05 | Bakal Calon Istri

1559 Words
Ainun duduk terpekur di bangku dapur seorang diri. Setelah mengetahui tentang perasaan Zahara, Ainun memikirkan apa selanjutnya yang harus ia lakukan kepada dua orang itu. Apa ia harus mengatakan kepada Syamsul tentang perasaan Zahara atau tidak? Atau Ainun sendiri yang harus menjadi Mak Comblang untuk mereka berdua? Ah, Ainun pusing...!!! "Kamu kenapa terbengong-bengong di situ, Nun? Anak gadis melamun di dapur, kesambet hantu perjaka baru tau rasa kamu." Suara teguran Hanum menyapa gendang telinga Ainun. Lantas ia menyengir menanggapi omelan ibunya. "Masak apa kita hari ini, Mak?" "Punya kemarin masih ada sisa? Kalau masih, itu aja dipanasin," ujar Hanum. Ainun bangkit dari duduknya dan menyeret kakinya ke arah kulkas. Ia keluarkan beberapa masakan kemarin yang masih tersisa. Karena ini hari pertama puasa, Hanum tidak terlalu memikirkan bekalan apa yang akan mereka masak untuk buka puasa nanti. Selagi masih ada sisa kemarin, lebih baik mereka menghabiskan itu saja. Hanum sudah menanamkan kepada kedua anaknya agar tidak memubazirkan makanan. Karena mubazir itu kawannya setan. Karena tidak ada menu baru yang dimasak, Hanum duduk di bangku samping rumah. Tidak lupa Al-Qur'an dibawanya. Membaca Al-Quran di luar apalagi cuaca dingin begini menambah kesan kedamaian di hati. Di tambah dengan pemandangan pekarangan yang begitu indah. Pepohonan yang berdiri tegap, dedaunan yang bertiup searah dengan tiupan angin, dan udara lembab yang menusuk sanubari. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Baru saja Hanum akan membaca Al-Qur'an, suara salam dari luar pagar menyapa pendengarannya. "Assalamu'alaikum...!" "Wa'alaikumsalam, masuk Joel!" Zulfikar masuk dan duduk di samping Hanum. "Mak Cik mau ngaji?" Zulfikar bertanya karena melihat Hanum memegang Al-Qur'an. "Iya," jawab Hanum singkat. "Ya Allah, maaf saya mengganggu Mak Cik rupanya," ucap Zulfikar merasa tidak enak hati. "Gak apa-apa." Hanum menenangkan pemuda di depannya. "Ada apa kemari, Joel?" "Ini soal yang kemarin lalu, Mak Cik. Apa boleh langsung saya petik kelapanya?" "Oh iya, kelapa yang kamu minta tempo hari itu, ya. Boleh, boleh, petik aja seberapa kamu mau, nanti masalah duitnya kamu kasih sama Syamsul aja, ya. Sekarang dia lagi di Masjid." "Iya, tadi saya ada jumpa Bang Syamsul di Masjid." Zulfikar mengedarkan matanya mencari sosok yang ia harap kehadirannya. "Ainun mana Mak Cik? Gak nampak batang hidungnya dari tadi." "Lagi di dapur dia," jawab Hanum. "MasyaAllah, masakan Ainun pasti enak, ya Mak Cik? Harumnya aja sampai ke sini, jadi teringin sangat saya merasakan masakan Ainun," seloroh Zulfikar. Hanum terkekeh. "Cuma panasin punya kemarin aja, Joel, gak ada istimewanya." "Tapi bagi saya istimewa, Mak Cik." Zulfikar tertawa menanggapi ucapan Hanum. "Kalau istimewa, ya halalin biar gak keduluan orang lain." "Beneran Mak Cik? Saya serius loh!" "Mak Cik malah duarius lagi." Sontak saja Zulfikar dan Hanum tertawa bersamaan. Ainun yang sedang menakar beras menghentikan takarannya ketika suara tawa terdengar di rungunya. "Dengan siapa Mamak ketawa?" Karena penasaran, Ainun menyeret langkah kakinya ke pintu samping setelah menarik jilbab kaos di sandaran bangku dan memakainya. Matanya terbelalak melihat pemuda yang tadi pagi menolongnya. "Nah, ini dia bakal calon istrinya saya udah keluar, Mak Cik." Zulfikar tanpa sungkan langsung menjaz Ainun sebagai calon istrinya. "Enak aja," spontan Ainun menjawab sambil melotot gusar. "Emang enak, apalagi kalau sudah halal, ya gak, Mak Cik?" Zulfikar mengerling ke arah Hanum meminta persetujuan. Seakan mengerti, Hanum juga ikut menggoda anak gadisnya. "Tentu saja!" Ainun tidak bisa berkata-kata lagi. Keusilan dan kejailan Zulfikar kepadanya masa kecil dulu rupanya tidak menghilang begitu saja. Karena waktu berjalan terus, Zulfikar tidak berlama-lama mengganggu Ainun. Ia langsung pamit. Tujuannya ke kebun tidak bisa ia tunda lagi, nanti sore ia sudah harus mulai jualan es kelapa muda untuk bukaan orang puasa. Sepeninggal Zulfikar, Hanum mulai membaca Al-Quran, sedang Ainun melanjutkan kembali kegiatannya di dapur. ***** "Is, menurutmu si Joel bagaimana?" "Bagaimana apanya?" Rais mengernyit bingung. Setelah shalat Dzuhur dan tadarus sebanyak satu juz, Syamsul dan Rais duduk-duduk di serambi Masjid sambil menatap pohon-pohon kelapa di kebun Syamsul. "Semuanya," jawab Syamsul. "Yang lebih spesifiknya gimana?" tanya Rais lagi. "Mmm...," Syamsul berpikir sejenak. Karena tidak ada jawaban dari Syamsul, Rais menjawab, "Selama aku melihatnya, dia itu baik. Enggak neko-neko apalagi suka lirik sana lirik sini. Pendiam dan gak banyak bicara. Itu yang aku lihat selama aku berinteraksi dengannya." "Jadi kalau dia datang melamar, apa aku harus menerimanya?" gumam Syamsul pada diri sendiri. "Eh! Apa? Melamar siapa?" Rais menoleh cepat ke samping, ke wajah Syamsul tepatnya. "Apa? Melamar siapa?" "Jangan kamu ulangi soalanku! Tadi aku dengar kamu bilang apa harus menerimanya kalau dia datang melamar. Emang siapa yang mau dia lamar? Ainun?" tanya Rais tepat sasaran. "Iya." "Terima aja kalau menurutku sih, selama ini juga aku liat dia orangnya baik, seperti yang aku bilang tadi. Shalatnya juga gak pernah tinggal. Tapi kembali kepada mereka sih, yang menjalani kan mereka berdua." Orang yang mereka bicarakan tiba-tiba datang menghampiri. "Assalamu'alaikum wa rahmatullah...." "Wa'alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh," jawab Syamsul dan Rais bersamaan. "Ya sudah, aku ke kantor sekretariat dulu," pamit Rais seraya beranjak dan meninggalkan Syamsul berdua dengan Zulfikar. Setelah kepergian Rais, Zulfikar merogoh kantung celananya dan mengambil dompet di sana. Ia keluarkan beberapa uang pecahan dua puluh ribu dan satu lembar lima puluh ribu. "Tadi saya ke rumah Abang, kata Mak Cik Hanum, duitnya serahkan kepada Abang. Karena Mak Cik gak menyebut nominalnya, jadi saya kasih segini, apa cukup, Bang?" Syamsul menerima uang yang disodorkan Zulfikar. Ia ambil empat lembar uang pecahan dua puluh ribu dan sisanya ia kembalikan ke dalam genggaman tangan Zulfikar. "Segini cukup, kamu ambil aja seberapa kamu mau itu kelapa mudanya." Zulfikar tidak percaya. "Apa gak sedikit itu, Bang?" "Gak apa-apa," jawab Syamsul. Manik matanya menatap lekat ke manik mata Zulfikar. Ia selami dalam-dalam. Sedang yang punya badan tidak menyadari tatapan Syamsul terhadapnya. "Kalau begitu, saya petik dulu kelapanya, nanti sore saya sudah mulai jualan. Kalau berkenan, bolehlah Abang singgah." Syamsul tersenyum. "Insya Allah." "Assalamu'alaikum, Bang!" Zulfikar pun berbalik dan berjalan ke arah kebun Syamsul setelah Syamsul menjawab salam Zulfikar. Sementara itu, Syamsul juga ikut beranjak dari duduknya dan mengikuti Rais masuk ke kantor sekretariat. Tidak terasa waktu berjalan cepat. Azan Ashar mulai bergema di Masjid dan juga di Meunasah. Zulfikar yang sudah selesai memetik kelapa muda, langsung pulang untuk membersihkan diri. Kelapa muda yang ia petik tadi kini teronggok cantik di dalam dua raga besar. Zulfikar bersyukur, mendapatkan kelapa muda dari kebun kelapa milik Hanum tidaklah mudah. Akan tetapi, entah mengapa Zulfikar merasa mudah saat meminta kapada Hanum untuk membeli kelapa muda yang ada di kebun dekat masjid. Dan semoga saja permintaannya untuk mempersunting Ainun menjadi permaisurinya pun terwujud dengan mudah. ***** "Alhamdulillah, akhirnya selesai juga...!" seru Ainun riang tatkala urusan dapur selesai tepat pas azan Ashar berkumandang. Ainun menghela napas lega dan tersenyum senang. Menu yang terhidang di atas meja makan adalah menu kemarin yang telah ia panaskan. Tinggal minuman dan takjil untuk berbuka yang belum tersedia di atas meja. "Nun...! Kenapa ribut-ribut?" Suara Ainun yang melengking membuat Hanum tergopoh-gopoh mendekati anak gadisnya. Padahal ia baru saja dari kamar mandi. Untung saja ia tidak terpeleset karena rembesan air wudhu di kakinya. "Enggak apa-apa, Mak! Biasa ... aku seneng karena udah selesai manasin semua ini." Ainun merentangkan kedua tangannya ke arah meja, memperlihatkan menu buka puasa nanti. "Halah, itu aja pun, kirain apaan." Hanum pun berbalik tanpa peduli lagi dengan Ainun yang kini terlihat manyun. "Kasiannya dirimu, Nun...," lirih Ainun sembari mendudukkan diri di atas kursi meja makan. Lima belas detik kemudian, ia ambil tudung saji lalu menutup makanan itu. Setelahnya ia seret kakinya ke kamar. Setelah mandi dan shalat Ashar, Ainun keluar rumah. Ngabuburit bersama Zahara keliling kampung. Sore ini wajah Zahara tidak serunyam siang tadi. Kini wajah itu kembali ceria setelah menuangkan seluruh isi hati kepada sang sahabat. "Senyam-senyum aja dari tadi, lagi seneng?" goda Ainun saat Zahara sudah duduk cantik di jok belakang motor matic yang Ainun kendarai. "Jangan mulai, Nun!" Zahara mendelik gusar pada Ainun. Ainun terkekeh. "Iya, iya, maafkan adik iparmu ini, ya, Kak Zahara Sayang...." Ainun semakin gencar menggoda Zahara. "Nyesal aku tuh cerita sama kamu. Kalau aku tau bakalan kamu godain begini, gak akan aku luahkan rasa hatiku terhadap Abangmu." Bibir Zahara mengerucut, tetapi Ainun tidak menyadari karena ia fokus menatap jalanan sore yang kian padat. Meskipun baru hari pertama puasa, tetapi sore-sore seperti ini jalan dipadati oleh bermacam-macam kendaraan yang berlalu lalang. "Persiapan buat Pesantren Kilat nanti bagaimana, Ra? Udah selesai?" Ainun mengalihkan pembicaraan mereka. Ia tidak ingin kenyamanan Zahara terganggu olehnya. "Insya Allah, udah siap semuanya. Kamu kenapa gak ikut?" "Ramadhan kali ini sebenarnya aku mau istirahat dulu, tapi Bang Rais memintaku jadi panitia konsumsi buka puasa di Masjid makanya aku bersedia. Kalau aku bilang terpaksa, 'ntar pahalaku hilang lagi," seloroh Ainun di akhir ucapannya. "Jadi kamu ngelakuin ini tuh karena mengharap pahala, Nun? Kasian bener hidupmu." "Ya, gak juga, sih! Mengharap ridha Allah sih sebenarnya," alibi Ainun sembari tertawa nyaring. Alih-alih ikut tertawa, Zahara mendaratkan pukulan ringan di pundak Ainun. Bisa-bisanya sahabatnya itu bercanda di atas motor yang tengah melaju. Untung saja kecepatannya sedang. "Singgah di tempat Fikar, yuk!" Ajakan Zahara yang tiba-tiba mengisi rungu Ainun membuatnya sontak menekan pedal rem. "Astaghfirullah, Ainun...! Syukur gak ada mobil atau motor di belakang kita, coba kalau ada ... na'udzubillah!" Zahara bergidik ngeri membayangkan apa yang akan terjadi seandainya di belakang mereka sebuah mobil atau motor melaju kencang dan menabrak mereka. Ainun ikut beristighfar. Entah sejak kapan, bila ia mendengar nama Zulfikar keluar dari bibir orang, maka membuatnya kaku seketika? Ainun mendesah lirih sebelum kembali melaju motor matic-nya ke arah tujuan yang Zahara inginkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD