02 | Malam Tarawih Pertama

1399 Words
"Dek, nanti sore kamu ikut Abang ke Masjid, ya, kamu jadi panitia tahun ini." "Hah?! Aku jadi panitia, Bang? Kok bisa? Aku kan udah ijin kemarin sama Bang Rais." Ainun yang sedang tidur-tiduran di depan TV tersentak bangun karena terkejut dengan perkataan Syamsul. "Iya, kamu jadi panitia bagian konsumsi untuk bukaan puasa. Kata Rais, anak-anak banyak yang gak ikut karena mereka masuk khalut tahun ini," jelas Syamsul. Menarik napas dan mengembuskannya, akhirnya Ainun mengangguk setuju. Semoga ini jadi amal tambahan baginya. Tadi siang setelah shalat Dzuhur, Ainun dan Syamsul berbagi sebagian makanan untuk tetangga-tetangga yang kekurangan. Rasa bahagia terselip di hatinya melihat antusias anak-anak tetangganya saat menerima bingkisan rendang dan yang lainnya, karena mereka ikut menyicipi daging sapi dan ayam pemberian Ainun. Ucapan terimakasih pun tidak berhenti keluar dari bibir-bibir mungil itu. Sedangkan orang tua mereka menitiskan airmata keharuan atas rezeki yang Ainun dan keluarganya berikan. Ainun tersenyum mengingat itu semua. Pernah terbayang dalam benaknya, Ainun berada di posisi mereka. Tiba-tiba ia teringat akan ayahnya. Lantas ia mengirimi doa sebagai hadiah untuk ayahnya. "Bang, Ainun, siap-siap kita ke kubur Ayah sekarang!" Baru saja Ainun teringat akan ayahnya, Hanum langsung mengajak kedua anaknya untuk menziarahi suaminya. Syamsul yang memang sudah siap dari tadi, langsung keluar rumah, sedangkan Ainun masuk ke dalam kamar dan mengganti dasternya dengan gamis panjang dan hijab lebar. Sedikit polesan di bibir biar tidak tampak pucat. Selesai dengan dandanan seadanya, Ainun pun keluar dan bergabung dengan Hanum dan Syamsul. "Udah siap? Kita berangkat sekarang!" Syamsul bangun dari duduknya seraya memasukkan ponsel ke dalam saku celananya. Mereka berjalan beriringan menuju ke rumah peristirahatan terakhir suami dan ayah mereka. Di dalam perjalanan mereka bertegur sapa dengan yang lain. "Assalamu'alaikum, Bang, Mak Cik." Suara lelaki menyapa mereka dari belakang. Hanum, Ainun, dan Syamsul menoleh secara bersamaan. "Wa'alaikumussalam,  mau ke kubur juga kamu Joel?" Mendengar panggilan yang keluar dari bibir Syamsul, membuat mata Ainun membola dan mulut menganga, tapi langsung ia tutup sebelum ketahuan. Ainun tidak menyangka, sosok Zulfikar yang dulu ia kenal saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar sangat berbeda jauh dengan Zulfikar yang sekarang berdiri di depannya. Dulu lelaki itu hitam dan dekil, tidak ada sedikitpun wajah rupawan di sana. Tetapi sekarang lihatlah, kemana lelaki hitam dan dekil itu? Tidak ada lagi. Yang terlihat sekarang, sosok pria manis dan manly. Tinggi dan gagah. Mata Ainun seolah tak ingin berkedip menatap wajah lelaki itu. "Astaghfirullah, Ainun, apa yang kau pikirkan?!" rutuknya dalam hati. "Iya, Bang!" "Kita bareng aja ke sana," usul Hanum. "Tidak masalah kalau saya ikut Mak Cik sekalian ke kubur? Siapa tau ada yang kurang berkenan saya bergabung dengan Mak Cik dan Bang Syamsul di sini." Mata Zulfikar mengarah kepada Ainun. Tentu saja Ainun melotot gusar ke arah Zulfikar. "Ainun gak masalah sih kalau situ ikut kami, lagipun ini jalan umum bukan jalan pribadi." Ainun tidak menyadari jika suaranya terdengar ketus di telinga Hanum, Syamsul, dan Zulfikar. "Husstt... lembut sikit suaranya, jangan macam singa nak terkam mangsa," tegur Hanum berbisik di telinga Ainun. Ainun diam tak menanggapi. Sedang Zulfikar tersenyum salah tingkah. Apakah dia berbuat salah sehingga gadis yang ditaksirnya itu bersikap ketus kepadanya? Seingat Zulfikar, ia belum pernah bertegur sapa dengan Ainun semenjak pertemuan mereka terakhir kali di saat wisuda kelas enam SD dulu. Itu semua karena setelah tamat SD, Ainun langsung masuk ke pondok pesantren.  Dan kalaupun Ainun pulang di masa liburan, Ainun tidak pernah sekalipun berkeliaran satu kampung, duduk bergosip ataupun berkumpul-kumpul di kedai orang. "Tak apalah Mak Cik, mungkin tanpa sengaja saya ada berbuat salah pada Ainun." "Maaf, gak sengaja," cicit Ainun. Bagaimanapun ia tidak mau hubungannya dengan manusia manapun tergores luka. Zulfikar mengangguk seraya menyunggingkan senyum. Zulfikar tidak tahu bahwa saat ini hati Ainun sedang bergemuruh, apalagi mengingat perkataan ibunya tentang laki-laki itu yang menanyakan tentangnya satu hari yang lalu. Lima menit kemudian mereka tiba di kuburan. Syamsul dan keluarganya berpisah dengan Zulfikar, karena arah tujuan mereka berbeda. Zulfikar masuk lebih ke dalam lagi, sedang keluarga Syamsul berhenti di pertengahan area kuburan. Mereka mulai mengirimi doa dan bacaan surah yasiin. Setelah selesai, air mawar yang dibawa Hanum, Syamsul alirkan ke atas tanah perkuburan ayahnya. Rumput-rumput kering dibersihkan. Yang tinggal hanya rumput-rumput hijau yang masih hidup. Syamsul tidak mencabutinya, karena rumput itu ikut berzikir dan mengirimi doa kepada ayahnya. ***** Sebagaimana janjinya pada Rais, sorenya Syamsul membawa serta Ainun ke Masjid. Beberapa orang yang asing bagi Ainun tampak sedang duduk santai di beranda kantor sekretariat desa. Ainun menduga bahwa mereka panitia bulan ramadhan tahun ini. Ainun dan Syamsul masuk ke kantor dan bertemu Rais yang sedang menyusun jadwal imam dan bilal buat nanti malam dan seterusnya selama ramadhan. "Assalamu'alaikum, Is, gimana persiapannya?" Syamsul mendekat dan menepuk pundak Rais. "Wa'alaikumussalam, Alhamdulillah udah rampung. Gimana Nun, masih bisa kan ikut meramaikan tahun ini?" tanya Rais kepada Ainun yang berdiri di balik mejanya. "Sebenarnya gak bisa, Bang, tapi mau bagaimana lagi kan, kalau gak ada Ainun pasti acaranya gak lancar." Rais tertawa mendengar ucapan Ainun. Rais tahu, Ainun tidak serius dengan ucapannya. Sedang Syamsul mendelik tak suka. "Ah, Abang gak bisa diajak bercanda." Ainun mencolek lengan abangnya. "Jadi Ainun bagian konsumsinya, ya, Bang? Bakalan meleduk ini perut kalau Ainun dikasih nampak makanan terus, puasa kan Bang, pasti bawaannya lapar dan haus." "Ya jangan dimakan dong. Itu kan untuk jamaah Masjid." "Haaahhh... Abang Rais pun sama kayak Bang Syamsul, candaku dianggap serius." "Makanya kalau lagi serius jangan diajakin bercanda, Abang lamar kamu nanti baru tau rasa." Pipi Ainun berubah jadi merah. Ainun malu kalau orang bahas bab-bab lamar atau nikah. Baginya itu menggelikan. Kalau Zulfikar lamar dia, bagaimana ya? "Ainun...!" Ainun mengetuk kepalanya. Kenapa pula yang terpikirkan di pikirannya itu si Zulfikar. Untung abangnya dan Rais tidak melihat kelakuannya. "Nanti malam, malam pertama tarawih, berarti besok sore kamu harus udah standbay di sini ya, Nun," kata Rais pada Ainun. Ainun mengangguk. Matanya ia arahkan ke atas kertas yang berserakan di atas meja. Susunan imam dan bilal. Ainun mengerjap melihat nama Zulfikar masuk di dalamnya. Nanti malam sebagai imam, dan besoknya sebagai bilal. Abangnya juga terlibat sebagai imam. Kalau Syamsul sudah biasa karena ayah mereka dulu adalah imam besar masjid di desa mereka. Biasanya dipanggil dengan Imum Syik oleh masyarakat sekitar. Sedangkan Zulfikar, baru kali ini Ainun melihat nama itu tertera di atas kertas ikut memeriahkan malam-malam ramadhan di Masjid kampung mereka. ***** Setelah makan dan shalat magrib di rumah, Ainun beserta Hanum bersiap-siap ke Masjid. Ini adalah malam pertama tarawih. Rasa senang di hati Ainun tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Karena baginya, bulan puasa adalah bulan mulia, bulan penuh keberkahan. Ada keistimewaan tersendiri di sana. Pokoknya, Ainun sangat mencintai bulan Ramadhan. "Mak, aku udah siap, Mak udah siap belum?" seru Ainun di ruang tengah di depan pintu kamar Hanum. Hanum membuka pintu. "Udah, jom kita berangkat, kalau telat kebagian shaf belakang nanti." Ainun mengunci pintu samping. Kuncinya ia letakkan di atas ventilasi pintu. Setelah meletakkan kunci di sana, Ainun berbalik dan berjalan mendekati Hanum yang sudah berdiri di pintu pagar. Mereka berjalan beriringan. Banyak handal taulan yang mereka jumpai di jalan. Mereka saling menyapa dan berjalan bersama diiringi canda dan tawa. "Allahu Akbar... Allahu Akbar...." Suara azan mulai terdengar di pengeras suara Masjid. Suara merdu Syamsul menyapa gendang telinga setiap insan yang akan menghamba pada Tuhannya. Salah satunya adalah Siti Zahara, sosok gadis berperawakan mungil yang berdiri di dekat Ainun dan Hanum yang kini sudah memasuki Masjid. Sahabat Ainun. Tidak berlangsung lama, suara iqamah pun terdengar. Setiap jamaah mengambil tempat masing-masing. Apabila shafnya renggang, maka mereka merapatkannya kembali. "Allaahuakbar...." Imam sudah mulai bertakbir. Dan para jamaah mengikuti pergerakan imam. Tampak kekhusyukan di wajah-wajah yang sedang menghadap Tuhan. Apalagi diiringi suara merdu imam yang menambah kekhusyukan mereka. Hati Ainun bergetar saat mendengar suara itu. Ia tidak tahu mengapa. Yang ia tahu kalau itu adalah suara Zulfikar, lelaki yang ia ketuskan siang tadi. Suara itu menyusup ke dalam sanubarinya yang paling dalam. Ia tidak menduga jika sosok itu mampu menghipnotisnya dengan suara merdu bacaan ayat-ayat di setiap rakaatnya. Mulai dari shalat Isya, hingga shalat tarawih, hati Ainun merasa melayang bagai di awang-awang. Sungguh ia sangat menyukai lelaki yang apabila ia membaca tilawahnya dengan lembut lagi merdu, maka Ainun akan jatuh berkali-kali lipat kepada sosok itu. Tidak pernah sekalipun ia memandang dari kegantengan wajahnya, yang penting baginya suara itu bisa menggetarkan hatinya. Apalagi ini yang datang dari sosok yang ia kenal. Zulfikar. Teman masa SD-nya dulu. Teman bertengkar dan berbagi jawaban di setiap guru memberi latihan dan pekerjaan rumah. Bersambung...!!! 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD