Susana kembali canggung, saat di mana Arei menggunakan cara ekstrim untuk menghapus noda bekas darah di bibirnya. Kini yang ada hanya wajah cemberut Tamara, dan Arei yang berkali-kali meminta maaf.
"Itu cium antara orang tua dan anak!"
"Aku gak bodoh, Pa!" Kesal Tamara menjawab ketus.
"Baiklah sekali lagi Papa minta maaf, aku melakukannya refleks. Lagipula 'kan niatnya cuma mau bersihin!"
"Gak kayak gitu juga caranya!" Tamara semakin dibuat kesal. Arei pun kelimpungan, takut perempuan itu marah seperti tadi.
"Papa minta maaf, tolong jangan marah seperti tadi. Cuma kamu yang mau jadi teman papa!" Arei sudah sangat memelas, berharap sang menantu mengasihaninya.
Napas panjang pun mengudara, kemudian ia membuang wajah dengan jengah. "Ya sudah, Ara mau balik ke kamar. Papa juga tidur, jangan keluar lagi!"
"Hmm, Tamara bisa kita tidur bersama lagi? Kalau gak mau tidur di kamar Papa, biar di kamar kamu aja!"
Tamara menatap Arei, penuh arti. Pria itu pun paham apa maksud dari pandangan Tamara. Arei memegangi pundaknya, mencoba untuk menyakinkan.
"Kemarin Papa emosi, kalau tenang seperti ini Papa gak akan melakukan hal ceroboh itu lagi. Papa cuma butuh teman, Tamara!"
Tatapan Arei begitu tulus sehingga membuat Tamara tidak enak untuk menolak. "Baiklah, ayo di kamar Papa aja!"
Karena merasa senang, Arei sampai menggendong Tamara menuju kamar. Tamara pun hanya terkejut.
"Papa, aku bisa jalan sendiri!"
"Papa lagi gemar menggendong perempuan!" ujar Arei mulai melangkah sambil terkekeh. Tamara pun dibuat menggeleng-geleng.
"Aneh, kenapa gak pembantu aja Papa gendong satu-satu?"
"Itu, lain cerita namanya!"
"Iiih!"
Pembicaraan pun terhenti kala mereka sudah berada di atas ranjang. Arei merebahkan tubuh menantunya di kasur, sementara dirinya terlihat sedang membuka baju.
"Kenapa dibuka bajunya?" tanya Tamara mulai ketakutan.
"Papa 'kan memang gak biasa tidur pakai baju, bukannya kamu tau dari dulu?" Arei menautkan alisnya, kini ia sudah berada di samping posisi menantunya itu. "Apa karena kejadian kemarin, kamu jadi takut kayak gini? Padahal Papa cuma buka baju."
"Siapapun pasti sama bereaksi seperti aku tadi, apalagi setelah nyaris dinodai mertua sendiri," balas Tamara.
Arei hanya mampu berpikir, ia pun mewajarkan sikap menantunya. Toh, dipikir salahnya sendiri.
Kini ia merentangkan tangan, seakan meminta Tamara untuk hinggap di pelukannya. "Ya, sudah Papa minta maaf. Mari tidur, besok Papa ke kantor takut kesiangan!"
Sedikit ragu, tetapi akhirnya Tamara mau tidur dalam dekapannya. "Papa ke kantor?"
"Iya, selama Ashlan di luar negeri, gak ada yang handle perusahaan. Asistennya sibuk ngurus perusahaan papa yang lain. Nasib, memang punya anak satu-satunya, padahal papa udah malas berbisnis lagi!" balas Arei.
"Ya sudah nikah lagi aja!"
"Belum ada yang pas!"
Tamara menghela napas karena hanya itu jawaban tiap kali ia bertanya, kenapa Arei masih betah menduda.
"Lama kelamaan Papa jadi duda karatan!" cemooh Tamara.
"Papa belum tua-tua banget 'kan?!"
"Bahkan kelihatan lebih muda dari anakmu pa, masih aja nanya. Dia enggak nyadar apa, mukanya mulus banget gak ada keriputan, padahal umurnya udah empat puluhan," batin Tamara.
"Tua, kalau dilihat dari umur," balas Tamara apa adanya.
"Kalau wajah?"
"Gak tau tanya aja sama Neptunus!" Tamara cuek, ia memilih untuk tidur karena mulai mengantuk.
Namun, masih terdengar saja suara kekehan, agaknya pria itu belum ingin tidur.
"Ara, mau hantar makanan ke kantor besok? Kamu tau 'kan Papa gak bisa makan masakan lain, selain masakan kamu?" ujar Arei.
"Boleh aja, tapi ada syaratnya."
"Apa?"
"Hantar, Ara belanja!"
Arei menyunggingkan senyumnya, merasa itu bukan suatu hal yang sulit. Bahkan, ia siap mengeluarkan banyak uang untuk menantunya.
"Mau belanja sampai berapa milyar? Biar papa siapkan uangnya," balas Arei.
"Hah? Milyar? Aku cuma mau belanja Pa, bukan mau beli mall!"
"Yaa gak apa-apa, hitung-hitung imbalan karena sudah mau masakin papa!"
***
Sampai di keesokan hari. Tamara terbangun lebih dulu. Setelah membersihkan diri, ia menyediakan sarapan di dapur.
"Non, apa tuan belum bangun?" tanya pembantu bagian dapur.
"Hmm, tumben bibik tanya gitu ke aku?"
"Maaf Non, semalam saya lihat Nona digendong ke kamar. Saya pikir kalian tidur berdua, jadi ingin bertanya apa tuan sudah bangun karena hari ini beliau ke kantor."
Seketika Tamara merasa aneh di hatinya.
"Itu terdengar menjijikkan gak si? Menantu dan mertua tidur bareng, sampai dilihat pembantu pula. Ah, masa bodo, toh kita seperti ayah dan anak pada umumnya. Lagian cuma tidur biasa," batin Tamara terus menyangkal.
"Oh ..., kayaknya belum Bik, nanti aku mau bangunin abis buat sarapan!" balas Tamara.
"Jangan lupa sediakan keperluannya ya, Non. Tuan kalau sama pembantu gak mau, saya yakin sama Nona mau!" ucap pembantu itu.
"Baik, Bik!"
"Terima kasih. Saya kembali bertugas ya Non, permisi ...."
Tamara kemudian beranjak menuju kamar sang ayah mertua. Saat sudah di dalam, ia tak sengaja melihat Arei sedang memakai baju.
"Astaga!"
"Ara ...."
Tamara melihat ayah mertuanya itu sedang membenarkan pakaian dalamnya, tampak baru pakaian itu yang dikenakan oleh Arei. Seketika ia pun berbalik badan.
"Walaupun kemarin sempat lihat, tetap saja ini gak etis!"
Jantung Tamara tak karuan, hatinya bergetar, telinganya panas, sama halnya dengan pipi chubby-nya yang terlihat kian memerah.
"Apa-apaan si pikiranku ini?!"
"Masuklah, Papa sudah pakai celana panjang!"
Tamara balik badan kembali, kini ia sudah melihat Arei sudah tampak lebih tertutup, dan sekarang ia sedang memakai kemejanya. Setelah menetralkan jantung, Tamara kembali berjalan menghampiri, lalu mengambil dasi.
"Maaf, Ara gak ketuk pintu dulu tadi," ucap Tamara.
"Santai, selagi bukan dalam kondisi gak pakai apa-apa!" balas Arei tersenyum menggoda. Tamara pun diingatkan pada kejadian malam itu, seketika pipinya kembali bersemu.
"Sini biar aku pasangin dasinya!" Perempuan itu berusaha untuk mengalihkan topik.
Arei memajukan posisinya, lalu berdiri tegap. Tamara pun melenguh panjang, dan berdecak. "Tinggi banget si!"
"Papa lupa kalau kamu pendek!" ujar Arei, langsung membuat mood Tamara menjadi jelek.
"Ishhh, pakai sendiri!"
Arei tertawa pelan, lalu mengangkatnya ke atas meja. Dengan begitu, Tamara leluasa memasangkan dasinya.
"Gini dong," ucapnya tersenyum. Lagi-lagi kekesalan yang terkesan konyol itu, menuai tawa dari Arei. Tamara pun mulai memakaikannya dasi.
"Seperti punya istri," gumam Arei.
"Aku juga seperti punya suami, bahkan peran papa lebih cocok untuk suami, buat aku." Sayangannya ungkapan itu hanya mampu dikatakan dalam hati.
"Makanya nikah!" sindir Tamara, hal yang sangat malas Arei dengar. Untuk menanggapi saja ia enggan.
Kini Arei menatap wajahnya begitu lekat, lalu ia menyentuh birai yang terlihat begitu ranum. Pengalaman pertama, Tamara justru terpaku melihat ketampanan ayah mertuanya saat dilihat dari dekat.
"Kenapa duda ini tampan banget si?"
"Tamara, Papa gak tau setiap lihat wajah kamu, selalu tertuju benda ini. Memang salah, tapi apa boleh Papa mencium kamu lagi?"