Pagi ini, aku disambut pemandangan indah.
Keluar dari kamar kosan, kutemukan senyum manis dari lelaki yang beberapa hari ini memang kurindukan.
Dia di sana.
Berdiri di samping mobil dengan setelan kerja yang formal.
"Gue punya sesuatu buat elo," katanya. Lalu, mengeluarkan sebuah kotak kecil silver dengan pita sebagai penghias. "Buka aja."
Seketika, aku menjerit heboh, membuat Tara tertawa. "Ini buat gue? Seriusan? Cantik bangeeeeet." Pandanganku masih belum bisa beralih dari benda mengkilap di tangan. Sebuah kalung dengan huruf 'K' sebagai bandulnya.
"Sini gue pakein."
Secepat kilat, aku berbalik. Mengesampingkan rambut yang tadi kukuncir kuda. Senyumku masih mengembang lebar, memperhatikan benda cantik ini menggantung sempurna. "Makasih banyak, Ta. Tapi, atas dasar apa?"
Dia tersenyum. "Itu Ririn yang pilihin. Kemarin, gue baru beliin dia kalung, terus dia bilang kenapa nggak beliin elo juga. Suka enggak?"
Dia melakukan sesuatu untukku harus atas perintah kekasihnya. Taraaaa, sebegitu nggak berartinya pertemanan kita dulu? "Suka bangeeeett!" Aku berusaha tersenyum lebar.
"Oke. Gue berangkat dulu ya. Jangan kebut-kebut, Kay!"
"Siap!"
Aku mengembuskan napas, melangkah mendekati Scoopy. Tak apa, Kay, setidaknya Tara masih rela mengeluarkan uang untukmu. Ya, dia masih peduli. Kamu dan dia, akan selamanya berteman, meski tak selalu menebar tawa.
Baru saja akan menjalankan motor, lagu Scared To Be Lonely mengudara. Aku memilih mematikan mesin. Takut saja kalau ternyata itu titah dari kantor atau Nayla memberi kabar darurat.
Dan, sia-sia detik yang sudaj kugunakan. Karena yang terpampang di layar ponsel justru nama lelaki sombong itu. Menggeser tombol merah memang pilihan yang bijak, Kay.
Dia tidak sepenting itu untuk menganggu waktu pagiku.
Ouch, kenapa lelaki ini tak juga menyerah?
"Apa?!"
"Ya Allah, Kay, belagu amat sih lo. Coba deh sesekali lo stalking AlOfficial, biar tahu seberapa banyak yang berharap hidup bareng gue. Biar lo tuh agak bersyukur dikit gitu."
"Gue matiin."
"Et, et, et, santai dong. Elo di mana?"
Kalau saja dia bisa melihat eskpresi malasku ini. Kalau saja dia mendengar deruan napas lelahku. Mungkin, dia akan meminta maaf karena telah mengganggu perempuan di pagi hari.
"Kay, elo di mana?"
"Di kantor."
"Tuhkan, bener. Sialan, gue kesiangan nih. Resek!"
"Jadi, lo nelepon gue cuma mau curhat? Penting banget ya lo, Al?"
"Bukan. Gue kan semalam janji mau ngetem, tapi kesiangan gini. Sori, ya."
Aku kelu. Pikiranku melayang, mengingat hari-hari yang sudah kulewati bersamanya. Bersama kesombongan, keusilan, dan sikap bayinya. Di hari kedua, ia meminta maaf karena kesiangan juga, meminta maaf karena tak bisa mengendarai motor.
Lelaki sesombong dia begitu mudah mengeluarkan kata paling dihindari oleh makhluk bergengsi tinggi.
Kenapa dia meminta maaf untuk hal yang seharusnya nggak perlu dia lakukan? Dia merasa bersalah hanya karena tidak menepati janjinya semalam?
Ouch, Kay, berhenti menjadi si Pemikir.
Lelaki yang sedang menelponmu ini memang ada yang aneh dengan kesehatan mentalnya.
"Kay .... Halo, halo, yang di sana, masih bersama Al di sini?"
Aku tertawa. "Iya, nggak apa. Gue malah seneng kok nggak liat muka lo, jadinya nggak sial."
"Iya sih gue tahu. Yaudah deh. Selamat bekerja, Cewek Biasa Aja tapi Belagu Selangit! Nanti gue ke kantor lo ya! Malam keknya! Gue ada take terakhir nih! Hati-hati, Kay!"
Dasar aneh. Memangnya, siapa yang ingin tahu aktivitasnya?
***
"Telepon Bang Dedi, Far! Suruh benerin promter*!"
Suara teriakan Bang Jovi menghentikan langkah Farah yang sudah siap setelah menyampirkan ransel di bahu. "Siap, Bang! Sambil jalan ke bawah."
"Oke, semuanya thank you! Hati-hati pulangnya!"
"Siap!"
Angkasa menyenggol lenganku, nyengir sambil mengangkat jempolnya. "Hati-hati, Kay!"
"Elo juga! Tadi keren buat gerak cepatnya!"
Ia menepuk d**a, pongah.
Tadi, di tengah program berlangsung, promter tiba-tiba macet dan membuat kami kalang kabut menulis manual naskah sebanyak itu. Untung saja, selain karena kami mempunyai host sehebat Gista, kami juga memiliki Angkasa yang diberi keahilan menulis cepat tetapi tetap terbaca. Aku sebagai yang perempuan saja merasa gagal. Dan, karena itu, dia langsung bisa bersombong diri, meminta traktiran Bang Jovi.
"Duluan, Kay!" Suara Fara.
Aku mengangguk. Masih mencoba merapikan isi ransel.
"Duluan, Kay!" Suara Amy dan Nira.
"Hati-hati!"
"Duluan, Kay!" Suara Ilana.
Kuberi dia senyum lebar.
Aku berjalan sambil memperhatikan sekitar, mencari sosok Nayla yang biasanya akan memeluk lenganku di lorong ini. Namun, kemana dia malam ini? Apakah sudah pulang sejak acara berlangsung?
Saat lift berhenti di basement, aku mulai memakai jaket. Benar kata Tara, udara malam memang sangat tidak baik untuk kesehatan. Langkah kakiku terhenti, begitu menemukan dua manusia yang sedang terbahak di samping motorku.
Al dan Nayla.
Mereka bahkan tahu mana milikku dari sekian banyak kendaraan? Luar biasa.
"Hay, Kay!" Nayla yang pertana menyapa, sementara Al dengan soknya memberiku tatapan serius sambil menaikkan sebelah alis. Dia pikir aku peduli? "Gue tadi mau balik, eh si kacrut ini bilang dia denger suara anak kecil nangis. Minta ditemenin lagi. Padahal kan nggak mungkin banget ada gituan."
Aku terbahak. Mendekati mereka. Sambil membuka bagasi, aku menjawab, "Dia kan emang manja, Nay. Di basement gitu aja takut. Ngakunya laki tuh."
"Nggak usah belagu. Gue beneran, sumpah. Tadi gue denger suara anak kecil nangis. Pas gue tolah-toleh nggak ada anak kecil. Gue nggak bohong, Kay. Demi Allah."
Nayla tertawa kencang sambil memegang perut. "Untung demi tiket gratis ya, Al. Sumpah. Elo tuh nggak sesuai sama belagu lo di awal negosiasi."
Kulihat Al mendengus. Membuatku menahan senyum dan hanya mampu menggelengkan kepala.
Selesai memasang sarung tangan, aku duduk di atas motor. "Kalian berdua emang nggak tahu fakta dari basement ini?"
Nayla dan Al saling tatap, kemudian menatapku lagi dan menggelengkan kepala serempak.
"Dulu, di sini tuh ada anak kecil meninggal ketiban motor."
"BANGKE!"
Aku terbahak saat Al secepat jalannya detik jam mengangkat kaki dan duduk di belakangku, memelukku erat, di atas motor. Sementara, Nayla kulihat sudah terbirit masuk ke dalam lift bersama dua orang pria.
"Al, apaan sih! Lepasin gue, Woy!" Aku mendorong kepalanya yang ia sembunyikan di leherku. Tuhanku, enggak, enggak. Ini cuma karena aku yang terlalu lama menjomlo. Iya, efeknya karena itu. "Lepasin!"
"Nggak mau." Mendengar suaranya bergetar, aku bergeming. Dia ... sungguh ketakutan? "Nggak mau."
"Al...."
"Nggak mau."
"Woy, di sini nggak ada apa-apa. Sumpah. Ngapain sih lo takut, deket cewek cantik juga."
"Nggak lucu. Sama sekali nggak lucu."
"Iya, oke, nggak lucu. Makanya lepasin, perut gue kempes ini lama-lama. Ih, kepala lo minggir jangan nempel-nempel gue ...." Aku mendorong kepalanya yang berat sekali. Tuhanku, dia ini manusia atau gajah subur sih.
Menyerah, akhirnya aku memilih menjalankan motor dengan degup jantung yang nggak waras.
Please, katakan Al nggak menyadari itu.
Jangan sampai.
Dia akan mengolokku habis-habisan. Mengingat tabiat lelaki satu ini, aku yakin dia akan dengan hati mendapatkan bahan gunjingan baru untuk diriku.
Dan, itu nggak boleh terjadi.
"Udah di luar ini, Al. Lepas! Lagian gue tadi bercanda kok."
"Jangan nakut-bakutin kayak gitu lagi, Kay. Sama sekali nggak lucu. Gue tadi beneran denger anak kecil."
Aku menoleh ke belakang. "Iya, iya. Sori. Helm lo mana?"
Mukanya langsung panik. Ia menyentuh kepala dan mendesah pelan. "s**t, helmnya ketinggalan di sana."
"Di mana?"
"Di basement."
"b**o banget sih."
"Elo yang b**o karena nakutin anak orang! Ambil sana."
"Ogah banget. Gue takut kali."
"Takut apaan lo?"
"Yang gue omongin tadi sebenernya nggak bohong."
"Sialan, Kaaaaay!" Dia kembali memeluk pinggangku erat dan kudengar merapalkan doa yang aku nggak terlalu jelas menangkapnya. Aku benar-benar nggak bisa menahan tawa. Ouch, jadi begini rasanya menyiksa anak orang? "Tadi, gue nelepon lo, nggak diangkat. Gue chat, nggak dibales. Gue telepon Bang Jovi juga sama. Akhirnya, gue telepon Nayla."
Aku hanya bisa berdoa. Kalau kali ini, kami akan kembali selamat dari para polisi malam. Semoga. "Lagian, kalau takut kenapa nggak lari sih. Naik lift ke lantai atas."
"Nggak bisa jalan lagi, Kay!" teriaknya, sengit. "Lagian, tadi ada orang, tengsin banget gue kelihatan takut. Nggak keren banget."
"Elo laki bukan sih, Al sebenernya?"
"Mau buktiin?"
"Sinting."