"Mencintai tidak harus menghadirkan dua jiwa yang bertatapan, tetapi hakikat mencintai yang sebenarnya adalah saling mendoakan ketika dua jiwa saling berjauhan."
------
Alissa menghapus bulir-bulir air mata yang kini begitu deras membasahi pipinya. Entah sudah berapa lama ia menangis. Meluapkan segala kesedihan yang berkumpul di hati.
Bertahun-tahun menjalin persahabatan, baru kali ini ia merasakan sakit hati yang luar biasa. Sebelumnya, Alissa memang menjalin persahabatan dengan Azzam Daniz Elhaq. Lelaki keturunan Arab yang sudah ia kenal dari kecil hingga beranjak dewasa.
Entah dari mana awalnya Alissa bisa memiliki perasaan terhadap sahabatnya sendiri. Apakah ini semua terjadi karena intensitas pertemuan mereka yang begitu sering? Sekali lagi, Alissa pun ragu sejak kapan ia mulai menyukai sahabatnya tersebut.
Menjalin persahabatan lebih dari enam tahun membuatnya paham dan mengerti lebih dalam dari sosok seorang Azzam. Tingkah laku, kebiasaan baik dan buruk, selera hingga rahasia yang Azzam simpan pun ia sangat tahu. Tapi tidak untuk urusan percintaan, Alissa menyerah. Selama ini Azzam tidak pernah membahas siapa perempuan yang sedang ia suka atau incar. Sempat penasaran, tapi Alissa memilih untuk tidak ingin mengambil pusing.
Hingga akhirnya tadi sore ia tahu kalau Azzam selama ini memang mengincar Rachel. Gadis cantik yang memang menarik perhatian banyak pria di sekolah mereka.
Harusnya, Alissa sadar diri.
Harusnya, Alissa juga mendengarkan semua ucapan Nissa.
Temannya itu terang-terangan memberi saran agar Alissa berhenti menyukai Azzam. Pria itu jelas-jelas hanya menganggap Alissa tidak lebih dari seorang sahabat.
Alissa ingat benar ucapan Nissa kala itu.
"Kamu yakin mau ngasih tau Azzam soal perasaanmu ke dia?" tanya Nissa.
Alissa terdiam sesaat. Lalu tak berapa lama ia menyahut.
"Aku nggak punya banyak waktu, Nis. Beberapa hari lagi Azzam bakal pindah ke luar negeri. Seenggaknya sebelum pergi, dia tau perasaaanku selama ini ke dia gimana."
"Ya, aku sih nggak masalah. Tapi, feeling aku, Azzam selama ini cuma anggap kamu nggak lebih dari sahabat, Cha. Ntar yang ada persahabatan kalian jadi renggang."
Alissa kembali terdiam, menimbang apa yang Nisa ucapkan padanya. Kalau rasa cintanya tak terbalas, bisa jadi hubungan persahabatan mereka jadi canggung setelahnya. Tapi, kalau tidak di katakan sekarang, kapan lagi waktunya.
"Aku emang nggak tau perasaan dia gimana ke aku. Tapi, udah nggak ada waktu lagi. Bentar lagi Azzam berangkat ke Amerika. Seenggaknya dia tahu perasaanku selama ini ke dia bagaimana."
Nissa mengangguk paham.
"Aku ngerti maksud kamu, Cha. Kalau menurut kamu itu yang terbaik, silahkan utarakan perasaan kamu ke dia sesegera mungkin. Tapi ingat, kalau jawaban Azzam nggam sesuai harapan, kamu nggak boleh sakit hati."
Lalu, ketika Azzam menghubungi dan mengajak untuk bertemu, Alissa sudah memantapkan hatinya. Ia bertekad ingin memberi tahu pria itu mengenai perasaan yang selama ini ia pendam.
Namun, belum lagi sempat Alissa mengutarakan isi hatinya, pria itu terlanjur membuatnya sakit hati. Apakah persahabatan ini harus dilanjutkan?
Pertanyaan itu yang sekarang memenuhi hati dan pikiran Alissa.
****
Hari kelulusan tiba.
Seperti yang direncanakan Azzam, ia mengutarakan perasaan cintanya pada Rachel sebelum pengumuman kelulusan. Dan seperti yang ia duga, Rachel menerimanya.
Perasaan bahagia membuncah di d**a pria itu. Rachel, gadis yang sudah tiga bulan terakhir ini ia selalu perhatikan akhirnya bisa didapatkan.
Namun, di sisi lain ada rasa kehilangan menyelimuti hati Azzam. Tepat di hari kelulusan, Alissa tidak tampak sama sekali kehadirannya. Menurut Nissa, teman sebangku Alissa, gadis itu terpaksa tidak masuk karena ayahnya harus segera berangkat keluar kota. Mau tidak mau Alissa harus ikut dan tidak sempat berpamitan dengan semua teman-temannya.
Azzam bukannya tidak usaha.
Sedari pagi ia sibuk menghubungi Alissa, namun tidak ada satupun panggilan telponnya yang terhubung.
"Nis, si Icha nggak ganti nomor handphone, kan? Mungkin udah lebih dua puluh kali aku coba hubungin dia tapi nggak ada satupun yang tersambung," keluh Azzam.
"Aku juga nggak tau Zam, yang kasih kabar dia nggak masuk Mamanya semalam bukan Alissa sendiri."
Azzam mengusap wajahnya frustrasi. Bukan kebiasaan Alissa tidak memberinya kabar sedikitpun seperti ini. Selama berteman, wanita itu selalu bercerita atau sekedar memberitahu apa saja kegiatan yang sedang atau yang akan ia lakukan.
Soal kepindahannya ke Yogyakarta, Alissa memang sempat bercerita pada Azzam kalau gadis itu akan mengikuti Ayahnya dan dia sendiri akan melanjutkan pendidikan di sana. Tapi untuk pergi tepat di hari kelulusan, gadis itu tidak bercerita sedikitpun.
Nisa sendiri sebenarnya tahu kalau hari ini Alissa tidak akan masuk bukan karena ia sudah berangkat ke Yogyakarta tapi hanya karena tidak ingin bertemu dengan Azzam.
Iya, Nisa terpaksa membohongi Azzam atas permintaan Alissa semalam saat menelponnya.
"Kamu nangis, Al?" tanya Nisa dalam sambungan telponnya.
"Aku nggak jadi ungkapin perasaan aku, Nis," jawab Alissa
"Loh kenapa?"
Hening sesaat.
"Azzam sukanya sama Rachel, bukan sama aku."
"Hah? Yang bener aja!" Nisa memekik terkejut.
"Sebelum aku bilang suka, Azzam udah ngomong duluan kalau besok dia mau nembak Rachel sebelum pengumuman kelulusan."
"Kok gitu sih?" Nisa masih saja tidak menyangka dengan apa yang didengarnya.
"Ya nggak apa-apa Nis, perasaan cinta mana bisa di paksa. Kalau Azzam cinta nya sama Rachel, aku bisa apa? Lagian aku nggak masalah kok, yang penting masih bisa temenan sama dia udah bersyukur."
"Ya ampun, Al. Aku yang pengen nangis dengernya. Kamu yang sabar ya. Aku doain kamu bisa ketemu cowok yang tulus sayang dan cinta sama kamu. Please jangan sedih. Tapi kalau mau nangis, pundak aku selalu tersedia buat kamu free tanpa bayar."
Terdengar kekehan kecil dari mulut Alissa.
"Tapi aku bisa minta tolong sama kamu, Nis?"
"Tolong apa, kalau aku bisa aku pasti bantu."
"Besok aku nggak masuk. Aku nggak sanggup kalau harus ketemu Azzam. Jadi tolong kamu kasih tau kalau dia cari, bilang aja aku udah berangkat ke Yogyakarta."
"Kamu yakin? Lusa kan dia berangkat ke luar negeri, Al. Kalian nggak bakal ketemu dalam waktu yang sangat lama. Lagi pula setelah ini kamu bakal ke Yogyakarta beneran, kan?" tanya Nisa memastikan.
Alissa terdiam sesaat seakan menimbang apa yang menjadi keputusannya. Lalu tak berapa lama ia menjawab.
"Aku yakin seratus persen Nis. Aku nggak bisa nahan tangisan kalau harus ketemu dia. Lagi pula kalau kami emang berjodoh suatu saat pasti ketemu lagi kok."
Terdengar Nisa menghela napas lega di seberang sana.
"Ya udah, aku nggak bisa maksain kamu. Besok kalau Azzam nanya aku bakal jawab seperti yang kamu mau. Tapi sebagai gantinya, kamu harus janji jangan sedih dan nangis lagi."
"Iya aku janji."
Sambungan telpon pun akhirnya terputus. Saat tiba hari di mana Azzam harus berangkat ke luar negeri, lelaki itu tidak pernah lagi bertemu atau mendengar kabar dari Alissa. Padahal ada hal penting yang ingin ia sampaikan sebelum mereka benar-benar berpisah. Hal penting yang harusnya sejak lama Azzam sampaikan. Namun semuanya menjadi sia-sia sekarang.