Malam hari Ashlan pulang dalam kondisi banyak perban di wajah, dengan satu tangan yang diemban karena ia mengalami patah tulang akibat bantingan ayahnya. Namun yang menjadi rasa sakit di hati, Tamara menyambut kedatangannya yang diantar oleh Viona.
"Mas ...." Tamara memanggil dengan lirih.
"Biar Vio yang antar aku ke kamar!" balas Ashlan.
"Apa kabarmu Tamara? Aku izin menghantar sahabatku ya. Semoga kamu gak salah paham," ucap seorang perempuan anggun yang tampak begitu menarik dan seksi.
"Sahabat? Sahabat mana yang berani ciuman sama suami orang?" balas Tamara sambil membuang muka.
"Maksud kamu apa?" tanya Ashlan mulai tersulut emosi.
"Aku lihat Mas, tapi aku biasa aja bahkan gak mau ganggu momen kalian. Udah sering, jadi gak heran lagi," jawab Tamara setitik lagi air matanya akan keluar. Namun, terurungkan saat melihat kedatangan Arei dengan gayanya yang elegan, menghampiri.
"Astaga om Arei makin gagah dan tampan aja. Ini alasanku ingin mendekati Ashlan. Aku ingin mendapatkan ayahnya." Ya, itu suara batin seorang perempuan yang mengagumi Arei. Memang sudah lama Viona menyukai ayah dari mantan kekasihnya itu.
"Besok siapa yang dibawa lagi Ashlan? Kapan kamu bisa menghargai keberadaan istrimu?" sahut Arei.
"Cuma dia yang perduli. Punya istri tapi apa dia berguna?"
"Aku tengok kamu Mas tadi, tapi kamu malah ciuman di rumah sakit. Aku gak mau ganggu kalian, yang ada aku yang kena pukul!"
Tamara berhasil membuat malu Ashlan di hadapan sang mantan kekasih, sekaligus membongkar aksi buruknya di depan sang ayah. Meredam amarah sekuat tenaga karena kondisinya sangat tidak mungkin untuk menghukum istri, akhirnya ia meminta Viona untuk segera menghantar ke kamar.
"Mas, padahal ada aku!" tegur Tamara.
"Berisik!" tukas Ashlan. Viona pun lanjut menuntunnya sampai kamar.
Lagi-lagi hanya Arei yang selalu menjadi tumpuan. Tanpa diminta pria itu langsung menghampirinya dan merengkuh.
"Ayolah, dia cuma masa lalu. Jangan nangis, biar papa yang urus nanti," ucap Arei sekedar menenangkan.
"Justru masa lalu yang menjadi masalah terbesar dalam hubungan, Pa. Kayaknya mas Arei belum mau berubah, kalau belum punya anak!"
"Semua tinggal menunggu masanya. Kamu akan hamil dengan bantuan papa nanti. Tinggal bagaimana kamu siap saja untuk melakukan progam yang sudah kita bahas kemarin!"
Tamara mendongak, menatap wajah ayah mertuanya. "Belum waktunya Pa, memang belum waktunya aku hamil. Tanpa melakukan program itu, aku pasti bisa hamil anak suami aku!"
Arei melepaskan pelukannya, ia membingkai wajah Tamara, lalu menatap intens dan berkata, "Mau berharap sampai beberapa tahun lagi? Apa Ashlan sanggup menunggu? Kalau akhirnya berujung perceraian bagaimana?"
Seketika Tamara merundukkan kelopak matanya. Mengingat kembali tengat waktu tiga bulan kesempatannya yang diberi oleh Ashlan.
"Papa ingat tengat waktu yang suamimu kasih. Sedikit dorongan, kamu harus segera memutuskan. Papa sudah membantu, tentang bagaimana kamu jalani nanti, itu pilihan!"
"Aku masih memiliki rasa sabar, Pah!"
***
Di malam hari. Ashlan terlihat sudah prepare, diterka oleh sang istri jika dirinya akan keluar rumah dalam kondisi belum cukup baik.
"Mas, mau ke luar lagi 'kah? Apa salahnya satu hari aja full di rumah? Bahkan, aku ngerasa seperti gak punya suami, tidur sendiri terus!" protes Tamara.
"Aku bosan Tamara, memang apa yang ada di rumah? Tempat sebesar ini gak buat aku betah dan nyaman, apalagi punya istri gak bisa kasih pelayan baik buat suami. Jangankan itu, hamil aja kamu gak mampu. Pokoknya perempuan di luar jauh lebih menghibur daripada lihat istri sendiri, muak!" balas Ashlan tak kalah tandas.
"Setidaknya lihat kondisi kamu, apa gak malu bawa-bawa tangan patah kayak gitu, Mas?!"
"Banyak bicara istri mandul, jangan cari aku sampai besok!" Tanpa melihat lagi, Ashlan segera meninggalkan kamar, membiarkan Tamara sedih meresapi ucapan dari mulutnya yang kejam.
"I'm not barren, tapi kamu yang mandul!" gertak Tamara begitu menekan, tetapi pelan karena hanya ia yang mendengar.
Meninggalkan keterpurukan hati, Tamara memilih untuk keluar dari dalam kamar yang dirasa tak jauh seperti neraka.
Kini, melihat para maid mondar-mandir, berjibaku dengan alat-alat yang ia pegang. Semua terlihat tertuju pada kamar ayah mertuanya.
"Papa, kenapa?"
"Nona, tuan sakit. Kami cemas dan beramai-ramai memberinya pelayanan!"
"Tadi masih baik-baik aja!"
"Badannya panas, gak mau makan, sama diam terus!"
"Astaga ...."
Terburu-buru Tamara menghampiri kamar. Ternyata benar, ada banyak pelayan yang sibuk melayani pria yang sedang tertidur lemas di ranjang.
"Biar aku aja!" tegas Tamara, membuat mereka perlahan-lahan memundurkan diri, hingga tersisa hanya mereka berdua.
Tamara menyentuh keningnya, benar terasa panas, bibirnya pun pucat, sementara kondisi badannya sedang tidak memakai baju atasan.
"Papa sakit?"
"Cuma panas biasa, mereka terlalu lebay!"
"Tapi ini beneran panas!"
"Enggak Tamara, papa cuma kena gerimis tadi!"
Melihat kondisi Arei memang benar-benar drop, Tamara siap melayani. Ia hanya ingin membalas kebaikan mertuanya itu dengan kebaikan juga.
"Aku suapi, habis itu dikompres, dan tidur!" Atur Tamara. Ia sudah memegang satu piring lauk, bersiap untuk menyuapi.
Ternyata tidak ada penolakan sama sekali, tidak seperti yang pelayan katakan tadi. Namun, bisa saja Arei enggan menolak karena ia menantunya.
"Kata pelayan, papa gak mau makan, tapi ini aku suapi mau."
"Malas kunyah!" jawab Arei sekenanya.
Seketika, Tamara menghembuskan napas dengan jengah. "Minta digerus?"
Arei terkekeh. "Papa seneng ada perempuan yang mau rawat di saat papa begini, dulu apa-apa selalu sendiri karena malas merepotkan maid!"
"Aku cuma balas kebaikan Papa, selama aku tinggal di sini, cuma perlakuan Papa yang buat aku ngerasa dihargai," balas Tamara.
"Sudah tugas, demi kenyamanan karena kamu istri anakku."
Sempat terlintas suatu pertanyaan, tetapi Tamara ragu, apakah itu baik untuk dipertanyakan. "Papa ..., kenapa gak segera nikah aja? Mungkin dengan nenek lampir gak suka, Papa bisa cari yang lain 'kan."
"Belum ada yang cocok aja, malas juga. Papa maunya nikah, malam pertama, abis itu cerai!"
Cukup tercengang mendengar pernyataannya. Namun, Tamara langsung mendatarkan wajah tatkala Arei menunjukkan senyum canda.
"Sama-sama nakal, tapi selalu suami aku yang disalahin. Aku tebak pasti Papa sering sewa perempuan buat bermalam, sama seperti mas Ashlan!"
"Setidaknya papa melakukan itu di saat status papa sendiri. Lagipula mereka hanya menemaniku minum, Ara. Selebihnya mereka pergi dan aku bayar. Papa takut penyakit, jadi gak sembarang meniduri wanita!"
Seketika Tamara menunduk, merasa malu dengan permintaannya malam itu.
"Pantas papa gak jawab pas aku minta dihamili, ternyata dia memang pria yang sehat. Astaga ..., apa aku ini. Bodoh sekali menyatakan itu di saat kondisi hancur. Menyesal memang selalu belakangan," batin Tamara.
"Sekarang suamimu ke mana?"
"Pergi lagi, katanya gak pulang sampai besok. Gak inget kondisi, memang!" balas Tamara, kesal.
"Gak heran lagi," balas Arei membuang wajah seolah jengah. Namun, kembali ia menatap menantunya dan berkata, "Ara bisa kamu temani papa tidur berdua di sini?"
"Hah?!"