Bab 09. Aksi di Tengah Malam

1029 Words
Saat ingin menyiapkan masakan untuk dikirim ke kantor, tiba-tiba Tamara mendapat notifikasi yang berhasil mengena di hati. [Mama baru aja ke acara arisan, yang lain pada bawa cucu, mama habis jadi bulan-bulanan mereka. Andai mama punya anak perempuan lain, mungkin saat ini mama sudah gendong banyak anak kecil] Sebuah pesan yang membuat pikiran bekerja, Tamara merasa gagal menjadi seorang anak. Niat orang tua yang begitu serius menikahinya di usia muda, tetapi justru yang jadi harapannya, tak serius. "Andai kalian gak butuh anak dari darah daging aku, mungkin dari kemarin-kemarin aku sudah banyak mengadopsi bayi," gumam Tamara. "Non, tuan baru saja mengabari. Nona harus cepat sampai ke kantor, tuan sudah lapar katanya!" Akhirnya kemelut di pikiran Tamara buyar, ia pun teringat kembali akan sang ayah mertua. "Baik Bik, aku jalan sekarang ya!" "Iya, Non hati-hati!" Tamara pun beranjak dari dapur, kepergiannya tak luput dari penjagaan bodyguard. Meski risih karena dirasanya sangat mencolok, tetapi Tamara akui dalam kondisi penjagaan seperti itu memang lebih aman. *** Sampai tiba di kantor. Tamara segera mengunjungi ruang pemimpin. Semenjak pernikahannya dengan Ashlan, ini yang kedua kalinya ia menginjakkan kaki di perusahaan. "Papa!" "Hei ..., masuklah!" Tamara tersenyum, lalu menghampiri. Arei pun bergerak mengunci pintu ruangannya. Tamara sempat terheran, tetapi ia mengira jika papa mertuanya itu tidak mau diganggu. "Kamu suapi Papa ya?!" "Okey, tapi jadi 'kan hari ini kita belanja? Sebenarnya kalau gak ada barang penting yang mau aku beli, aku gak akan belanja." "List saja barang-barangnya Ara, biar papa yang bayar!" balas Arei, tak luput memandingi menantunya. "Gak perlu, aku punya uang!" cetus Tamara. "Ayolah, sekali-kali papa manjain, kamu jarang 'kan diratukan laki-laki? Apalagi suami, pasti gak pernah!" "Baiklah ..., terserah Papa. Ayo buka mulut!" Kemudian Tamara menyendokkan makanan, siap untuk menyuapi. Akan tetapi, Arei masih enggan, ia menggeleng tanda tidak terima suapannya. "Pakai tangan kamu bisa? Sini, biar papa cuciin!" Arei mengambil sebuah wadah, lalu menyuci tangan Tamara. Perempuan itu tidak menolak, ia menurut saja. "Gak guna aku bawa sendok," ketusnya cemberut. Ia pun mulai mengambil makanan menggunakan tangannya langsung. Seketika ia terbelalak, merasakan hangat di jarinya akibat hisapan kecil dari mulut itu. "Gini 'kan lebih nikmat!" balas Arei tersenyum simpul. Tamara menundukkan kepalanya, merasa malu sendiri. "Astaga, ada apa ini? Stop, Tamara. Pikiranmu sudah keterlaluan!" Sementara batinnya terus saja mengoceh. Di saat belenggu hatinya dikaluti rasa aneh, tiba-tiba Arei lagi-lagi membuatnya kaget. Pada suapan terakhir, pria itu seakan mencuci jari Tamara menggunakan mulutnya. "Papa, sudah!" Tamara menarik tangannya, lalu ia mencuci menggunakan air. Saat sudah kembali ke hadapannya lagi, perempuan itu membawa wajah yang terlihat bersemu. Entah kenapa hari ini Arei selalu berhasil membuatnya salah tingkah. "Kamu pakai makeup ketebalan ya? Merah banget muka kamu, Ara!" tegur Arei. "Masa si?!" Tamara segera mengambil cermin di tas untuk mengacai wajahnya. Saat menatap Arei kembali, ternyata pria itu sedang tersenyum menggoda. Alhasil wajah cemberut pun terhias. "Sudah ayo, Papa temani kamu belanja sekarang!" ajak Arei. "Tapi, kerjaan gimana?" "Aman ..., biar asisten Papa yang handle!" "Baiklah ...." Akhirnya dua manusia itu berjalan saling bergandengan. Meski menjadi pusat perhatian para karyawan dan staf-staf di kantor, keduanya tak sama sekali melepaskan tangan. "Indah ya, dapat perhatian penuh dari laki-laki kayak gini. Ah, kenapa waktu itu mama sama ayah gak jodohin aku sama papa aja si? Mungkin aku gak makan hati tiap hari terus," batin Tamara. Tiba-tiba ia memukul-mukul kepalanya, lagi-lagi merutuki kesalahannya dalam berpikir. "Hei ..., Tamara sadar. Meski papa mertuamu tampan, lebih kaya, dan baik. Mas Ashlan satu-satunya. Iiih, bisa-bisanya berpikir begitu," gumam dalam hatinya. "Kamu pusing?" tegur Arei. "Eh, enggak Pa cuma iseng aja ketuk-ketuk kepala," balas Tamara. Seketika pria itu terkekeh. Sampai tiba di sebuah pusat perbelanjaan. Tamara terlihat happy, sambil mencari-cari barang yang akan ia beli. Kini, mereka berhenti di sebuah toko pakaian. "Papa tunggu di sini, aku mau pilih pakaian, nanti Papa harus koreksi dan komentar bagus atau enggak!" "Baik!" Sambil menunggu, Arei memainkan ponselnya dengan duduk di sebuah kursi yang tersedia. Merasakan hal aneh, ia menoleh ke arah perempuan yang sedang terpaku menatapnya. "Tampan sekali, Om!" ujar perempuan itu. "Terima kasih," balas Arei tersenyum manis. Tiba-tiba seseorang datang membentak. "Hei, jangan ganggu dia!" Ya, itu adalah Tamara yang sedang memarahi perempuan yang memuji papa mertuanya. Seketika wajah cemberut tercipta darinya. "Istrinya marah!" Kemudian perempuan itu pun pergi, setelah menduga jika Tamara adalah istri Arei. "Dia cuma puji Papa," ucap Arei. "Tetap aja genit, aku gak mau Papa terpikat sama perempuan modelan kayak gitu. Yang harus sama Papa itu wanita berkelas!" omel Tamara. "Atur ...," balas Arei menahan senyumnya. Kini, ia memejeng menunjukkan pakaian yang dikenakannya. "Pokoknya harus komentar, jangan bilang bagus padahal aslinya gak cocok!" "Tamara, tapi apa pun yang kamu pakai selalu terlihat bagus. Pakaian itu tergantung siapa yang pakai. Kamu cantik, otomatis apa yang kamu kenakan pun begitu!" kata Arei sangat serius. Tamara pun tersenyum malu-malu. "Astaga, jadi pengin beli semua baju di sini!" "Ya, beli aja, sekalian sama pegawainya juga gak apa-apa!" "Iiih Papa! Maksud Papa pakaiannya buat aku, pegawainya buat Papa gitu?" "Boleh juga!" Berakhir dengan wajah cemberut. Namun, Arei berhasil membuat Tamara bahagia hari ini. *** Saat hampir tengah malam, sesosok perempuan sedang berhias di hadapan cermin dalam kondisi pikiran berkabut. Ya, semua karena tekanan orang-orang yang mendesaknya untuk segera memiliki seorang malaikat kecil, ia terpaksa melakukan hal yang akan ia niatkan malam ini. "Harapan satu-satunya, Papa!" Cermin pun menjadi saksi, tampaknya wajah kelabu dari perempuan itu. Mengenakan pakaian yang seharusnya hanya dilihat seorang suami, tetapi Tamara pede keluar kamar saat memakai lingerie dengan bagian terbuka di mana-mana, untuk menuju kamar mertuanya. Pintu terbuka, seketika menampilkan sesosok pria dengan balutan kimono sedang duduk santai di atas ranjang. Minuman, dan buku terlihat menjadi temannya. "Tamara ...." Arei tentu terkejut. Tidak biasanya menantunya itu datang dengan pakaian terbuka begitu. Sementara Tamara berjalan, menaiki pangkuannya, lalu ia berbisik di telinga, "Papa aku butuh anak. Aku ingin hamil, bantu aku!" Arei menatap teduh ekspresi suram menantunya, lalu ia menangkup wajah itu, dan berkata lemah lembut, "Kamu yakin, Ara?" "Ara yakin Pa, cuma Papa harapan aku. Aku mau membahagiakan mama, aku juga mau dihargai sebagai istri sama mas Ashlan, aku juga mau memiliki buah hati. Papa mau 'kan, bantu?" Arei tersenyum, lalu mengecup bibirnya. "Dengan sangat senang hati, Ara ...."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD