Setelah mampu membuat pengertian untuk sang mama, Mira akhirnya pulang meski membawa perasaan kecewa. Harapannya begitu besar, sementara Tamara hanya bisa merutuki nasibnya.
"Andai aku punya kakak atau adik perempuan, mungkin bukan aku satu-satunya yang diharapkan mama."
Saat melamun begitu, tiba-tiba ayah mertua datang membawa makanan, sesegera ia menetralkan kondisi.
"Makan dulu. Semalam, papa sempat cek suhu badan kamu, panas banget!" ucap Arei menyentuh kening menantunya.
Tamara tidak mau menjawab, ia sedikit terharu dengan perhatian penuh dari mertuanya. Di antara orang tua dan suaminya, hanya perlakuan Arei yang bisa membuat Tamara merasa hidupnya berarti.
"Andai, sikap suami aku tukeran dengan papa, gak tau sebahagia apa aku. Sekarang kenyataannya dia cuma mertuaku."
"Pasti mikirin tagihan orang tua lagi ya? Wajar Ara, buk Mira cuma bisa berharap di kamu," ujar Arei sembari menyuapi Tamara.
Perempuan itu tersenyum getir. "Aku cuma heran, kenapa papa baik banget sama aku?"
Arei terkekeh, merasa lebih heran dengan pertanyaan menantunya. "Aku yang lebih heran dengan pertanyaanmu itu Tamara. Aku memang seperti ini dari dulu. Bagiku orang-orang yang menjadi keluarga harus aku beri kasih sayang penuh, supaya kehadirannya merasa berharga."
"Terima kasih, Pa!" balas Tamara tersenyum simpul.
"Mungkin karena kamu sering dapat perlakuan buruk dari anak papa, jadi merasa perlakuan papa sangat baik. Papa, cuma mau kamu nyaman di sini, Ra."
"Boleh Ara peluk, Papa?"
Arei sampai menaruh piring makan, demi merentangkan tangan untuk menyambutnya ke dalam pelukan. "Dengan sangat senang hati!"
Tamara berhambur masuk dalam rengkuhan Arei. Lagi-lagi ia merasakan dekapan hangat yang entah kenapa ia rasakan itu bukan karena status menantu dan mertua.
"Walaupun papa memang selalu baik sama semua orang, bukan juga yang spesial untukku, tapi papa berhasil buat aku terbawa perasaan. Andai ini yang aku dapatkan dari mas Ashlan!"
Saat sedang nyaman dalam sandaran pundak ayah mertua, tiba-tiba mata Tamara terbelalak melihat seseorang di ambang pintu tampak melayangkan tatapan tajam. Tentu rengkuhan itu saling terlepas, Arei pun terkejut.
"Mas, Ashlan!"
Seketika keduanya beranjak dari tempat tidur, kemudian melihat Ashlan dengan tatapan cemas. Mereka menyangka jika sang putra merasa salah paham, tetapi nyatanya pria itu sedang dikendalikan oleh alkohol.
"Awas, aku ngantuk!" Ashlan tidak sadar jika yang ditepisnya itu adalah sang ayah. Tamara pun merasa lega karena ternyata suaminya tidak sadar.
Sementara Arei merasa geram sendiri. Mungkin jika bukan dalam kondisi mabuk, ia sudah melayangkan pukulannya.
"Aku nyesel ngerawat anak ini sampai besar!" ujar Arei sudah begitu geram, hampir dalam kondisi tidur pun Ashlan ingin dipukul. Namun, tentu ada Tamara yang mencegah.
"Papa, keluar ya. Biar Mas Ashlan istirahat dulu." Tamara sangat pelan menyeru mertuanya keluar. Sebenarnya tidak enak, tetapi ia takut kemarahan Arei benar-benar diluapkan.
Pria itu pun hanya menatap sekilas, kemudian ia pergi membawa rasa kesal. Seketika perasaan bersalah dan tidak enak hati pun, menghampiri Tamara.
Sementara Arei saat keluar dari kamar mereka, kini dipertemukan dengan sang mama dan juga anak emasnya yang baru saja datang. Wanita itu tampak menatap tajam ke arah sang anak.
"Tuh, Ma ..., orangnya!" ucap Helen seperti anak kecil yang mengadu setelah dijahati.
Wanita paruh baya itu pun memukul anaknya. "Anak emas mama, harus dituruti. Kenapa menolak, hah? Dia minta ditemani!"
"Aku sibuk, Ma ...." balas Arei.
"Bohong Ma, aku lihat dia cuma mondar-mandir gak jelas. Mau kerja 'kan uangnya sudah banyak!" sahut Helen.
"Pokoknya, ini akan buat pertunangan kalian semakin dekat!"
Helen semakin kegirangan mendengar pernyataan calon mertuanya itu. Namun, bagi pandangan Arei, Helen tak jauh dari Tamara, bahkan menurutnya Tamara jauh lebih dewasa meski usia perempuan itu lebih muda.
"Aku gak mau sama anak kecil, biar aku cari ibu pengganti sendiri untuk Ashlan, tentunya menyesuaikan usiaku. Lagipula menduda di sisa umur, apa salahnya?"
"Aku dewasa, Mas Arei!" Helen merasa tidak terima.
"Cuma usia, pikiran enggak!"
"Ma ...." Lagi-lagi Helen merengek seolah mengadu.
"Tuh, 'kan!" rutuk Arei.
"Sudah-sudah, mama mau tengok istri cucu mama saja!" Sinta—mama Arei.
Ia berniat melihat istri dari sang cucu, tetapi ia dicegah oleh ucapan sang anak yang mengatakan, "Mereka berdua lagi istirahat, jangan diganggu, Ma!"
"Hmm ..., mama cuma mau tanya tentang cicit. Apa kamu dengar anak itu sudah ada tanda-tanda kehamilan?"
Untuk pertanyaan semacam itu Arei malas menanggapi. Ia berpikir dirinya saja enggan, apalagi sang menantu yang sedang terpuruk tentang nasibnya. Selalu mendapat pertanyaan, kapan hamil, tanpa mereka tahu itu sedikit menguak kesedihan.
***
Malam hari. Arei berniat ingin mencari wanita lain, sebelum orang tuanya memutuskan perjodohan konyol itu. Apalagi yang disandingkannya modelan Helen. Kelakuan perempuan itu yang tidak bisa diterima olehnya.
"Selamatkan masa depan, setidaknya di sisa umurku sekarang. Aku akan mencari wanita matang yang sefrekuensi!" gumam Arei saat berhadapan dengan cermin.
Ia sedang mengoreksi diri dalam balutan handuk. Saat itu, kedatangan seseorang yang memasuki kamarnya menjadi keterkejutannya. Tampak terlihat dari cermin.
"Papa!"
"Tamara!"
Arei melihat kondisi menantunya sangat buruk, dengan air mata yang mengucur di pipinya. Baru saja masuk, perempuan itu langsung menubruknya masuk ke dalam pelukan.
Ia dapat melihat wajah Tamara yang terluka, bahkan banyak bagian yang membiru. Rambutnya pun kusut seperti sehabis dijambak. Arei selalu tertuju pada putranya.
"Papa, aku gak kuat sama mas Ashlan. Ayo hamili aku, Pa!" Tamara mendongak, menunjukkan wajahnya yang begitu mengenaskan. Banyak darah yang menetes dari bibir. Bukan hanya itu, bajunya pun tampak sobek di mana-mana.
Arei mengerang tertahan, giginya bergemelatuk menahan amarah. Sesegera mungkin ia ingin melampiaskan rasa murkanya.
"Di mana dia sekarang?" tanya Arei tanpa ingin melepas rengkuhan menantunya. Tetapi, Tamara seolah tidak mampu hanya sekedar menjawab, kondisinya sudah sangat lemah.
Alhasil, Arei menggendongnya, dan merebahkan wanita itu di atas ranjang. Ia sendiri pergi setelahnya, mencari keberadaan sang anak yang terlihat ingin pergi ke luar rumah.
"Sudah bosan kamu jadi anakku?"
"Perempuan itu mengadu?"
"Pantes kamu aniaya istrimu sampai begitu?"
"Dia yang gak becus!"
Tanpa pikir panjang, Arei segera memukulnya. Meluapkan kekesalan yang lebih besar dari malam itu.
Ashlan tersungkur, jatuh, sampai batuk darah, bahkan berkali-kali dibanting. Kekerasan fisik yang sudah melewati batas, tetapi itulah kemarahan seorang ayah.
"Andai membunuh anak gak dosa, sudah kulakukan dari kamu kecil!"
"Segitunya membela dia? Papa gak terima? Atau karena rasa suka? Mau merebut istriku 'kah?"
"Anak sialan!"
Satu pukulan terakhir, berhasil membuat Ashlan pingsan di tempat. Para maid pun ramai-ramai menghampiri, membawanya ke rumah sakit.