?" "Aku malu, Nun," gumam Zahara. "Kenapa malu?" "Karena dia adalah..., ah, aku belum bisa bilang dia siapa, Nun, maaf, ya." Zahara menundukkan wajahnya. Airmata akhirnya meleleh tanpa bisa ia cegah. Ainun yang mengerti bagaimana perasaan Zahara tidak memaksa. Hanya tepukan lembut di bahunya yang bisa ia berikan sebagai bentuk kasih sayang. Keheningan tiba-tiba tercipta, hanya segukan Zahara yang terdengar samar. "Eh, ada Zahara rupanya, udah lama, Ra?" Hanum yang baru keluar dari kamar mandi terkejut mendapati anak gadisnya menepuk-nepuk tubuh sang sahabat yang terlihat bergetar. Sebelum mendongak, Zahara mengusap airmatanya. "Baru aja," jawabnya dengan menyunggingkan senyuman. "Udah shalat? Kalau belum, shalat aja di sini." Zahara mengangguk, setelah itu Hanum memasuki kamarnya dan meninggalkan Ainun bersama Zahara. "Yuk, Ra, kita shalat di kamar aku aja. Kamu belum shalat, kan? Siapa tau setelah shalat nanti hati kamu jadi tenang." Lantas keduanya pun beranjak dari sana. Zahara ke belakang untuk berwudhu, sedang Ainun masuk ke kamar dan mengambil mukena serta kain sarung yang baru di dalam lemari untuk diberikan kepada Zahara. Kemudian ia ke kamar Syamsul dan mengambil sajadah abangnya. Sebelum Zahara kembali dari belakang, Ainun sudah menggelar sajadah di sampingnya. Keduanya khusyu' bermunajat dengan diimami oleh Ainun. Dalam sujudnya, Zahara mencium bau harum Syamsul di sajadah yang ia sujudi. Airmatanya kembali menetes. Setelah shalat, Zahara memohon ampun pada Allah. Tidak pernah ia seperti ini sebelumnya. "Ini sajadah Bang Syamsul, ya, Nun?" "Iya, kenapa? Bau, ya?" Alis Ainun terangkat sebelah tatkala melihat airmata Zahara kembali mengalir di kedua pipinya. "Kamu kenapa?" Akhirnya rasa penasaran Ainun tidak terbendung lagi. "Bilang sama aku, kenapa kamu menangis, heum?" Ainun mendekap Zahara dalam pelukannya. Meskipun rasa penasarannya tidak terbendung, akan tetapi ia mesti sabar menanti jawaban dari bibir Zahara asal sahabatnya itu tidak lagi bersedih hati. Lima menit menunggu, akhirnya dengan sisa-sisa tangisan tadi, Zahara pun menjawab setiap pertanyaan yang Ainun lontarkan tadi. Dan sebelum Zahara menjawabnya, ia meminta Ainun untuk merahasiakan apa yang akan ia utarakan nanti. Setelah mendapatkan persetujuan Ainun, Zahara menarik napas dalam-dalam lalu berkata, "Sebenarnya aku menyukai Bang Syamsul. Dan aku cemburu melihat Kak Minah bergedik ria cari perhatian Bang Syamsul di pekarangan Masjid tadi." Sontak saja Ainun terkejut mendengar penuturan Zahara. Ia tidak menyangka sang sahabat menyimpan rasa terhadap abangnya. Ainun pikir-pikir, daripada Kak Minah, lebih baik Bang Syamsul bersama Zahara. Tetapi Ainun tidak tahu bagaimana perasaan Bang Syamsul setelah pertunangannya batal dengan Raina dulu. Apakah pintu hati abangnya masih terbuka atau sudah tertutup? Ainun mendesah pelan. Menatap sayu Zahara di depannya. Ia berjanji, bagaimanapun caranya, Bang Syamsul dan Zahara harus bisa bersama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD