Bab 02. Sedikit Tergoda

1129 Words
Ternyata pernyataan semalam hanya sebuah kekesalan semata, saat di mana seseorang berkeputusan dalam kondisi mabuk. Ashlan tidak sama sekali membahasnya pagi ini, ia bahkan menerima pelayanan Tamara seperti biasa. "Aku pulang malam, jangan sekali-kali mencari kabar dengan temanku, kalau sudah waktunya, aku akan pulang. Paham?" "Baik Mas, hati-hati!" Ashlan pergi tanpa menanggapi. Mungkin umumnya suami berangkat bekerja ada aksi cium tangan atau kecup kening, maka untuk Tamara itu tidak berlaku. Baginya tidak masalah seberapa dinginnya sikap sang suami, asal jangan ada pembahasan cerai, sudah cukup membuat hati tentram. Karena cuma itu yang selalu ditakutinya. Meninggalkan kamar, Tamara beranjak turun ke bawah. Mengingat aktivitas pagi yang selalu ia kerjakan, yaitu menanam, ia ingin segera melihat tumbuhanya hari ini. Namun, baru tiba di halaman depan rumah, Tamara disuguhi pemandangan yang membuatnya tersenyum. "Astaga, bisa-bisanya aku tergoda lihat kebugaran papa, tapi aku rasa mas Ashlan saja memang gak sebagus itu badannya. Papa apik banget jaga hidup sehat," batin Tamara. "Ara, bisa ambilkan handuk papa? Ada di sofa sana!" titah Arei. "Ah, baik sebentar Pa!" Akhirnya lamunan Tamara buyar, ia bergerak mengambil handuk untuk ayah mertuanya. Kemudian ia menyerahkan handuknya, sambil menyaksikan bagaimana pria dewasa itu membersihkan peluh di sekujur tubuh. "Bagaimana dengan suamimu?" "Sudah gak dibahas Pa, aku rasa semalam karena mabuk dia bicara begitu!" "Terus, gimana sama tawaran Papa semalam? Kamu mau punya anak 'kan?" Tiba-tiba Tamara mengingat sesuatu, tetapi baginya sungguh hal itu tidak wajar. "Apa maksud Papa berhubungan? Meminjam benih? Astaga, cara macam apa itu?" batinnya. "Tapi dengan cara apa, Pa?" "Program bayi tabung dengan menggunakan sel telur papa, tapi kalaupun kamu mau langsung, papa gak keberatan. Maaf Tamara, bukan bermaksud ingin berhubungan intim denganmu, tapi salah satu cara itu bisa buat kamu hamil. Program bayi tabung pun gak memungkinkan bisa berhasil, tapi kita coba dulu!" "Papa udah yakin kalau mas Ashlan yang mandul? Kalau kenyataannya aku bagaimana?" balas Tamara, menunjukkan ketidakyakinannya. "Nah, itulah gunanya Papa ajak kamu periksa. Mau langsung ke rumah sakit, atau panggil dokter saja?" Belum sempat dijawab, tiba-tiba mereka kedatangan sosok wanita yang membuat Tamara malas melakukan apa pun. "Mas Arei!" "Astaga, masih pagi, tapi tante girang itu sudah berkunjung. Gak punya kerjaan!" gumam Tamara. Mertuanya pun terkekeh mendengar itu karena siapapun tahu mereka tidak pernah akur. "Mas, mama suruh kamu hantar aku belanja, dan katanya gak ada penolakan. Berani menolak pertunangan kita semakin dekat!" "Idih maksa. Memang segitunya ya, Papa takut nikah sama dia?" cibir Tamara. "Astaga aku gak sadar ada istri yang gak hamil-hamil di sini. Mas, gimana? Apa sudah ada pengganti untuk anakmu? Kalau boleh, adikku menganggur di rumah," sindir perempuan itu. Namanya, Helena ia perempuan yang katanya akan dijodohkan oleh orang tua Arei untuk menjadi ibu sambung Ashlan. Helen berstatus single, usianya pun setara dengan anak Arei. Jangan tanyakan bagaimana Helen terobsesi menjadi istri Arei, meski usianya terpaut jauh. Helen hanya suka dengan harta Arei yang tak terhitung jumlahnya, apalagi untuk urusan tampan, Arei adalah sosok duda yang banyak digadang-gadangkan wanita. "Bicaranya tutup pakai handuk ini Tante, mulutmu bau sampah!" Tidak mementingkan perilaku sopan, Tamara langsung melemparkan handuk basah bekas keringat Arei, tepat mengenai wajah Helen. Lalu ia sendiri pergi meninggalkan keduanya. "Perilaku menantumu makin buruk, Mas!" Kesalnya. "Makanya jangan suka pancing emosi, pembawaanmu memang sudah negatif dari dulu," balas Arei ikut meninggalkannya. "Menyebalkan!" *** Sampai di tengah malam. Ashlan baru saja pulang. Namun, kali ini ia tidak mabuk, tidak juga membawa perempuan. "Mas, gak mabuk 'kan?" tanya Tamara. Ashlan menggeleng, kemudian ia menyerang istrinya dengan ciuman di atas ranjang. Tamara yang mendapat perlakuan itu tentu terkejut. Tidak biasanya Ashlan begitu. "Aku gak sewa perempuan malam ini karena aku ingin merasakan istri sendiri. Aku ingin, Tamara!" "Sial sekali di saat suamiku mau, aku digagalkan dengan datangnya mentruasi." "Mas, aku datang bulan ...," jawab Tamara tertunduk lemah. Ashlan pun bangkit dari tempat tidur, lalu ia melayangkan tamparan kuat di pipi istrinya. Tamara hanya mampu menatap nanar sembari memegang pipinya yang merah. Hal itu sudah sering dirasakan, jadi tak heran lagi. "Aku benci sekali tiap kali dengar kamu menstruasi. Kapan kamu hamil Tamara kalau datang bulan terus? Di saat aku mau, kamu selalu gak bisa!" "Mas, ini memang sudah waktunya aku menstruasi, kemarin ke mana aja? Malah cari wanita lain!" hardik Tamara begitu kuat. Sekali lagi pukulan melayang, dan itu dirasakan di pipi yang sama. Barulah Tamara mengadu kesakitan. "Bikin gak betah di rumah!" Tamara yakin setelah ini suaminya akan pergi kembali. "Pergi Mas, selagi buat kamu senang!" "Aku kasih waktu kamu sampai tiga bulan untuk hamil. Melewati batas itu, aku rasa pernikahan sudah saatnya disudahi!" ujar Ashlan pergi meninggalkan kamar. Bahkan untuk menangis pun Tamara merasa sudah tidak ada air mata lagi yang bisa dikeluarkan. Ia memilih beranjak ke dapur untuk mencari kompres. Mengobati pipi yang kian terasa perih. "Kenapa?" tanya Arei. Lagi-lagi, ia memergoki papa mertuanya itu di dapur saat tengah malam begini. "Papa lapar?" Arei tidak menjawab ia justru membuka tangan Tamara yang tak mau beranjak dari pipi. "Ashlan lagi?" Tamara menunduk. Entah kenapa ia tidak pernah bisa menahan tangis jika sudah berhadapan dengan Arei. "Biar Papa kompres!" Arei membiarkan menantunya menangis, meski ia belum tahu apa penyebabnya. Namun, untuk pelaku yang membuat Tamara seperti itu, sudah pasti tersangka utama adalah sang putra. "Apa masalah anak lagi?" tanya Arei. "Bukan cuma itu, Pa. Setiap aku datang bulan, aku selalu jadi lampiasan emosinya. Aku diberi waktu tiga bulan untuk hamil, dan aku rasa waktu segitu gak memungkinkan aku bisa hamil," balas Hara. Mulai merasakan dingin di pipinya karena kain kompresan itu. "Sudah seharusnya kamu memutuskan pilihanmu, Ra. Papa rasa program itu yang harus kita coba dulu. Pokoknya besok gak ada lagi penolakan untuk tes kesuburan!" Ucapan sang ayah mertua mampu membuat Tamara berpikir, tetapi di sisi lain ia memiliki ketakutan yang begitu besar. *** Pagi hari. Arei sudah mendapati besannya berkunjung, sementara menantunya belum ada tanda-tanda munculnya dari kamar. "Pagi Pak Arei, di mana anakku?" ucap Mira sang mama Tamara. "Pagi Buk Mira, sepertinya Tamara masih di kamar. Saya dengar dia lagi gak enak badan," balas Arei. "Ah, saya kira anak itu belum bangun sudah jam segini. Boleh saya menengoknya ke kamar, Pak?" Itulah yang menjadi alasan Arei berbohong. Cukup diketahui didikan orang tua Tamara keras. Arei hanya takut jika menantunya mendapat omelan. "Ah, silahkan, Buk. Kebetulan anak saya sudah berangkat kerja!" "Terima kasih, Pak!" Perempuan paruh baya itu berjalan melangkahi tangga. Setibanya memasuki kamar, ia melihat sang putri tengah terbaring di atas ranjang dengan balutan selimut. "Tamara ...." "Mama, kenapa gak kasih kabar?" Tamara terburu-buru bangkit, untuk duduk bersandar. "Kata mertuamu, kamu lagi sakit." "Papa bilang aku sakit? Pasti gak mau aku kena omel mama karena aku belum bangun," batin Tamara. "Ya, tadi badanku panas Ma, tapi sekarang sudah membaik," balas Tamara. "Lalu, bagaimana tentang cucu Mama, Ara? Apa sudah ada tanda-tanda kehamilan?" "Aku baru aja dapat tamu bulanan, Ma!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD