Rafa Ardian

1094 Words
Jam dinding di kamar telah menunjukkan pukul sebelas malam. Seorang lelaki tampak masih berkutat dengan bacaan di tangannya, beberapa kali telah menguap, lelah akibat memeriksa tugas para mahasiswa. Namun, ia tetap melanjutkan pekerjaan itu hingga selesai. Rafa Ardian, lelaki berusia tiga puluh tahun. Seorang dosen yang tergolong masih muda di sebuah Universitas Lhokseumawe. Kesehariannya dalam sepi membuat ia seringkali menghabiskan waktu di perpustakaan kampus, atau mengikuti dan memberi seminar yang diselenggarakan kampus atau di luar. Semua itu ia lakukan untuk sedikit menghalau sepi juga melupakan takdir pahitnya. Dari meja kerja ia mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kamar, lupa di mana terakhir kali meletakkan handphone. Suara sebuah pesan masuk membuatnya berjalan menuju arah suara. Di bawah bantal, ponsel dengan layar menyala terpampang meminta dibuka. Ah, rupanya bukan pesan penting, hanya operator layanan kartu. Miris memang, disaat orang lain menunggu pesan-pesan istimewa dari orang spesial, lelaki setampan Rafa malah dilanggani pesan dari operator. Pelan ia menaiki ranjang, merebahkan diri untuk melepas penat. Dipandangi langit-langit kamar setelah lampu dimatikan. Gelap, tapi kemudian lelaki itu membentuk lengkungan di bibir seolah di atap sana sedang melihat gadis itu tersenyum ke arahnya, manis sekali. Harusnya tadi ia bertemu dengan gadis itu di rumahnya, tapi ia sedang ke luar untuk keperluan kampus kata ibunya. Sempat kecewa karena tak dapat melihat wajah cantik itu secara langsung. Namun, takdir memang sudah ditentutan. Saat pulang dari rumahnya, mereka malah bertemu di jalan. Rafa terkesima beberapa saat, bukan karena kecantikan seorang gadis yang kini berdiri di depannya, karena itu memang sudah terbukti dari awal ia melihat, tapi karena keberaniannya. Keberanian yang menurut Rafa sedikit kekanak-kenakan. Lelaki itu jadi tertawa geli membayangkannya kembali. Rafa kembali menggeser layar ponsel agar terbuka. Membuka galeri foto yang sempat discreenshoot dari status Nisa, teman kerjanya. Semua memang berawal dari dia, partner kerjanya di kampus. Kau tahu saat kita melihat sebuah gambar dengan banyak wajah yang terpampang, yang dalam gambar tersebut tidak ada diri kita. Lalu, gambar siapa dulu yang akan kau lihat? Ya, benar. Gambar wajah yang paling bersinar, yang paling cantik. Rafa jujur sebagai seorang lelaki. Ada beberapa gadis dalam foto itu, tapi perhatiannya tetap pada gadis itu. Gadis cantik dengan selendang pashmina berwarna grey. Rafa tertarik dengan pose seorang gadis di foto itu. Mata teduh itu dihiasi dengan lentik bulunya. Hidung bangirnya, juga bibir mungil s*****l yang melengkung tersenyum di foto itu. Beberapa kali sempat diperbesar ukuran layar agar terlihat jelas. Dia memang cantik. Saat disadari bahwa hati memberi sinyal berbeda, Rafa memberanikan diri untuk mengulik informasi tentang gadis itu pada Nisa, sebagai sepupunya. Nisa dan Rafa memang dekat, karena mereka bekerja sebagai dosen di universitas yang sama. Tepatnya Nisa mengajar evaluasi pendidikan dan Rafa mengajar mata kuliah metodologi penelitian. Cinta memang gila, dan Rafa pernah segila itu dulu. Mencintai dengan sepenuh hati, lalu kemudian dicampakkan tiada arti. Hidup memang tak tertebak. Kadang yang datang dengan mulus dan tulus dari hati bisa jadi berubah pada akhirnya. Mungkin itu adalah bukti dari fananya sebuah rasa. Namun, untuk mereka yang saling mencintai, akan mengorbankan egonya untuk tetap saling bertahan. Rafa memejamkan mata, kadang terlalu takut membayangkan untuk jatuh cinta lagi. Kali ini akankah menuai takdir yang sama? * Tinggal sendiri di rumah itu memang merepotkan. Harus masak sarapan sendiri, juga berberes rumah sendiri. Ya, meskipun tidak sesempurna pekerjaan perempuan, setidaknya Rata mencoba untuk mandiri. Pun sudah terbiasa di kosan dulu. Siang, selalunya ia makan di kampus bersama rekan-rekan dosen. Sementara saat pulang, ia sering memasak untuk diri sendiri, atau kalau sedang malas, ia akan ke luar mencari makanan. Ada alasan mengapa Rafa di sini sekarang, merantau dari kota asal. Ibu yang jauh di sana selalu menyarankannya agar mencari seorang pendamping, tapi hatinya terlalu takut untuk disakiti ke dua kali. Namun, kali ini ia rasa do’a sang ibu hampir terkabulkan, karena anaknya kini sedang jatuh cinta lagi. Rafa mengambil dua lembar roti di atas meja makan, mengolesi dengan selai dan memasukkan ke mulut sekadar mengganjal perut. Tanpa membereskan itu semua, lelaki dengan cambang tipis itu mengambil ransel dan memakainya di punggung. Ia membuka pintu dan menguncinya setelah memakai sepatu. Mesin motor sudah dipanaskan terlebih dahulu, ia memang lebih memilih menggunakan motor karena kapasitasnya lebih kecil, juga agar easy using dan tidak terjebak macet. * Kampus telah ramai dengan penghuninya, Rafa melirik benda mungil yang melingkar di tangan. Masih jam delapan kurang lima belas menit. Sebentar lagi jadwalnya mengajar pagi, masih tersisa lima belas menit lagi. “Pak Rafa!” Baru saja akan menaiki tangga menuju ruang dosen. Seorang mahasiwa memanggil dari belakang. Rafa menoleh dan terlihat wajah itu sangat familiar. Pemuda itu adalah salah satu mahasiswa bimbingannya. Kalau tidak salah dia sudah memasuki tahun ke lima, semester sepuluh, tapi belum menyelesaikan tugas akhir. “Maaf, Pak. Saya mau bimbing, sengaja datang awal karena saya pikir bapak akan sibuk saat mengajar nanti.” Benar dugaan Rafa, pemuda itu memang ingin bimbing skripsi. Kasihan memang, Rafa jadi ingat masa-masa dulu kuliah. “Bisa, sih. Tapi Cuma dua belas menit.” Dengan kaki jenjangnya, ia terus menaiki tangga menuju ruang dosen. Sementara mahasiswa itu mengikuti dari belakang. Terkadang mahasiswa memang suka bermalas-malasan di tugas akhir, menganggap sepele karena hanya tinggal itu saja mata kuliahnya. Padahal prinsip ‘nanti saja’ itu adalah awal dari segala kegagalan. * Usai jam makan siang, Rafa bergegas ke mushola kampus untuk menunaikan salat dhuhur. Ada banyak mahasiswa juga di sana. Beberapa mahasiswa mengangguk hormat saat ia melewati mereka, beberapa diantaranya tetap berjalan saat ia melewati koridor area mushola. Juga beberapa mahasiswi tampak melirik-lirik, lalu saling berbisik entah apa. Selebihnya mereka tak peduli pada yang berlalu lalang, sibuk dengan ponsel di tangan. Rafa menuju pintu masuk gedung yang juga terdapat ruang-ruang sekretariat akademik. “Pak Rafa, tunggu!” Terdengar suara seseorang memanggil saat ia melewati mushola perempuan. Rafa tahu suara siapa itu, lalu menoleh ke belakang. Benar, itu Nisa. “Paman bilang, kamu boleh datang minggu depan,” ucap Nisa setelah berjalan dan berdiri tepat di depan Rafa. “Kamu akan datang sama aku, kan?” tanya Rafa memastikan. “Iya, deh. Aku padamu.” Nisa terkekeh pelan. Bucin juga dia ternyata, udah kayak abege saja. “Hei, kenapa?” Nisa menyadarkan Rafa saat tak sadar mengulum senyum dari tadi. “Ah, gapapa.” Sedikit gugup Rafa menjawabnya. “Tenang aja, setahuku dia gak punya pacar, kok. Aku bantu usaha plus do’a deh.” Begitulah Nisa, ia tipe yang care, enak diajak bicara. Ibu dua anak ini juga terkenal baik di kalangan mahasiswa. “Nis, makasih banget ya. Nanti kuatur jam berapa kita berangkat.” “Oke,” ucapnya sebelum pamit masuk ke mushola perempuan.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD