Hilang.
Satu persatu orang di hidupnya menghilang. Elena mencoba tersenyum, mungkin ini adalah awal bagi kebahagian mereka dengan meninggalkannya. Tidak masalah. Kehilangan juga bukan sekali dua kali ia rasakan, ia sudah mulai mengerti iramanya dan kini ia sudah tak merasakan apapun. Selain rasa bersalah yang besar pada laki-laki yang terluka di depannya ini.
Bara-nya.
Nyalanya.
Sebuah kesalahan jika Elena menangis. Dilihat dari sudut manapun, Elena bukanlah korban. Ia yang harusnya disalahkan. Ia adalah perempuan jahat yang memanfaatkan sayap seorang malaikat untuk menyelamatkan kehidupannya yang telah rusak. Ia memanfaatkan laki-laki itu sebagai tempatnya bersandar ketika lelah. Menangis dan mengadu tanpa tahu bahwa tempatnya berbaring bukanlah sebuah batu yang tak mempunyai perasaan.
"Maaf," kata laki-laki itu dengan mata berkaca-kaca.
Matanya menatap Elena dengan lembut. Mata yang selama ini menyelamatkan Elena dari kegelapan. Bertemu dengan laki-laki itu adalah keberuntungan besar dalam hidupnya.
Bara mengeratkan pelukannya. Membuat tubuh polos Elena semakin dalam di kekangannya yang kuat. Elena dapat merasakan detak jantung samar yang terperangkap dalam suara isakannya. Elena melukainya untuk kesekian kalinya.
Pelukan hangat dari laki-laki itu hanya terasa di kulit Elena. Hatinya yang dingin tak pernah tersentuh oleh apapun. Selama ini ia mencari, tapi tetap saja tak ada yang berhasil menyembuhkannya. Elena sakit dan kehilangan Bara akan menambah lubang kecil di hatinya. Sungguh, Elena butuh laki-laki itu untuk mewaraskan pikirannya.
"Jangan pergi ..." batin Elena lirih.
Ia akan menjadi perempuan paling jahat jika ia menyuarakan keinginannya itu. Dengan mempertahankan Bara, laki-laki itu tidak akan bisa mendapatkan kebahagiannya sendiri.
"Maaf. Aku harus meninggalkanmu. Aku seorang laki-laki, El. Aku sudah berumur 30 tahun, aku punya kehidupan yang selalu menekanku untuk keluar dari ketidakjelasan hubungan kita. Aku mempunyai orang tua yang ingin aku bahagiakan. Aku mencintaimu, tapi kau tak pernah mengijinkanku untuk melihat perasaanmu," kata Bara lirih di telinga Elena.
Menyentuh telinga Elena halus dengan usapan bibirnya. "Yang aku inginkan adalah pernikahan dan kau tidak pernah bisa memberikannya."
Pernikahan.
Elena mengutuk kata bodoh itu untuk sekian kalinya. Bara pernah melamarnya, tiga kali, dan Elena tidak pernah menanggapinya dengan serius. Pernikahan tidak ada dalam daftar keinginannya. Komitmen hanya membuatnya sesak. Elena tidak membutuhkannya.
Elena tahu ia adalah perempuan jahat yang kurang ajar. Ia bukan perempuan baik-baik dan tidak pernah terlintas sedikitpun keinginan untuk menjadi bagian dari mereka.
Elena hanya berusaha untuk berdiri sendiri, dengan kedua kakinya dan sisa-sisa jiwanya yang masih tertinggal di tubuhnya. Ia berusaha menjadi layaknya seorang perempuan yang ingin dicintai. Melempar senyum palsu kepada orang lain adalah keahliannya sekarang.
Namun tetap saja, ia tak bisa mengingkari bahwa ia tidak bisa menerima siapapun.
"Jangan melakukan hal bodoh lagi, El. Aku tidak bisa lagi datang setiap kau memanggilku. Aku akan menikah, akan ada perempuan yang menjadi prioritasku nanti. Aku tidak bisa selalu ada di sampingmu lagi."
Bara mengecup bibir Elena dengan singkat. Menariknya lembut lalu melepasnya lagi. Menatap Elena iris matanya yang teduh.
"Maaf aku tidak bisa menyembuhkanmu. Maaf aku mengingkari janjiku dulu."
Laki-laki itu menyentuh bibir Elena dengan jari-jarinya yang sedikit kasar. Elena melihat setitik air mata jatuh dari mata laki-laki itu.
"Jangan menangis," kata Elena sambil menghapus air mata Bara.
"Kau tahu? Aku sangat ingin memiliki ini untuk diriku sendiri. Aku tidak bisa membayangkan jika ini menjadi milik orang lain nanti," kata Bara sambil mengusap bibir Elena pelan.
Tangannya yang lain memegang pinggang Elena lalu mengangkatnya untuk mendekatinya. "Tapi aku lebih menginginkan hatimu, Elena. Aku menginginkan hatimu lebih dari apapun di dunia ini."
Bara mencium Elena. Mengulum bibir Elena dengan lembut bagaikan perempuan itu adalah lapisan kaca yang mudah pecah. Laki-laki itu melumat lidah Elena dengan hangat dan basah. Lumatannya semakin cepat dan laki-laki itu menggigit bibir Elena dengan keras.
Elena mengerang pelan dan Bara semakin membuat ciumannya kasar. Tak memberinya ampun.
Dengan kekuatan yang bersisa dari permainannya tadi, Elena mendorong d**a Bara menjauh. Meraup udara di sekitarnya dengan rakus. Merasakan Bara melakukan hal yang sama. Lalu tanpa memberi jeda pada jantung Elena, laki-laki itu dengan sigap menggigit lehernya yang membuat Elena menjerit tertahan. Merasakan ngilu yang luar biasa mengalir dari saraf-saraf di lehernya. Seolah tahu Elena kesakitan, Bara melumat leher yang digigitnya tadi dengan lumatan halus yang dapat membuat Elena mendesah pelan.
Tubuhnya selalu menerima Bara. Tapi kenapa hatinya tidak?
Elena mendengar suara geraman keras ketika Bara menarik tubuhnya. Ia melihat Elena dengan matanya yang menggelap. Bara mencengkram rambutnya geram. Ia terlihat marah dan kesal.
"Aku menghargai calon istriku, Elena. Aku berharap ini terakhir kalinya kita bersentuhan. Maafkan aku."
Bara turun dari ranjang tanpa sehelai benang pun hinggap di tubuhnya yang kekar. Elena memalingkan wajahnya. Ia selalu tidak siap melihat tubuh laki-laki. Apalagi laki-laki yang akan menjadi suami perempuan lain. Ia sudah cukup berdosa tanpa melakukan itu.
Sebuah kaos hitam hinggap di pangkuan Elena. "Pakai itu. Aku akan mengantarmu pulang," perintah Bara.
Hanya mampu mengangguk, Elena memakai kaos yang diberikan Bara dengan cepat. Lalu mengambil celananya yang tergeletak di samping kasurnya. Satu-satunya pakaian yang selamat dari terjangan Bara satu jam yang lalu. Elena segera turun dari ranjang yang telah menjadi saksi bisu perbuatan dosa yang mereka lakukan dua tahun ini. Waktu yang cukup lama bagi hatinya ini untuk merasakan kehilangan yang hebat.
"Kau tahu? Kau benar-benar melukai perasaanku, Elena. Bisa-bisanya kau setenang ini di saat perpisahan kita. Tak berartikah semua yang kita lakukan selama ini?" Kata Bara tanpa memandang Elena.
Laki-laki itu menatapnya kaca kemudinya dengan lurus, tak seperti Bara yang selalu menatap Elena dengan senyum indahnya yang hangat. "Aku sempat lupa bahwa kau benar-benar tidak punya perasaan sedikitpun untukku," lanjutnya dengan senyum kecut yang membuat Elena berteriak marah pada dirinya sendiri.
Tidak, Bara. Aku hanya terlalu pandai menyembunyikan perasaanku. Tentu saja aku merasa kehilangan - sangat kehilangan. Tapi aku tidak boleh bersikap egois. Hubungan kita harus berakhir suatu saat, dan sekarang adalah waktu yang tepat.
"Maafkan aku."
Namun hanya itu yang keluar dari mulut Elena.
Bara menghentikan mobilnya tepat di depan apartemen kecil Elena. Elena turun dengan pelan. Melihat Bara yang hanya duduk tanpa melihatnya lagi. Menyesapi setiap uraian pertemuannya dengan satu-satunya laki-laki yang selalu menemaninya dimasa sulit kehidupannya.
Bara adalah keberuntungannya.
Elena mengingat kembali awal kehadiran Bara di hidupnya. Malam dia menggenggam tangan laki-laki itu dengan erat agar tak meninggalkannya seorang diri.
Lima tahun yang lalu...
"Bisa-bisanya kau bilang seperti itu, Bar," kata seseorang di depan Elena. "Kau tidak mau menjelaskan kenapa kau selingkuh di belakangku, hah?"
Barang belanjaan yang Elena cukup berat untuk dibawanya seorang diri. Ia harus berhenti sesekali untuk meregangkan tangannya yang sakit. Tapi drama yang berlangsung di depannya membuat perempuan itu kembali melangkah. Dua orang di depannya seperti sedang bertengkar dan Elena tidak ingin mengganggu mereka.
Braakkkk
Elena melihat jeruk-jeruk berserakan di bawah kakinya. Kantong buahnya rusak. Elena mengumpat pelan.
"Kau lihat apa? Kau mendengarkan aku tidak, hah? Bara!" ujar perempuan di sebelah Elena dengan nada yang semakin tinggi.
Elena tidak nyaman dengan situasi ini. Sebuah tangan menyodorkan dua buah jeruk kepada Elena. Ia mengangkat kepalanya dan menemukan laki-laki yang sepertinya sedang bertengkar dengan kekasihnya itu membantunya mengambil jeruk-jeruk yang jatuh. Elena menerima jeruk itu lalu tersenyum ramah pada laki-laki yang membantunya itu.
"Terima kasih," ucap Elena dengan senyum yang merekah di bibirnya.
"Bara! Kau benar-benar tidak menghargai aku, ya? Kau berubah. Sudahlah, kalau kau memang sudah lelah dengan hubungan ini, ayo kita berhenti saja." Laki-laki yang dipanggil Bara itu berdiri lalu melihat kekasihnya dengan santai. "Kau memang tidak pernah mencintaiku, bukan?"
"Kalau aku mengatakan tidak selingkuh, apakah kau akan percaya?"
"Kalian berdua berciuman di depanku dan kau mengharapkanku untuk percaya dengan ba-jingan sepertimu? Kau pikir aku secinta itu denganmu, Bar? Jangan membuat aku tertawa, Bara."
"Baiklah. Kita sudahi hubungan ini."
Elena menatap dua orang di depannya itu dengan tidak nyaman. Ia dengan cepat meletakkan jeruk-jeruknya kekantongnya yang baru, lalu pergi dari parkiran minimarket itu menuju kosnya.
"Jangan hubungi aku lagi," ucap laki-laki itu yang masih bisa ditangkap oleh Elena.
Jalanan cukup sepi. Meskipun area ini masih dekat dengan kampus, namun karena letaknya yang termasuk terbelakang membuat jalan yang selalu dilewati Elena itu selalu sepi ketika malam. Bahkan tak jarang ia menemukan segerombolan laki-laki dengan penampilan sangar di persimpangan dekat kos Elena.
Sebuah suara gesekan antara sepatu dan jalanan membuat di belakangnya membuat Elena merinding. Elena mempercepat langkahnya. Merasakan ada orang yang mengikutinya. Kos kecilnya sudah terlihat di depan matanya, tapi tak mengurangi rasa takutnya pada sesuatu yang akan terjadi. Elena berlari dan berteriak dengan keras sesaat setelah ia merasakan seseorang menarik tangannya.
"Maaf," ucap orang tersebut.
Tanpa Elena sadari, ia menutupi wajahnya dengan tangannya sangat erat. Jantungnya bergetar dengan keras dan dadanya terasa sesak. Elena takut. Kegelapan membuatnya ketakutan. Kilasan jahat masa lalu selalu menemukannya di saat-saat seperti ini.
Sentakan dan jeritan keluar dari mulut Elena ketika orang yang ada di depannya itu mencoba menyentuh tangannya. Tangannya gemetar - Elena hanya mampu menggerakkan mulutnya dengan lemah.
"Aku mohon, lepaskan ..." lirih perempuan itu.
Dengas plastik belanjaan yang masih ia pegang erat di dadanya. Perempuan itu melangkah mundur. Ia mendengar bisikan-bisikan hebat yang membuat kepalanya berputar dan merasakan dunia telah merenggut nyawanya dengan pelan. Goncangan di tubuhnya semakin membuat tubuh perempuan itu bergetar ketakutan. Ia menggigit bibirnya dengan keras, berharap ketakutan segera meninggalkannya. Bibirnya berdarah namun Elena tetap menggigitnya hingga sebuah tangan memegang tangan Elena erat.
"Aku mohon. Pergi ..." ucapnya lagi.
Batu di belakangnya membuat keseimbangan Elena terganggu dan ia jatuh ke tanah yang dingin. Tangisannya semakin keras.
Laki-laki itu kembali. Laki-laki itu telah menemukannya. Mimpi buruknya kembali lagi. Kenapa? Kenapa laki-laki itu tetap mengikutinya? Kenapa?
Elena mencoba mengambil sesuatu untuk melukai tubuhnya, namun sebuah tangan kekar mencegah tangannya untuk bergerak. Sebuah ingatan tajam menyekat pikirannya kembali.
"Hei. Dengar aku," teriak laki-laki di depan Elena..
Elena menarik tangan orang di depannya dengan kasar."Jangan... Jangan melakukan ini padaku. Tolong lepaskan aku, aku mohon ... Kau menakutiku. Bisakah seseorang mendengarku?"
Dengan mata yang masih berair. Ia menatap orang di depannya itu yang kini tengah melihatnya bingung dan khawatir. Mata lelaki itu cukup hangat. Elena ingin pulang.
"Tolong aku ..." ucap Elena lirih sambil menatap laki-laki itu. "Jangan sakiti aku."
Elena kembali menangis dan laki-laki itu membawa tubuh kecil Elena ke pelukannya yang hangat.
"Tenang. Tenang. Aku di sini. Aku di sini. Tidak ada yang menyakitimu di sini. Kau bisa percaya padaku," ucap laki-laki itu sambil mengusap lembut rambut Elena.
"Dia akan kembali. Tetap di sini. Dia akan kembali."
Laki-laki itu melepaskan pelukannya lalu membantu Elena untuk berdiri. "Aku hanya ingin mengembalikan jerukmu yang tertinggal," kata laki-laki itu sambil memberikan sebuah jeruk kepadanya. Elena hanya bisa menerimanya dengan pandangan kosong.
"Namaku Bara. Aku kuliah di sini. Aku bukan orang jahat dan aku tidak berniat menyakitimu. Kau baik-baik saja?" tanya Bara kemudian. "Kau bisa mendengarku, kan?"
Elena tetap menatap Bara dengan pandangan kosongnya tanpa menjawab pertanyaan Bara. Perempuan itu tengah asik menerima sisa-sisa godam yang tadi mendobrak pikirannya yang gila. Masih saja, kegelapan membuat dirinya lengah seperti ini. Masih saja, meskipun ia telah berusaha menghilang rasa ketakutan ini, masih saja perasaan itu mengendap di sana. Menunggu waktu terbaik untuk menampakkan dirinya.
"Jangan pergi!"
Kata-kata itu cukup membuat Bara tidak meninggalkan Elena malam itu. Ia menemani gadis yang pertama kali ia temui itu di kosnya. Elena tetap menggenggam tangan Bara dengan erat dan tidak pernah melepaskannya barang sedetik pun.
Malam itu, Elena menemukan obat pereda rasa sakit di hatinya. Delapan tahun telah berlalu dan dia tetap diam di sana sebagai malaikat pelindungnya. Dia begitu nyata. Dan dia akan pergi.
Siapkah kau hidup tanpa campur tangannya lagi? Delapan tahun bukan waktu yang sedikit. Kau akan menyesal.
Kata-kata itu hanya hinggap. Hati Elena tak bisa mengatakannya dengan mudah. Kalau dengan egois ia menahan Bara tetap di sisinya, laki-laki itu tidak akan mendapatkan kebahagiannya. Elena tidak bisa memberikan apa yang membuat Bara bahagia. Laki-laki itu hanya akan terluka, setiap hari, setiap malam, dan Elena akan membencinya dirinya sendiri karena hal itu.
"Selamat tinggal, Bara."
Ya, memang ini yang terbaik. Elena membiarkan laki-laki itu pergi bebas dengan sayapnya yang sudah tak sempurna. Tak utuh, tapi Elena yakin laki-laki itu bisa sembuh. Meninggalkan dirinya yang kini berdarah dalam rintikan hujan yang menyakitkan.
Laki-laki itu tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi ia mengurungkannya. Kemudian, dengan hati yang hancur Elena membuka pintu mobil dan keluar. Sampai akhir pun, Bara tak mengucapkan apapun padanya.
Bara melajukan mobilnya tanpa memberikan kesan apapun lagi kepada Elena.
Hujan semakin deras namun Elena tetap tak beranjak dari tempatnya berdiri. Bara telah pergi. Pertemuan selalu menyembunyikan misteri maut di dalamnya. Entah itu sebuah ikatan, kepercayaan, cinta, bahkan perpisahan. Seperti sebuah labirin yang membuat Elena tak bisa lagi mencerna alurnya dengan baik. Kini dengan sisa perasaannya, Elena kembali merangkak untuk menemukan serpihan-serpihan baru yang dapat melengkapinya.
Seorang diri.