Malam ini Rafa kembali diselimuti rasa gundah, khawatir jika besok ia akan kembali dipaksa untuk kecewa. Ya, setelah beberapa tahun lalu terluka, baru kali ini ia bisa merasakan debar itu lagi. Debar cinta yang menggelegar di setiap inci dari dalam hatinya. Debar yang sama dengan orang yang berbeda, seperti saat dulu ia jatuh cinta.
Ponsel berdering saat Rafa masih sibuk dengan perasaan yang tak keruan. Ia mengambil benda pipih yang terletak sembarangan di atas kasur, lalu menggeser ikon berwarna hijau. Ternyata ibu yang menelepon.
"Bagaimana, Nak?" tanya sang ibu setelah menjawab salam dari putranya.
Di seberang sana, wanita yang telah melahirkan Rafa itu sedang duduk menonton televisi bersama putri bungsunya.
"Besok rencananya mau datang dulu, Bu. kayak Rafa bilang kemarin."
Rafa menjelaskan kegundahan hatinya. Ia memang selalu bercerita pada ibunya, tentang patah hati, juga ketika ia jatuh cinta lagi. Karena tinggal jauh dengan Rafa, Bu Aisyah menyarankan agar ia membawa paman yang ada di Lhokseumawe sebagai pengganti dirinya. Karena bukan lamaran resmi, jadi ibunya ingin mewakili, dan juga sudah berbincang dengan paman Rafa agar sudi kiranya menemani untuk datang ke rumah Azkia.
Ibu Rafa masih tinggal di salah satu kampung di Banda Aceh. Jarak yang terlalu jauh, juga kebiasaan mabuk perjalanan membuat ibu Rafa tidak bisa sering-sering datang untuk mengunjunginya. Kadang ketika libur semester, Rafa menghabiskan waktu bersama keluarganya di sana, atau ketika lebaran tiba, atau ketika ada suatu acara, ia akan pulang.
Di kampung, Bu Aisyah tinggal bersama adik perempuan Rafa, Lilis. Gadis itu masih kuliah di Unsyiah jurusan guru Bahasa Indonesia, semester akhir. Jika ingin menghubungi Rafa, Bu Aisyah harus menunggu putrinya pulang kuliah. Bukan karena Rafa tak bersedia membelikan ponsel, tapi sang ibu menolak karena gaptek, maklum saja usianya sudah mendekati senja. Usianya sudah lima puluh lima tahun, tentu itu bukan usia yang muda.
"Kamu sudah yakin?" tanya sang ibu, kembali menguji keyakinan anaknya. Ia hanya tak ingin Rafa salah pilih seperti sebelumnya. Wanita senja itu ingin Rafa mengambil pelajaran dari apa yang terjadi di masa lalunya. Bukankah sejarah adalah pengalaman berharga yang harus diambil pelajarannya?
Rafa melangkah pelan ke jendela di sisi kamarnya, ia memandangi langit indah bertabur bintang. Pemandangan yang sangat indah jika diiringi kekaguman kekuasaan-Nya. Sejenak Rafa menghela napas, memikirkan setiap langkah yang akan ia ambil untuk ke depannya. Semoga saja hatinya tak patah berkali-kali, karena sebagai manusia biasa ia tak mampu menahannya. Namun, jika takdir yang Maha Kuasa telah ditetapkan, ia akan belajar ikhlas sejak awal. Rafa telah mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.
"InsyaAllah, Rafa udah yakin, Bu. Rafa sudah minta petunjuk pada Allah." Rafa menjawab dengan pasti.
"Ibu menyukainya, Nak." Ibu Rafa tampak mendukung putranya.
"Gadis itu cantik. Kelihatannya juga anak baik-baik," lanjutnya.
Tak bisa dibohongi, saat Rafa mengirim foto Azkia ke w******p adiknya, dan diperlihatkan pada sang ibu. Azkia memang cantik. Ibu Rafa langsung menyukainya, tapi tetap menyarankan anaknya untuk berkenalan lebih dulu. Sesuatu tidak boleh dilihat dari luar saja, bukan?
Rafa terkekeh mendengar ibunya memuji Azkia. Ia tahu, ibunya selalu tak sembarangan dalam menilai orang lain.
"Tapi, Nak. Kamu cuma dikenalkan orang, sebaiknya kalian saling kenalan dulu. Kamu perkenalkan dirimu dengan baik, jangan nanti ia merasa dibohongi olehmu." Penuh tekanan ketika Bu Aisyah mengucapkan kalimat terakhir. Ia ingin Rafa terbuka kepada calon istrinya. Karena dalam rumah tangga, keterbukaan dengan pasangan adalah hal yang sangat penting.
"Iya, Bu. InsyaAllah." Rafa mengiyakan. Ia juga tidak mau gagal untuk keduakalinya. Sebab itu, ia harus mengenal Azkia secara keseluruhan.
Setelah mengucapkan salam, Rafa lekas mengakhiri panggilan dengan ibu. Lalu, mencoba memejamkan mata, beristirahat agar esok lebih bersemangat.
*
Sementara di belahan bumi lainnya, seorang gadis tampak gusar berdiri di depan cermin. Ia baru saja melakukan rutinitas skincare malam, dan kini sedang menyisir rambut lurusnya.
Pandangan gadis itu tepat menembus ke dalam kaca, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Bagaimana harinya esok saat bertemu dengan calon suami yang dimaksud orangtuanya.
Gendut?
Ompong?
Perut buncit?
Azkia melempar sisir mengenai cermin di depannya. Membayangkan banyak hal membuat gadis itu berteriak tiba-tiba.
Shit!
Mana mungkin orangtuanya akan menjodohkannya dengan om-om perut buncit, atau aki-aki baterai soak? Tidak mungkin!
Azkia mencoba untuk tenang, meskipun ia tak yakin bisa tidur nyenyak malam ini. Membayangkannya saja membuatnya geli setengah mati.
Gadis itu kembali meletakkan sisir di meja riasnya. Ia mendekatkan diri ke cermin, dan menatap lekat-lekat bayangannya sendiri.
“Aku masih muda, kan?” desisnya seorang diri. Ia terkesan begitu percaya diri dengan umurnya yang masih muda, dan tak harus segera menikah. Ia merasa tak harus terburu-buru, karena menikah bukan sehari dua hari, tapi sepanjang usia.
Ah, Azkia membohongi banyak orang. Ia bukan tak siap menikah, tapi lelaki yang datang meminang bukanlah lelaki yang ia inginkan. Satu tempat di hatinya bertahta telah disiapkan untuk seorang lelaki yang menemani doa panjangnya.
Gadis itu berjalan pelan menuju ranjangnya. Ia menghempaskan diri di kasur empuk miliknya. Mencoba memejamkan mata dan berdamai dengan keadaan hatinya yang tidak sedang baik-baik saja.
Baru sedetik mata itu terpejam, lalu kembali ia buka. Azkia mengambil ponsel di atas nakas, lalu mengetikkan pesan di w******p Kak Nisa.
Kirim fotonya dong!
Azkia melotot pada pesan yang baru saja ia tuliskan. Aish, bisa-bisanya ia berpikiran untuk menulis pesan itu. Gadis itu akan terkesan terlalu penasaran dengan wajah lelaki itu. Untuk apa juga penasaran dengan wajah itu?
Gadis itu menghapus pesannya. Ia tak jadi mengirimkan pesan itu untuk Kak Nisa. Bisa diledek dan menjadi bahan tertawaan Kak Nisa dan sepupu lainnya saat hari-hari perkumpulan keluarga. Itu memalukan. Membayangkan ekspresi Kak Nisa yang menertawakannya, kesal.
Azkia memilih menulis chat untuk Esyana.
Besok datang, kan?
Beberapa detik tak ada balasan. Lalu, terlihat kontak Esyana tertulis status sedang mengetik.
Besok gak bisa. Maaf ya!
Balasan dari Esyana disertai emot menangkupkan kedua tangan, sebagai permohonan maaf karena tak bisa menemani Azkia bertemu calon suami.
Aih, sok sibuk banget!
Azkia mengirimkan beberapa emot muka manyun. Seolah memang benar-benar kesal pada Esyana.
Sorry deh buat orang yang gak sok sibuk.
Elah. Yaudah gapapa, asal ada ganti ruginya.
Ganti rugi apa?
Makanan.
Plak!
Entah bagaimana pun kondisinya, makan adalah hobi favorit Azkia. Gadis itu akan memalak temannya untuk mendapatkan makanan kesukaan. Sudah menjadi kebiasaan Azkia.
Gadis yang memakai piyama berwarna orange itu menarik selimut, bersiap untuk tidur. Semoga ada mimpi indah yang akan menemani tidurnya.