sepuluh

1310 Words
Menghadapi sesama orang dewasa mungkin akan mudah dengan segala pengetahuan dan pengalaman. Kesamaan dalam jalan pikir, membuat kita bisa saling mengalah atau paham maksud dari masing-masing. Namun, bayangkan saja kalau yang harus dihadapai adalah lelaki berjiwa bocah dalam kemasan tubuh manusia dewasa. Segala penolakan dalam berbagai varian sudah kukerahkan. Kalimat bersarat mangkir juga kupikir akan berhasil. Kosa kata yang kurangkai sedemiian apik, berharap bisa membuatnya paham di telepon tadi, sia-sia sudah. Iya, betul sekali. Dialah Atha Alfarezi. Lelaki yang kini berdiri tegak, di depanku, di depan kamar kosan, dengan cengiran lebar, tangan mengelus dagu, sesekali memainkan kaki kanan. Bukan hanya itu, sepertinya dia juga pura-pura tak paham dan abai begitu saja pada maksud dari ekspresi bermakna pengusiran yang kuberikan. Sekarang, sebelah tangannya mengangkat kantung plastik bertuliskan sebuah toko donat yang sangat familier. Mencoba biasa saja, dalam hati aku mengiba agar bisa menikmati makanan bundar di dalamnya. Ouch, Kay, kamu tahu .... saat choco forest masuk ke dalam mulutmu ... rasanya pasti sangat surgawi. Bayangkan, Kay, rasa cokelat dan empuknya adonan tepung akan menyatu, menginvasi tiap sudut mulutmu dan kamu akan merasakan bagaimana sesungguhnya esensi dari surga dunia. Ayo, Kay, rebut kantung plastik itu! Kemudian yang perlu kamu lakukan selanjutnya adalah menendang sang empu sejauh mungkin. Dengan begitu, semua akan menjadi hakmilik. Ya, karena bagaimanapun, ownership jauh lebih membanggakan daripada relationship. Ya, ya.... ide yang bagus. Tunggu .... "Bagaimana, Gadis Baik? Bolehkah aku masuk dan membawa makanan yang diutus langsung dari kerajaan ini? Untukmu?" Ouch, Kay. Selain empuknya adonan tepung dan taburan toping di atasnya ... coba kamu dengar dengan saksama suara 'kelelakian' yang baru saja mengalun itu. "Ekhem!" Aku berdeham. Membiarkan dewi batinku terus mempersuasi. "Ayolah, Gadis Biasa Aja, gue udah jauh-jauh datang ke sini. Minta driver taksi buat nunggu dan gue harus traktir dia juga." Buyar sudah, Kay. Buyar! Lelaki sombong ini memang paling bisa bikin aku kesal karena apapun yang ia lakukan tentang kebaikan, maka dia akan memberitahu! Kurasa, percuma saja Tuhan memberinya amalan, karena secepat kilat, semua akan terhapus. "Nggak mau. Gue nggak nerima tamu malam." Tiba-tiba, gelakak tawanya terdengar. Aku benar-benar kehabisan kata jika berhadapan dengan lelaki ini. "Yakin, yang keren begini malam-malam nggak diterima? Aku bayar mahal, lho, Tante." Dia menyusupkan jemari sebelah tangannya ke rambut hitam itu, sambil menyeringai iblis. Ouch, Kay, dia punya berbagai ekspresi menyebalkan! "Jco, terus nih di dalam dompet ada cash kemerahan gitu. Lumayan lho, bisa buat Tante makan donat seabad ke depan." "Sinting! Sana pulang!" "Ayolah, Kay. Jangan terlalu apatis sama cowok. Nggak baik. Suwer." Dia harusnya tahu kalau aku sudah mencoba menahan amarah sejak sebutan Tante itu terlontar. Dia harusnya paham dan undur diri begitu melihat mukaku yang mungkin kini sudah kemerahan sebab menahan api panas di dalam mulut. Please, katakan padaku, jalan apa yang baik digunakan untuk makhluk semacamnya agar ia bisa dengan mudah mengerti. Oke, Kay. Hembuskan napasmu, pejamkan mata sebentar, ayo, keluarkan kalimat yang baik dan benar. "Al ..." "Iya, bersama Al di sini." "Elo tahu enggak kalau kita ini, kedekatan kita ini nggak akan lama. So, daripada makin buang waktu, mending udahan. Elo sama gue cuma bakal wasting time. Percaya sama Tante yang udah pengalaman." Ini aku menyindirnya dengan kekuatan penuh. "Hahaha." Al menutup mulut dengan cepat saat tetangga kosku pulang dan sempat meliriknya. Kulambaikan tangan untuk menyapa gadis itu. "Njir, gue kayak artis nggak tahu adab ya." "Itu tahu." "Oke, Kay. Biarin gue ngomong serius." Dia meletakkan kantung plastik itu bersandar di dinding, di samping tubuhku berdiri. Kay, ini kesempatan bagus untuk mengambil makanan itu! Jangan, jangan.... harga diri jauh lebih mahal daripada biaya hidup di Jakarta. "Elo kasih gue izin masuk, semua bakal gue ungkap. Tentang gue yang berusaha deketin lo. Tentang gue dan elo yang ... yaudah, intinya kasih gue masuk dulu. Okay?" "Penerus Raffi Ahmad lo ya? Semua dimodusin." Aku melipat kedua tangan di d**a, bersandar di pintu. "Gue nggak tertarik. Sekarang pulang, bawa lagi Jco kesayangan lo itu. Karena gue masih sangggup beli sendiri." "Et, et, et, bentar. Pertama, jangan pernah samain gue sama Raffi Ahmad. Jangan pernah berani. Gue bukan dia, sampai kapanpun gue jauh lebih elit dari dia. Kedua---" "Kay...." Aku menoleh. Ada Tara sedang berdiri, memandangi aku dan Al dengan tatapan ... ada apa dengan wajahnya? Kenapa banyak luka dan dia terlihat begitu sedih? "Ta... lo kenapa? Muka lo kenapa?" Aku baru mau melangkahkan kaki, tetapi tanganku ditahan. "Lepasin. Al ...." Al mengendikan bahu nggak acuh. Dia menatap Tara dan tersenyum manis. "Sori, Boy, dia pacar gue wannabe. Siapa lo? Kalau mau berobat, gih ke klinik. Kay bukan suster." "Apaan sih, Al! Minggir." "No. Kita belum selesai." Aku menahan napas sejenak. Mengerahkan tenaga untuk menarik tanganku dari genggamannya, tapi ternyata Al memang sudah sedewasa itu. Genggamannya kuat sekali. Mengabaikan tangannya, aku memilih fokus pada Tara. "Ta, lo kenapa?" Bagaimanapun, dia sahabatku. Jika dia mengalami luka, aku juga nggak akan rela. "Elo lagi ada tamu? Besok aja deh. Sori, ya ganggu." "Enggak, enggak. Dia nggak penting, Ta. Cepetan bilang lo kenapa?" "Gue---" "Oh, sakit, Men! Dianggap nggak penting sama pacar sendiri." Al menajamkan tatapannya saat aku menoleh, dan aku tidak mau kalah. "Kamu, kalau lagi ngambek sama aku, jangan gini juga dong, Honey. Jangan tunjukin di depan orang. Sini, yuk, kita masuk dulu." "Apaan sih, Al!" Aku mengibaskan tangannya kuat dan ... akhirnya berhasil. Kesempatan itu langsung kumanfaatkan buat mendekati Tara. "Elo kenapa?" Melihat Tara yang tidak mau menjawab, malah menoleh ke tempat Al, aku mendesah pelan. "Jangan peduliin dia. Orang nggak penting." "Dia siapa?" "Artis yang gue ceritain waktu itu." "Gue tahu kalau dia aktor baru." Tara bahkan menyadari eksistensi si Sombong. "Yang gue tanya dia siapa elo?" "Nothing. Cuma penganggu." "Ya Allah sakitnya hati gue!" Aku menggelengkan kepala, meminta Tara mengabaikan suara Al. Lelaki itu .... "Oke. Gue tadi cuma mau cerita, mantannya Ririn balik lagi, ngejar-ngejar Ririn dan ... ya, gue sama dia berantem. Ririn marah karena gue nggak bisa ngontrol emosi sampai bikin cowok itu nyaris mati." Tuhanku .... pantas saja luka di wajahnya sedemikian rupa. "Tapi lo nggak pa-pa? Ririn sekarang masih marah?" Tara mengangguk. "Okay, tenangin diri dulu. Nanti kalau udah, elo telepon dia atau datengin langsung ke rumahnya. Cewek kalau marah gitu cuma karena emosi sesaat kok. Nanti baik lagi." "Gue kasih apa biar dia nggak marah?" "Kesukaannya apa?" "Dia suka cokelat, sepatu, syal dan ... a kiss." Aku tertawa. Mengedipkan sebelah mata. "Yang terakhir kayaknya menarik, Ta." "Oke, gue masuk dulu. Perlu gue bantuin ngusir dia enggak?" "Enggak, enggak. Gue bisa atasin sendiri." Tara mengangguk, kemudian melangkah ke rumahnya. Saat aku kembali, Al masih berdiri di tempat dengan ekspresi yang ... ini apa maksudnya? Kenapa dia menatapku seperti itu? "Hai, Kay." Senyumnya mengembang. "We're nothing, right? Kalau setelah ini, elo masih bisa bilang nothing, maka gue akan pergi. Enggak akan jadi penganggu lagi, bakalan menghilang kayak busa. Jadi, coba rasakan ini." "Al, maksud lo---" s**t! Dia menciumku! "Berengsek lo!" Aku menampar wajahnya tepat setelah dia menarik diri. Tanganku sampai begetar, mengambang di samping pipinya yang memerah. Sangat memerah. Bahkan, aku sendiri bisa merasakan panasnya pertemuan telapak tanganku dan kulit pipinya dari. Dan, jelas, begitupun Al. "Elo pikir lo siapa, hah? Lo pikir siapa bisa main-main sama hidup gue? Gue tahu lo artis, ganteng, kaya, mengesankan. Tapi bukan berarti elo bisa menghancurkan hidup cewek biasa aja kayak gue ini." "Keluarin semuanya. Gue di sini." "Gue tahu lo tertarik sama gue, entah karena lo pikir fisik gue bakalan nikmat atau lo pikir gue bikin lo penasaran, gue tahu, Al. Tapi gue nggak bodoh dengan menjatuhkan diri ke cowok kayak elo. Elo gila. Nggak normal. Playboy paling menjijikan. Banci!" "Iya. Gue." "Sekarang mau lo apa? Mau lo apa, hah? Elo udah ngerasain satu bagian dari fisik gue. Apalagi yang bikin lo penasaran? Apa?" "..." "APA?" "Hati elo." "Bajingan." Aku mendorong kuat tubuhnya dan menutup pintu dengan keras. Terserah kalau besok Tante Vega dan Oom Ikhsan akan menegurku karena aduan dari para tetangga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD