Sebuah Penawaran
Vanilla berjalan di koridor lalu segera memasuki kamar kostnya dengan gontai. Badannya terasa begitu remuk, dan bahkan tulang dan sendi-sendinya juga terasa begitu nyeri, semua terjadi karena kepadatan jadwal kuliah dan pekerjaan paruh waktu yang dia jalani setiap harinya. Mahasiswi semester empat itu, segera melemparkan tubuhnya ke atas kasur yang berukuran mini miliknya, hanya itu tempat ternyaman yang dia miliki saat ini. Di kamar kost yang berukuran dua kali tiga itu dia terbiasa memendam segala rasa sakit dan deritanya sendirian. Hanya ada sebuah bed dan lemari serta sebuah kulkas mini yang mengisi kamarnya. Tak ada AC apalagi televisi. Hanya sebuah kipas angin sedang yang senantiasa menemaninya di kala panas. Di balik tawa cerianya setiap hari, gadis itu harus menyimpan segala keresahan hatinya sendirian. Tak terasa kedua mata gadis itu kini sudah terpejam seiring dengan berjalannya detik jam analog yang menempel di dinding berwarna cream itu.
Vanilla tak bisa santai semenjak kepergian kedua orang tuanya menghadap yang maha kuasa dua tahun silam. Kecelakaan tunggal yang dialami keluarganya masih meninggalkan jejak trauma mendalam di dalam dirinya. Apalagi dia hanyalah seorang anak tunggal yang tentunya hanya bergantung dengan kedua orang tuanya. Tak ada kerabat dan saudara saat ini.
“Papa, mama!” jerit Vanilla dengan tangan bergetar dan keringat yang sudah membasahi keningnya. Gadis itu terengah sembari mengusap wajahnya menggunakan kedua tangannya. Rentetan peristiwa menyakitkan itu lagi-lagi hadir ke dalam mimpinya. Tangis gadis itu semakin pecah tatkala mengingat kejadian itu kembali. Tak ada suara selain isakan yang berangsur mereda. Dia segera mengusap air mata yang mengalir dari sudut matanya.
Jantungnya seakan terhenti ketika mengingat kembali kejadian di mana kedua orang tuanya mengalami kecelakaan di depan matanya. Mobil yang dikendarai sang papa masuk ke jurang tepat setelah sang papa menurunkan dirinya ketika hendak membeli makanan.
Nahas.
Kejadian begitu cepat saat sebuah mobil box kehilangan kendali dari arah bukit menghantam mobil sang papa.
Vanilla bahkan tak bisa melakukan apapun pada saat itu, selain jerit tangis yang terdengar begitu histeris. Andaisaja dia tak merengek meminta berhenti saat itu, mungkin saja orang tuanya masih menemaninya hingga saat ini. Namun nasi telah menjadi bubur, tak mungkin bisa di kembalikan seperti semula. Vanilla harus terus berjuang dan hidup seperti manusia normal lainnya, meskipun rasanya begitu sulit. Selain meninggalkan dirinya sendiri, kepergian kedua orangtuanya juga meninggalkan hutang yang begitu menggunung. Alhasil semua aset peninggalan kedua orang tuanya harus direlakan untuk disita oleh bank. Bahkan dia harus berjuang dari minus untuk menghidupi dirinya sendiri. Sungguh miris namun Vanilla juga mulai terbiasa dengan keadaannya.
Gadis itu mencoba menetralkan kembali napasnya yang terasa menyesakkan. Dia segera membuka kulkas mini yang ada di sudut ruang kamarnya lalu segera mengambil sebotol air mineral dan meneguknya hingga tandas.
Suara ketukan pintu kamar segera menyadarkan dirinya dari lamunannya. Vanilla berjalan mendekat ke arah pintu untuk membukakan pintu kamarnya, jelas dia tau siapa yang datang saat ini. Siapa lagi jika bukan Sonya sahabat yang senantiasa menemaninya di kala suka maupun duka.
Benar saja, gadis 22 tahun itu kini tampak tersenyum melihat Sonya yang tengah mengangkat kedua tangannya menenteng dua kantong plastik penuh yang entah apa isinya.
“Party eembb!” teriak Sonya terhenti. Vanilla segera membekap mulut lemes Sonya agar tak membuat penghuni kos lain merasa terganggu. “ssttt! Jangan ribut lo ya!” desis Vanilla dengan tangan masih membekap mulut sahabatnya itu. Sonya tampak mengangguk mengerti. Lalu segera mengekor memasuki kamar Vanilla dan tak lupa dia menutup pintu kamar dengan salah satu kakinya.
“Pindah kos deh lo, sempit banget. Orang skipidipapap aja kedengeran kalo begini, Van,” celetuk Sonya yang di tanggapi dengan tatapan jengah Vanilla. Bagaimana tidak, untuk makan saja Vanilla harus berhemat. Untuk saat ini hanya kost ini yang mampu di jangkau oleh kantong mahasiswi kismin seperti dirinya. Kehidupan mewah ketika orang tuanya masih hidup berubah 180 derajat berbanding terbalik dari sebelumnya.
“Gi-”
Suara ketukan pintu menghentikan ucapan Vanilla membuat gadis itu berdecak kesal. Dua gadis itu saling menatap satu sama lain.
“Van, kamu di dalam?” teriak bu Bertha nyaring dari luar pintu kamar.
Vanilla segera bergegas menghampiri wanita paruh baya itu. Dia adalah ibu kos Vanilla. Sementara Sonya segera menaruh di kantong plastik di meja kamar Vanilla.
“Iya, bu ada apa?” tanya Vanilla kepada wanita yang kini terlihat sangat kesal menatap Vanilla.
Wanita paruh baya itu tampak mengembuskan napas, tersirat wajah yang menunjukkan kekesalan sebelum menjawab pertanyaan Vanilla. “Ini sudah tanggal 15, kamu belum bayar uang kos. Udah telat 2 minggu,” sahutnya ketus.
“Astaga, maaf bu. Saya lupa,” jawab Vanilla seketika dia teringat jika belum membayar uang kos.
“Kali ini alasan apa lagi?” cecar bu Bertha. Wanita itu seolah tak memberi kesempatan Vanilla untuk menjelaskan apapun.
“Ini, bu. Buat dua bulan yang akan datang sekalian,” ucap Sonya yang tiba-tiba muncul dari dalam sembari memberikan beberapa lembaru uang berwarna biru dan juga merah kepada ibu Bertha.
“Nggak usah, Son,” tolak Vanilla merasa tak enak, dan segera meraih tangan Sonya. Sayangnya tangan gadis itu kalah cepat dengan tangan milik bu Bertha.
“Nah gitu dong, lain kali jangan nunggak lagi ya,” kata Bu Bertha cepat sebelum Vanilla menjawab, bahkan uang itu sudah berpindah ke tangan bu Bertha secepat kilat. Wanita itu juga langsung berlalu begitu saja setelah mendapatkan uang kost dari Sonya.
“Dasar mata duitan, giliran duit aja, cepet!” celetuk Sonya. Untungnya Bu Bertha sudah pergi, sehingga wanita itu tak mendengar ucapannya.
Vanilla menatap ke arah Sonya dengan sedikit kesal. Sonya memang suka berbuat seenaknya kepada dirinya.
“Jangan gitu dong, Son. Gue kan mau bayar, belum juga gue jelasin udah lo srobot aja sih,” sungut Vanilla.
“Lagian baru telat dua minggu aja dia udah ngomel. Belum juga telat haid, eh. Atau jangan-jangan dia PMS kali Van,” jawab Sonya tanpa rasa bersalah. Dia segera duduk dan membuka plastik yang berisi makanan yang dia beli di jalan sebelumnya.
Vanilla menghela napas, “namanya juga usaha orang, Son. Lain kali jangan gitu lagi ya. Gue nggak bisa ganti semua uang lo jadinya, gue cicil aja ya bulan depan ke lo, atau habis gajian nanti,” kata Vanilla merasa tak enak dan mencoba mengatur kembali strategi secepat mungkin. Gadis itu segera mengambil uang dari dompetnya dan segera memberikan kepada Sonya.
“Apaan sih, Van. Kayak sama siapa aja, udah deh, lo simpen aja uang itu. Anggep aja itu THR buat lo,” sahut Sonya cepat. Dia segera mengigit sepotong pizza dari tangannya.
“THR masih jauh kali, Son. Lagian gue bukan anak buah lo," sahut Vanilla.
Vanilla hanya mampu menggeleng, dia tak mau berhutang budi dengan Sonya terlalu banyak. Dia segera ditransfer uang ke rekening Sonya melalui mobile banking miliknya. “udah ya, jangan gitu lagi. Atau gue nggak mau ketemu elo lagi,” ancam Vanilla.
Sonya terlihat kesal, pasalnya dia merasa ikhlas menolong Vanilla. “Ya elah, Van. Elo perhitungan banget sih, kayak sama siapa aja deh,” tegur Sonya.
“Nyari duit itu susah Son, elo harus tau itu. Elo yang cuma ngabisin duit bokap lo harus tau,” kata Vanilla yang tak membuat Sonya tersinggung sama sekali, dia sudah kebal dengan semua ucapan pedas Vanilla kepadanya, bahkan gadis itu malah tampak sangat lahap memakan pizza dengan lelehan mozarella itu. Bahkan melihat kelakuan Sonya membuat Vanilla merasa ngiler.
Gadis itu ikut mengambil sepotong pizza yang ada di hadapannya. “Gua pusing gimana ngejalanin hidup kedepannya,” keluh Vanilla tanpa sadar.
Sonya mengangguk beberapa kali. “Eh, gue ada penawaran bagus. Sini deh, gue ada kenalan nih. Nggak kenal banget juga sih, tapi lumayan menguntungkan buat elo,” kata Sonya yang semakin membuat Vanilla semakin bingung.
“BO?” jawab Vanilla telak. Hanya itu yang sering di tawarkan oleh teman-temannya ketika dirinya meminta mencarikan sebuah pekerjaan. Atau solusi soal keuangan.
"Dih, ya enggak dong. Gue masih waras kali dengan nggak menjual temen kayak elo, minimal mah gua jual elo buat tumbal proyek,” kelakar Sonya.
“Sialan lo!” protes Vanilla sembari melempar bantal ke arah Sonya. Gadis itu hanya nyengir sembari mengangkat dua jarinya berbentuk V.
“Haha ... Maaf, intinya bukan itu sih,” kata Sonya.
“Terus apa dong?” entah mengapa kali ini Vanilla tampak sedikit tertarik mendengar perkataan Sonya.
“Nikah kontrak sama kenalan bokap gue, namanya tuan Gara. Rumornya dia Gay. Kan untung elo, gimana?”
“Oke deal,” sahut Vanilla yang sebenarnya hanya bercanda.