Marahnya Mama

1219 Words
Selesai salat tahajud, Aurora dan Jasmin melanjutkan pekerjaannya. Mereka mengedit video sebisa mungkin guna meringankan tugas Mario. Setelah mereka mengedit video baru terselesaikan delapan puluh persen, mereka berdua melaksanakan salat subuh. “Pagi Rora dan juga Jasmin.” Nilam menyapa dua gadis perempuan yang baru saja bergabung di meja makan. “Ra, semalam kamu mandi kan setelah pulang dari pesta?” tanya Nilam. “Mama, ya, kali tengah malam Rora harus mandi. Memang, Mama mau Rora sakit?” jawab Aurora sembari mengambil satu porsi nasi lengkap berserta sayur dan lauk pauknya. “Ya, jelas tidak. Tapi, kondisi saat ini itu harus menjaga kebersihan, Ra. Kamu mah tuman sehari mandi sekali.” Nilam berdiri mengambil air putih yang belum tersedia di meja makan. Setelah kembali, ia menuangnya di gelas kaca kosong sebanyak empat gelas. “Tante, seriusan? Aurora mandi sekali doang?” tanya Jasmin yang tidak percaya. Padahal, kalau dekat Aurora, ia akan menghirup wangi yang manis dari tubuh Aurora. Aurora menghela napas, “Ya enggaklah. Sia teh percaya terus sama Mama.” “Sudah, sarapan dulu,” kata ayah. Aurora mengikuti perintah ayahnya. Dalam kehidupan keluarganya, banyak adab yang harus ia patuhi. Salah satunya, diam ketika makan. Sebab, jika ada satu yang mengajak berbicara pasti akan membuat kegaduhan. Sedangkan, makan sembari berbicara akan berdampak negatif, seperti tersedak. Pasti di antara kalian pernah mengalami tersedak bukan? Oleh karena itu, diamlah ketika makan. Nilam beranjak ke dapur membawa piring-piring kotor untuk dicuci. Ya, begitulah nasib seorang ibu yang memiliki anak sedikit pemalas dalam hal pekerjaan rumah. Tapi, Aurora salah satu anak yang pandai dalam akademik dan pintar memutarkan uang agar bisa bertahan hidup. Dengan menjadi konten kreator, membuatnya memiliki penghasilan dan tidak bergantung dengan orang tuanya. Kecuali, kebutuhan yang besar, tentu ia masih membutuhkan orang tuanya. “Ra, bantuin Mama kek, malah mainan hp,” kata Bram sembari membaca koran di kursi teras rumah. Memang, beberapa menit setelah selesai makan, mereka pindah ke teras. Suatu kebiasaannya adalah berjemur setelah sarapan. Walaupun hanya beberapa menit, tapi dengan berjemur akan memberikan banyak manfaat untuk tubuh. Apalagi, kondisi saat ini yang begitu tidak kondusif untuk melakukan olah raga di luar ruangan. “Aelah, Pa, Papa saja tidak pernah bantu Mama. Sekarang nyuruh Aurora buat bantu Mama. Mendingan, kita adain aja tuh acara gotong royong cuci piring.” Aurora masih fokus pada ponselnya. Ia membuka e-mail yang masuk dari penggemarnya. “Pa, bentar riweh ini.” “Dasar anak perempuan bukan idaman calon mertua.” Bram menutup korannya lalu menaruhnya di meja. Ia berjalan ke arah dapur. Tapi, bukan berhenti membantu istrinya mencuci piring, ia malah melenggang ke halaman belakang rumahnya. Bram memberikan makan ikannya di kolam serta mengganti air yang telah keruh. Melihat suaminya yang sedang membersihkan kolam, Nilam dengan sengaja mematikan keran saluran air ke kolam. “Ma, kenapa mati air keran?” teriaknya. “Iya, Pa. Tersumbat kayanya dari sananya.” Nilam telah duduk di kursi yang ada di ruang makan. Sebenarnya, ruang makan di rumahnya langsung menjadi satu dengan dapur tanpa penyekat. Tapi, tetap desain yang keren selalu melekat dalam setiap ruangan. Bram yang tadinya sibuk memainkan keran air, kini beranjak masuk ke dalam rumah dengan keadaan basah dan kaki penuh lumpur. “Ma, yang mati itu di mana?” “Astaga, Papa! Mama teh sudah bersih-bersih rumah sejak subuh. Eh, kaki kotor Papa dengan enaknya mengotori lantai bersih, putih, dan cerah, berkilauan gini.” Nilam mengambil alat pel di ujung dapur. Tidak lama kemudian, Aurora berdiri di ambang pintu penghubung dapur dan ruang tengah. Di sana, ia tertawa melihat Bram yang tengah dimarahi oleh istrinya sendiri. Aurora bergegas duduk di kursi. “Pa, nikmat mana yang kau dustakan?” tanya Aurora menggoda ayahnya yang sedang membersihkan kakinya di kamar mandi. Letak kamar mandi yang masih menjadi satu dengan ruangan dapur serta tempat makan. “Dasar anak satu ini ... Awas saja kau. Kalau tiba-tiba kena marah Mama, siap-siap saja tidak ada pawang yang bisa membantumu.” Bram keluar dari kamar mandi. “Ma, kok keran dalam rumah nyala?” “Ya, memang nyala. Tapi, khusus air kolam mati.” “Pa, itu mah akal-akalan Mama.” Aurora berdiri kembali ke kamar setelah meneguk beberapa kali air putih. Ia melanjutkan kegiatannya bersama Jasmin dan menunggu kedatangan Mario. Dua jam kemudian, Mario telah hadir di tengah-tengah Aurora dan Jasmin. Mereka membahas mengenai konten selanjutnya dan mengunggah video collab bersama Isabel. Setelah beberapa waktu membahas hal itu, akhirnya diputuskan akan membuat konten dengan tema yang jauh lebih unik, akan tetapi tidak akan mengubah ciri khas Aurora. “Ra, syutingnya kan besok. Sekarang, gue pulang dulu. Ada sesuatu yang harus aku kerjakan sama Mama.” Mario telah melenggangkan mobilnya pergi. Kini, saatnya Aurora dan Jasmin mengejar cita-citanya. Sebuah cita-cita akan terwujud apabila kita melakukan sebuah tindakan. Tindakan pertama adalah belajar. Saat ini, Aurora dan Jasmin sedang berusaha menjadi pelajar yang patuh dan menaati peraturan sekolah. Mereka mengerjakan tugas dari gurunya yang dikirim melalui pesan teks. Sekolah daring bukan membuat siswa-siswi semakin pintar, tapi kebalikannya. Mungkin, itu memang benar adanya. Akan tetapi, sebenarnya bisa saja diubah cara belajarnya. Jika selama ini, kita hanya bergantung pada guru, sudah saatnya sekarang kita menggunakan teknologi. Ingatlah, sekarang dunia telah marak dengan digital. Lalu, buat apa gadget kalian? Hanya untuk bermain game online? Jika iya, artinya kamu yang tidak bertanggung jawab atas kewajiban kamu. Sekolah daring tidak akan menjadi masalah bagi pelajar, apabila mereka bisa mengatur waktu dan cara belajar yang efektif. Aurora dan Jasmin menyimak video pembelajaran dari beberapa software yang memuat video pembelajaran. Dengan senang hati, mereka mengikuti pembahasan yang ada. Perlahan, tapi pasti. Mereka mendapatkan ilmu yang biasanya akan dibahas oleh guru di depan kelas. Tapi, untuk saat ini mereka harus bisa belajar lebih mandiri. “Aurora!” teriak Nilam dari lantai satu. Aurora yang sedang fokus dengan pembahasan pun menghentikan pemutaran videonya. Ia menapaki tangga untuk turun ke lantai satu menemui Nilam di sana. Aurora melihat Nilam yang sedang duduk di sofa sembari menikmati camilannya. Sedangkan, Bram telah pergi ke kantornya sejak pagi setelah insiden air kolam. “Astaga, bajumu itu ganti! Mandi dulu. Itu baju sudah dipakai sejak semalam. Dasar jadi cewek kok jorok, sih. Masa iya Mama harus marah-marah baru jadi cewek yang manis dan bersih.” Nilam berdiri lalu menatap anaknya yang masih kumel. “Mama, Rora itu lagi sekolah malah dimarahin doang. Kirain tadi ada apa.” Aurora balik kembali menaiki tangga. Baru satu tangga, Nilam memanggilnya. “Ra ... Bantu Mama sebentar.” Aurora menghela napas lalu kembali ke hadapan ibunya. “Apa, Ma?” tanya Aurora. “Ra, bantu Mama untuk beli bunga,” katanya sembari tersenyum. “Siap, Mama sayang.” Aurora hormat seakan sedang mengikuti upacara bendera. Setelah itu, Aurora kembali ke kamar untuk melanjutkan pembahasan materi ekonominya. Sebuah materi tentang perpajakan, khususnya pajak penghasilan. Pajak penghasilan ada beberapa jenisnya. Salah satunya Pph 21, sebuah kewajiban bagi pekerja kepada negara untuk membayarkannya. Dengan pajak, yang menjadikan salah satu sumber dana negara. Tetapi, kita sebagai warga negara juga akan merasakan timbal balik dari yang telah kita bayarkan. Seperti pembangunan jalan dan lainnya merupakan alokasi dari pajak. “Jasmin, gue ngilu liat soal. Mendingan, ke toko bunga dulu yuk. Disuruh Mama beli bunga.” Aurora berdiri lalu membasuh wajahnya dan mengganti pakaian, tanpa mandi. Setelah itu, mereka pergi ke toko dengan menaiki mobil milik Aurora. “Jasmin .... “
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD