"Nun, tadi ada temen SD kamu loh, dia nanyain kamu," kata Hanum, ibunya Ainun.
"Iyakah, Mak?"
"Lah iya, dia tanya kamu udah ada yang punya belum? Ya udah, Mamak bilang aja kamu belum ada yang punya."
Ainun yang sedang menyetrika baju pun menghentikan pekerjaannya lantaran terkejut dengan ucapan ibunya.
"Dikasih tau namanya gak, Mak?"
Hanum mengangguk, "Namanya Zulfikar. Ada gak nama temen kamu itu?"
Ainun berpikir sejenak, kemudian ia menganggukkan kepalanya. "Ada, Mak."
"Kayaknya dia suka sama kamu, katanya kalau kamu belum ada yang punya, dia mau ngelamar kamu. Kamu mau gak kalau dia datang melamar?"
"Dia ngapain ke sini, Mak?" Ainun tidak menjawab pertanyaan ibunya, ia malah balik melontarkan pertanyaan kepada ibunya.
"Dia minta beli kelapa muda yang ada di kebun samping Masjid. Katanya mau dijual besok lusa di pasar Ramadhan untuk bukaan puasa. Besok lusa kan sudah mulai bulan puasa."
Ainun menepuk jidatnya. "Ya Allah, aku lupa kalau besok meugang! Mamak udah sediain duit buat beli daging, belum? Kalau belum, ini ada sama aku."
Ainun bangun dari duduknya mendekati lemari, lalu diambilnya lima lembar uang ratusan dari dalam dompet. Setelah menyimpan kembali dompetnya, Ainun berbalik dan mendekati Hanum. Ia serahkan uang itu ke tangan ibunya, tetapi Hanum menolak pemberian Ainun.
"Gak usah, kamu simpan aja buat keperluan lainnya. Lagipula kemarin udah dikasih sama Bang Syamsul."
"Itu dari Bang Syamsul, kalau ini dari aku." Ainun tetap memaksa dan menaruh cepat di dalam genggaman Hanum.
Dengan terpaksa, akhirnya Hanum menerima pemberian Ainun, lalu beranjak ke dapur. Ainun melanjutkan lagi setrikaannya yang masih tersisa banyak.
"Dek, baju kemeja Abang yang warna biru udah digosok belum?" Syamsul, abang Ainun satu-satunya datang dengan handuk yang masih membaluti setengah badannya.
"Itu udah aku gosok. Emang Abang mau ke mana sore-sore begini?"
Syamsul mengambil kemeja di barisan khusus baju-bajunya yang sudah disetrika oleh Ainun.
"Ramadhan kali ini Abang jadi panitia di Masjid, Dek, jadi nanti malam kami akan mengadakan rapat dalam rangka menyusun jadwal Imam, Bilal, dan juga Muazin, serta jadwal membawa takjil dan bukaan dari warga sekitar untuk para penghuni Masjid."
"Oh, Abang pasti sibuk banget puasa kali ini, ya, Bang?"
"Gak juga, kan ada temen-temen yang lain juga nanti."
"Trus yang beliin daging besok siapa? Jangan Mamak yang beli, kasian Mamak berdesakan di pasar. Abang tau sendiri kan Mamak gak boleh terlalu capek." Ainun menatap ibunya dari balik pintu pembatas antara dapur dan ruang tengah tempatnya duduk menyetrika saat ini.
"Nanti sebelum subuh Abang belikan, biasanya jam-jam dua malam sudah mulai pemotongan lembu." Syamsul menyisir rambutnya, dan setelahnya ia keluar dari rumah menuju masjid yang tidak jauh dari rumahnya.
Ainun melanjutkan kembali setrikaannya yang tinggal sedikit lagi. Sebelum disibukkan oleh masak-masak meugang besok, hari ini Ainun harus sudah menyelesaikan semua setrikaannya.
Meugang adalah tradisi masyarakat Aceh sebelum memasuki bulan Ramadhan. Biasanya di hari itu mereka memasak berbagai macam hidangan dari daging sapi, kambing, ataupun ayam. Setelah hidangan selesai dimasak, mereka akan membagikan sebagian kepada tetangga-tetangga yang kekurangan. Semua itu untuk menguatkan tali silaturahmi di antara mereka.
Dari dapur terdengar suara pisau diasah. Hanum mempersiapkan semuanya untuk memotong daging yang dibawa pulang nanti oleh Syamsul.
"Mak, sini pisaunya biar aku yang asah." Ainun datang menghampiri setelah menata pakaian di dalam lemari.
"Kamu siapin bumbu aja. Rendang, masak merah sama putih, trus bumbu kuah sop."
"Cabenya segini, Mak?" tanya Ainun setelah menyiapkan semua rempah-rempah yang diperlukan. Untuk takaran bumbunya, Ainun mesti menanyakan dulu kepada ibunya, karena ia tidak tahu seberapa banyak takaran bumbu di setiap masakan.
"Itu yang punya masak merah kamu tambahi sedikit lagi, masak putih sama rendang udah cukup segitu," kata Hanum.
"Ini gak usah digiling dulu kan, Mak?" tanya Ainun lagi.
"Tak payah, besok kita olah semua bumbu itu, yang penting udah kamu siapkan dulu," sahut Hanum.
"Mak, Abang jalan dulu, ya!" Syamsul pamit kepada Hanum dan setelah mendapatkan anggukan dari ibunya, Syamsul pun keluar rumah dan menghidupkan motor peninggalan almarhum ayahnya.
"Mak, aku dengar Kak Minah sukakan Abang, ya? Kemaren waktu aku ke kebun, dia asyik nanya-nanya Abang aja sama aku."
"Mana lah Mak tau, tapi Abang kamu itu mana mau dia sama perempuan yang suka cari perhatian sama laki-laki. Kamu tau sendiri kan Abang Syamsul kamu itu seperti apa?"
Ainun langsung terbayang bagaimana centilnya Kak Minah itu kalau bertanya pasal abang satu-satunya Ainun. Ainun bergidik. "Abang ada sebut-sebut nama perempuan gak, Mak? Udah umur segitu masa Abang gak berniat kawin?"
"Selama ini dia gak pernah nyebut-nyebut nama perempuan, kamu tau sendiri kan, setelah putus tunang dari si Raina tu, Abang kamu langsung menutup hatinya rapat-rapat." Hanum mengembus napasnya pelan mengingat anak bujang satu-satunya. Lalu ia beranjak dan menyimpan pisau yang sudah diasah tadi ke dalam lemari.
Hari beranjak malam. Setelah shalat Isya, Ainun merebahkan diri di atas sajadah dengan pakaian shalat yang masih melekat di tubuhnya. Ia menatap langit-langit kamar. Ingatannya melanglang buana ke masa silam.
Benarkah Zulfikar menaruh rasa kepadanya? Ainun tersenyum tipis mengingat perkataan ibunya tadi sore.
"Mana mungkin dia sukakan aku, aku yang sekarang aja dia gak tau bagaimana," gumam Ainun pelan.
Entah sejak kapan Ainun terlelap. Yang pasti suara gaduh di luar membangunkan dirinya.
"Astaghfirullah, kenapa pula aku bisa tertidur di sini." Ainun melirik jam di dinding. Ah, ternyata sudah hampir Subuh.
Setelah merenggangkan otot-ototnya agar tidak kaku, Ainun kemudian melepaskan sarung dan mukena lalu melipatnya. Setelahnya, Ainun keluar dan mengayun langkahnya ke dapur. Dan di sana Ainun melihat ibunya sedang memasukkan sekantung daging ke dalam ember plastik sedang. Ternyata Syamsul sudah pulang.
"Abang mana, Mak?"
"Lagi mandi, kenapa?"
"Gak papa, tanya aja karena Ainun gak lihat Abang di sini." Ainun menguap. Matanya berair.
"Kenapa kamu bangun sepagi ini? Mau shalat?" Hanum mengernyit melihat anak daranya jarang-jarang bangun sepagi ini.
"Hu'um, aku ke kamar mandi dulu, ya, Mak."
Hanum mengangguk. Matanya menatap Ainun.
"Tak sangka kan Bang, anak-anak kita udah pada besar-besar," lirih Hanum seolah sedang berbicara dengan almarhum suaminya, Rasyid.
Sejak ditinggal Rasyid sepuluh tahun lepas, Hanum tidak berniat menikah lagi. Meskipun banyak lelaki yang datang, Hanum menolak dengan sopan. Cukuplah Rasyid sebagai suaminya hingga ke surga nanti. Dan kini usia Syamsul dan Ainun pun sudah meranjak dewasa. Yang satu umur tiga puluh tahun, dan yang satunya lagi dua puluh enam tahun. Sudah pas untuk menikah, tetapi anak-anaknya masih ingin sendiri.
"Ya Allah, Kau hadirkanlah pasangan hidup untuk anak-anak hamba orang yang takut kepada-Mu dan juga taat kepada-Mu." Hanum bermunajat dalam hati.
*****
Pagi-pagi dapur rumah Ainun sudah riuh dengan dentingan spatula dan yang lainnya. Hanum dengan olahan daging sapi dan Ainun dengan penggorengannya di kompor.
Pagi ini, Ainun yang ambil alih dapur karena ibunya tengah sibuk memotong daging sapi, ayam, dan ikan bandeng untuk dimasak nanti. Harum nasi goreng kampung memenuhi ruangan dapur hingga sampai ke ruang tengah. Syamsul yang baru akan beranjak tidur setelah pulang belanja saja mengurungkan niatnya karena tergugah dengan bau wangi nasi goreng buatan Ainun. Adiknya itu memang pintar masak. Beruntung sekali lelaki yang akan menjadi suaminya nanti.
"Hmmm... harumnya bau." Syamsul menghidu aroma nasi goreng yang masih mengepul di atas meja.
Tidak hanya nasi goreng kampung yang mengisi meja makan pagi ini. Telor dadar, mentimun, dan kerupuk pun ikut meramaikan meja makan keluarga itu.
"Abang makan sekarang? Biar aku taruh sekarang," tanya Ainun pada Syamsul.
"Mak udah makan belum? Kalau belum, aja Mak biar kita makan sekali."
Mendapat perintah dari abangnya, Ainun bergegas ke bagian belakang dapur yang dekat dengan bak besar untuk memanggil ibunya. Sedangkan Syamsul mengambil tiga piring di rak dan mengisinya dengan nasi goreng dan kawan-kawannya. Untuknya sendiri, ibunya, dan Ainun. Meskipun dia laki-laki, Syamsul tidak segan dan malu beraktivitas di dapur. Masakannya pun tak kalah sedap daripada masakan adik dan ibunya.
"Mak, Abang ajak makan sekali. Kita makan dulu, yuk, nanti aku bantuin bersihin ikannya," kata Ainun.
"Udah siap masaknya?" Ainun mengiyakan. Kemudian Hanum bangun dan membersihkan tangan serta kakinya, lalu mengambil ember besar dan menutup daging dan ikan. Setelah itu barulah Hanum masuk ke dalam.
Melihat anak-anaknya sudah duduk di meja makan, menghadirkan senyum di bibir Hanum.
"Ini nasi untuk Mak," tunjuk Syamsul.
"Dari baunya, ini pasti sedap."
"Siapa dulu dong yang masak? Ainun gitu loh!" Suara tawa pun mengisi acara sarapan mereka pagi itu.
Setelah makan dan mencuci piring, Ainun bergabung dengan ibunya di dapur paling belakang. Sedang Syamsul, ia langsung masuk ke kamar.
"Nun, ikan bandeng itu kamu bersihin sisiknya aja, nanti biar Mak yang motong, kalau kamu yang potong bisa-bisa ikannya berubah pahit."
"Tenang Mak, aku udah mahir bab-bab bersihin ikan, asal jangan suruh motong ayam aja, kalau itu aku angkat tangan duluan, menyerah." Ainun berkata seraya tertawa lebar. Ainun memang tak pandai memotong ayam, katanya ayam itu keras tulangnya.
"Iya, iya, Mak tau kamu itu pandai, tapi masih belum pandai kalau kamu belum bisa motong ayam."
"Mak, ni, janganlah bilang begitu, aku akan belajar nanti kalau aku dah mau kawin."
"Kalaulah ada yang mau."
"Pasti adalah, tuh yang Mak bilang kemarin, siapa yang nanya-nanya aku sama, Mak? Ayo jawab?"
"Zulfikar maksud kamu?" Ainun mengangguk. "Emang kamu mau sama dia?" tanya ibunya lagi.
"Kalau berjodoh apa salahnya, Mak, lagian kan kami sama-sama masih sendiri."
"Nah, ketauan nih, kamu ada rasa sama dia, ya?" Hanum menggoda Ainun.
Seketika pipi Ainun memerah. "Ish, Mamak ni!" Ainun memonyongkan bibirnya karena malu. Ibunya cekikikan melihat tingkah anak gadisnya yang malu-malu kucing itu.
"Mak doakan yang terbaik buat kamu, Nun," ucap Hanum lirih.
Meugang hari ini dipenuhi dengan canda dan tawa ibu dan anak itu. Memasak bersama, hingga Dzuhur menjelang. Masak-memasak daging memang butuh waktu yang lama. Karena tidak hanya satu masakan yang mereka masak. Ada semur ayam, rendang, masak putih, kuah sop, perkedel, dan tumis ikan bandeng.
Ainun menatap satu per satu masakan yang sudah tersedia di atas meja dengan napas lega dan senyum lebar. Akhirnya, masakan meugang hari ini selesai sudah. Ainun bersiap-siap mandi untuk shalat Dzuhur.
Bersambung...!!!