Bab 06. Hampir Melakukan

1044 Words
Tamara benar menemani papa mertuanya tidur bersama. Mungkin berpelukan, saling mendekap sudah biasa saat dalam dirinya terpuruk. Namun kali ini posisi mereka di saat tertidur, sementara rengkuhan begitu erat, tentu menjadi pengalaman pertama menggentarkan jantung. "Astaga, dia yang tidur aku yang malah main sama jantung. Seharusnya gak usah deg-degan, anggap aja ini sama ayah sendiri. Ahh, aku gak nyaman tetap saja dia orang lain," batin Tamara terus mengoceh. Bahkan, perempuan itu beberapa kali menggeliat atau sekedar menghela napas panjang karena tak kuat menahan sesak di d**a akibat pelukan Arei, apalagi yang memeluknya itu seperti petinju, ditambah tidak memakai baju. "Kamu gak nyaman?" tanya Arei, tiba-tiba terbangun. "Ah, enggak kok, Pa!" balas Tamara berbohong. Arei pun melonggarkan sedikit dekapannya, menatap menunduk melihat Tamara yang masih gugup. "Tamara apa terdengar etis mertua meminta tidur bersama dengan menantunya?" "Memangnya kenapa?" "Apa kamu gak ngerasa risih? Bagaimanapun aku tetap orang lain, orang tua dari suami kamu. Apa alasan kamu menerima seperti ini, Tamara?" Tamara dibuat berkerut, merasa aneh dengan pertanyaan mertuanya. Namun ia tetap menjawab dengan bijaksana, "Papa, Ara menerima karena papa sudah begitu baik selama Ara tinggal di sini. Papa pasti ngerasa, aku seperti putri Papa, 'kan?" "Bukan ...," jawab Arei apa adanya. "Maksud, Papa?" Tamara mendengar suara kekehan, dapat dilihat pria itu sedang tersenyum bercanda. "Papa kesepian ...." "Terus?" "Ya, cuma ada kamu di rumah, jadi Papa ngerasa kamu lebih dari anak!" "Jadinya apa?" Tamara masih bertanya dengan nada yang polos. "Jadinya, mari kita tidur. Jangan sampai belum bangun di saat Ashlan sudah pulang!" Mulailah Tamara memejamkan mata, meski belum mengantuk, tetapi dirasa pelukan itu semakin lama semakin nyaman, sampai benar-benar membawanya ke dalam mimpi. Sampai di keesokan paginya. Arei terbangun terlebih dahulu, ia menatap Tamara masih pulas. Namun, dibiarkan perempuan itu tidur lebih lama lagi karena mengira jika suaminya belum pulang. Tak lama Arei beranjak ke kamar mandi, Tamara terbangun. Melihat sudah tak ada sang ayah mertua di sampingnya, Tamara menebak jika Arei sedang mandi. "Papa lagi mandi, aku kembali ke kamar deh!" Wanita itu melangkah meninggalkan kamar, berniat untuk kembali ke kamarnya sendiri. Namun, ia melihat pintunya terbuka sedikit, padahal semalam sempat ia kunci. "Apa mas Ashlan sudah pulang?" gumamnya bertanya. Kemudian ia mendorong sedikit pintu kamar. Belum sampai masuk, ia dibuat tercengang melihat kondisi isi di dalamnya. "Mas Ashlan ...." Suara lirihan terdengar getar. Ashlan tampak santai disaksikan isterinya saat dipuaskan perempuan. Tidak ada salah satu di antara mereka yang memakai baju, semuanya polos, bahkan blak-blakan Ashlan menunjukkan kegagahannya dilayani perempuan tersebut di hadapan sang istri langsung. "Pergilah, jangan ganggu aku!" ujar Ashlan saat menikmati aksi pergumulannya. Tak mau melihat adegan tak wajar itu, yang ada hanya menyakitkan mata. Ia benar-benar melihat neraka di dalam kamarnya, sampai putar balik dengan mendekap kuping. "Setidaknya jangan di bawa ke rumah, dan kenapa harus di kamar kita? Mas Ashlan keterlaluan!" gumam Tamara. Dia lemah, setiap seperti ini selalu ada air mata yang seakan menjadi teman. Tempat awal pun menjadi kepulangan Tamara untuk mengadu rasa sakit hatinya. Ya, ia kembali ke kamar mertuanya. Saat sudah kembali, masih terdengar percikan air shower di kamar mandi. Ia pun terduduk lemas di atas ranjang, sambil tak henti-henti menyeka air mata. "Tamara? Ada apa?" Tiba-tiba Arei keluar dengan balutan kimono. Ia melihat menantunya banjir air mata, rasa hati pun panik dan bertanya-tanya. Arei mencoba menghampiri, kemudian berjongkok agar lebih rendah posisinya dari Tamara yang terduduk di ranjang, lalu Arei menangkup wajahnya. "Kenapa?" tanyanya dengan suara yang begitu lembut. Namun, itu semakin membuat Tamara menangis. "Sakit Pa ..., mas Ashlan blak-blakan menunjukkan perbuatan kotornya. Aku jijik, kamar aku jadi tempat hubungan mereka!" Arei tergertak dengan perasaan penuh amarah. Ia sudah bangkit, tetapi ditahan oleh Tamara. "Jangan ganggu! Biarkan mereka, nanti Ara yang kena pukul. Aku gak akan pernah dihargai, selama belum bisa memberikannya anak!" Arei menatapnya begitu intens, kemudian Arei kelepasan karena tiba-tiba mencium bibir menantunya seperti hewan buas yang kelaparan. Membuat Tamara mendelik menahan rasa gelenyar di hati. "Papa!" "Biar papa yang hamili kamu. Nunggu dapat dari Ashlan mau sampai mati pun kamu gak akan bisa hamil!" ucap Arei penuh tekanan. "Papa, ini belum waktunya. Kerjasama kita cuma program itu, bukan cara ini!" Tamara berusaha memberontak ia tidak mau gegabah yang akan menyebabkan penyesalan di kemudian hari. Namun, nyatanya emosi Arei berubah menjadi gairah yang tidak bisa ia kendalikan. "Sudah cukup waktunya Ara, setelah menstruasi waktu yang tepat karena saat ini masa suburmu!" Bagaimana bisa seorang mertua bisa mengetahui hal pribadi tentang menantunya seperti itu? Ya, semua karena sikap terbuka Tamara yang apa-apa selalu mengadu, bahkan di hal yang terkecil pun. "Papa, ini salah!" Arei menulikan telinga, ia sibuk melucuti pakaian Tamara, sementara tubuhnya sendiri sudah polos setengah. Di sela itu, Arei tak henti menyerangnya dengan kecupan. Hal terlarang yang pertama mereka lakukan dan rasakan. "Papa ..., jangan ...." Sean berhasil membuat Tamara tak berpakaian, tanpa pikir hubungan antar keduanya seperti apa. Arei seperti kesetanan akibat emosinya terhadap sang anak. Baru ingin menurunkan pengait terakhir, tiba-tiba Arei sadar. Ia sudah melihat tubuh Tamara ia juga dapat melihat perempuan itu menangis dengan air mata yang jatuh di samping pelipisnya. Terlihat dan terdengar melolong meminta berhenti. "Apa yang aku lakukan?" Arei bergumam sambil melamun, kemudian ia turun dari ranjangnya. Membanting sesuatu karena merasa ceroboh dan bodoh. Merutuki perbuatannya. Sementara Tamara tengah meringkuk ketakutan di atas kasur dalam kondisi badan bugil. Arei pun menyelimutinya. "Maafin, papa Tamara!" "Aku takut ...." Mungkin itu hal yang biasa jika ia lakukan bersama suami. Namun, untuk pengalaman pertama dengan orang yang tidak memiliki hak, terlebih status kedua yang disandang, tentu menjadi ketakutan terbesarnya. *** Sampai di malam hari. Tamara melihat suaminya sudah bisa melepas embanan tangan yang patah. Namun, ia begitu rapi sementara yang diketahui Tamara jika pria itu ingin keluar malam tidak mungkin memakai pakaian seformal itu. "Aku akan dinas di luar negeri, mungkin sampai satu atau dua bulan di sana," ucap Ashlan. "Kenapa lama banget?" "Kerjaan!" tandas Ashlan, cukup membuat Tamara paham. "Baiklah, hati-hati!" "Selama aku pergi, jangan macam-macam sama pria tua itu!" Mungkin yang dimaksud Ashlan adalah papanya. Namun, untuk apa ia melarang? Sementara dirinya sendiri seenaknya melalukan hal yang dilarang. "Gak mungkin!" balas Tamara membuang wajah. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, Ashlan pun pergi dengan membawa koper besar. Tamara hanya mampu menatap nanar kepergiannya. "Kamu larang aku kayak gitu, sementara kamu sendiri seenaknya memperlakukanku. Egois!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD